Opini

KEBANGKITAN KEARSIPAN SULSEL, STAGNANISASI SRIKANDI (MOMENTUM HARI KEARSIPAN)

Oleh: Irzal Natsir, SE, M.Si*

Hingga saat ini kita semua pasti tahu bahwa kearsipan menjadi sebuah hal yang sangatlah penting tetapi bukan menjadi prioritas padahal jika kita telaah dan analisis secara obyektif dan mendalam segala proses proses aktivitas kehidupan yang kita lalui dan jalani pastilah dibarengi dengan terciptanya informasi yang menjadi bukti dari perjalanan kehidupan yang telah kita lalui. Informasi inilah yang kita kenal dalam sebutan arsip. Arsip bukanlah sesuatu yang baru atau maha baru melainkan arsip ini sudah ada sejak zaman dahulu bahkan zaman sebelum masehi dimana masyarakat terdahulu secara bahu membahu membuat sebuah bilik yang tertutup untuk menyimpan arsip-arsip tertulis mereka dengan harapan dapat tersimpan secara aman, teratur dan lestari serta jauh dari unsur unsur yang dapat merusak arsip milik mereka. Boleh jadi arsip yang tersimpan tersebut telah aman dari hujan, panas, badai hingga unsur-unsur lain yang secara langsung ataupun tidak langsung dapat berakibat kepada kerusakan arsip tersebut. Sebuah kesadaran dari bangsa ataupun masyarakat terdahulu bahwa manusia itu akan punah pada waktunya tetapi arsip akan terus hidup tuk mengawal peradaban memberikan legacy informasi kepada anak dan cucu dimasa masa yang akan datang.

Dalam sejarah kebangsaan sebelum Indonesia ada dalam kondisi freedom seperti saat ini, negeri ini telah melalui fase-fase pelik, rumit, susah dan menegangkan. Sejarah pun mencatat bagaimana orang tua kita terdahulu hidup di masa terjajah dan hal ini tidak mungkin lah terlupa dibenak kita, yang mana kita dijajah oleh Belanda 3,5 Abad (350 Tahun), setelah itu lanjut dijajah pula oleh negara matahari terbit Jepang kurang lebih 3,5 tahun. Pengalaman pahit yang dialami negeri berjuluk nusantara ini pun telah terurai dan tercatat dalam lembar demi lembar arsip yang telah usang namun masih jelas terbaca dan menjadi memori kolektif bangsa serta jati diri negeri ini. Tak sedikit arsip-arsip yang dibawah Penjajah ke negerinya untuk disimpan secara baik dan rapi pada tempat tempat penyimpanan yang telah mereka siapkan di negerinya. Padahal jika dipikir arsip arsip yang dibawa tersebut merupakan hasil dari sebuah tindakan semena-mana dalam menjajah Indonesia yang secara jelas melanggar hak azasi manusia serta bertentangan dengan declaration of human right. Tapi disinilah letak keunikan sebuah arsip karena menyajikan informasi secara transparan dan vulgar baik dan buruknya sebuah negara, sebuah organisasi/lembaga serta orang per orang.

Institusi ataupun kelembagaan kearsipan di Indonesia telah ada sejak zaman penjajahan Belanda dimana pada tanggal 28 Januari 1892 Pemerintah Hindia Belanda membentuk Landarchief (Kantor Arsip) yang mana tugas pokok dan fungsinya membantu pengelolaan administras dan sumber informasi ilmu pengetahua. Setelah Indonesia mendeklarasikan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945 kelembagaan kearsipan ini tetap ada dengan nomenkelatur organisasi bernama Arsip Negeri, nanti di tahun 1959 Arsip Negeri pun berganti nama menjadi Arsip Nasional hingga saat ini yang secara garis besar memiliki tugas melakukan pengelolaan arsip, pengembangan dan pembinaan kearsipan. Pendiri Republik ini yang juga Presiden pertama Republik Indonesia, Ir. Soekarno dalam sebuah kesempatan berpidato pernah melontarkan sebuah perkataan yakni : “JAS MERAH”, akronim yang berasal dari “Jangan sekali kali melupakan SEJARAH”. Perkataan dari Bapak Proklamator ini bermakna semangat yang tegas, lugas, kharismatik yang menunjukkan idealisme dan nasionalisme kebangsaan yang tinggi seolah memberi pesan kepada generasi generasi setelah beliau: “Jagalah arsip kalian karena iyalah yang akan menjadi pusat ingatan perjalanan panjang bangsa dan negeri ini mulai awal berdirinya hingga sekarang ini, iyalah arsip yang memberitahukan kepada kalian semangat berkobar para pejuang mengusir penjajah, iyalah arsip yang menyampaikan berita kepada kalian akan kejinya pemberontakan dalam negara yang ingin merubah haluan negara, iyalah arsip yang akan menginformasikan kepada anak negeri bahwa dibalik nasionalisme yang tinggi terdapat karakter karakter korup bangsa ini yang menjadi benalu dari dulu hingga saat ini menghancurkan sendi sendi kebangsaan yang telah direbut dengan pengorbanan darah dan air mata oleh pejuang kusuma bangsa.

KEARSIPAN SULSEL DAN SRIKANDI SULSEL

26 tahun setelah kemerdekaan, kearsipan semakin menunjukkan kekuatannya yakni dengan dibentuk dan disahkannya Undang undang Nomor 7 Tahun 1971 tentang Ketentuan ketentuan pokok kearsipan pada tanggal 18 Mei 1971. Arsip pun mulai mendapatkan jati diri dan marwahnya sebagai tonggak utama didalam mendukung tata kelola administrasi pemerintahan yang pastinya menginginkan bermuara pada arsip sebagai akuntabilitas dan tulang punggung manajemen pemerintahan (arsip dinamis) dan arsip sebagai jati diri dan memori kolektif bangsa. Arsip pun semakin terang benderang terdefenisikan dalam undang undang nomor 7 tahun 1971 ini yaitu : “Naskah-naskah yang dibuat dan diterima oleh Lembaga-lembaga Negara dan Badan-badan Pemerintah dalam bentuk dan corak apapun baik dalam keadaan tunggal maupun berkelompok dalam rangka pelaksanaan kegiatan pemerintah dan kebangsaan”. Disebut naskah-naskah dalam pendefinisiannya dikarenakan saat itu mayoritas arsip yang tercipta adalah yang berbentuk konvensional, sangat mengandalkan kerta sebagai sarana utama penunjang kearsipan. Undang undang inipun memberi legitimasi kepada Arsip Nasional Republik Indonesia dengan singkatan familiar ARNAS saat itu untuk membentuk lembaga kearsipan di daerah yang secara struktur dibawah ARNAS dengan nomenkelatur Arsip Nasional Wilayah dan jika tidak keliru saat itu terbentuk hanya sebanyak 6 hingga 7 Arsip Nasional Wilayah (ANWIL) provinsi di Indonesia, karena tidak terbentuk di semua provinsi, tugas ANWIL pun semakin berat karena obyek tugas dan kerjanya bersifat regional.

Sulawesi Selatan pun menjadi salah satu daerah yang dibentuk ANWIL pertama di luar jawa. Beberapa daerah yang terbentuk ANWIL di Indonesia selain Sulawesi Selatan adalah: Aceh, Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, dan juga Nusa Tenggara Timur. Sebuah kebanggaan juga karena ANWIL Provinsi Sulawesi Selatan memiliki gedung yang megah dan permanen yang diresmikan pada tanggal 15 Desember 1986 oleh Menteri Sekretaris Negara, Sudharmono, SH. Dikatakan megah karena saat itu satu-satunya kantor pemerintahan di Sulawesi Selatan yang memiliki elevator. Bukan hanya itu gedung ANWIL SULSEL juga dilengkapi dengan sarana dan prasarana yang memadai : ruang depot arsip, record centre, central file hingga laboratorium preservasi arsip. Eksistensi ANWIL di Indonesiapun tak berlangsung lama, sejak kejatuhan Soeharto sebagai Presiden kedua RI pada 21 Mei tahun 1998, terjadi dinamika didalam berkepemerintahan,  yang semula sentralistik diubahlah menjadi desentralistik, otonomi daerahpun menjadi keputusan solutif untuk menerapkan keadilan di negeri nyiur melambai ini, dan Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) salah satu yang terdampak. Seluruh ANWIL pun dihapus dan diserahkan pengelolaannya kepada Pemerintah Daerah otonom provinsi. Tidak membutuhkan waktu yang lama, Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan pun dengan Peraturan Daerah Nomor 30 Tahun 2001 membentuk Badan Arsip dan Perpustakaan Daerah (BAPD) Provinsi Sulawesi yang menggabungkan 2 (dua) instansi vertikal yang dihapus yaitu: Arsip Nasional Wilayah Provinsi Sulawesi Selatan dan Perpustakaan Nasional Daerah Provinsi Sulawesi Selatan.

Dengan terbentuknya BAPD ini geliat kearsipan terus berjalan tanpa henti walaupun kita tahu saat itu Lembaga Kearsipan Daerah ini belum menjadi idol sebagai perangkat daerah, bahkan masyarakatpun banyak yang belum tahu apa itu kearsipan??, apa itu arsip??. Ya memang terasa aneh dan rada-rada lucu juga karena pada prinsipnya yang namanya arsip itu tidak pernah lepas dari setiap orang ataupun organisasi mulai lahir hingga di penghujung masanya, ya dapat dikatakan penting tapi tak diperhitungkan. Evolusi Lembaga yang membidangi kearsipan di Provinsi Sulawesi Selatan tidak hanya sampai di BAPD saja seiring waktu yang berjalan nomenkelaturnya berubah dari Badan Perpustakaan dan Kearsipan Daerah (BAPD) menjadi Badan Perpustakaan dan Arsip Daerah (BPAD) hingga saat ini bernama Dinas Perpustakaan dan Kearsipan (DPK/DISPUS ARSIP). Secara logis dan fungsional perubahan nomenkelatur bukanlah sebuah masalah karena tugas-tugas kearsipan masih ada dan melekat pada pemerintah provinsi Sulawesi Selatan sebagaimana yang telah diamanahkan didalam Undang undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah yang memberikan bold kepada kearsipan sebagai wajib bukan pelayanan dasar. Bahkan tidak menutup kemungkinan kedepannya untuk lebih mengoptimalkan kerja kerja kearsipan yang semakin kompleks dan mewujudkan secara paripurna gerakan nasional sadar tertib arsip pada lingkup pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan boleh jadi Lembaga Kearsipannya akan berdiri secara mandiri dengan hanya melaksanakan fungsi fungsi kearsipan apalagi saat ini kearsipan pun menjadi indikator terwujudnya reformasi birokrasi di Negara Indonesia yang kita cintai bersama ini, hal ini berarti mengurus arsip tidak boleh setengah setengah tetapi pemerintah harus all out menggapainya demi terwujudnya pemerintahan yang bersih, tertib dan bermartabat karena tertib arsip kan berimplikasi pada tertib administrasi.

Banggalah kita karena lembaga kearsipan daerah (LKD) Provinsi Sulawesi Selatan pun telah mengukir seabrek penghargaan antara lain: pernah menjadi LKD Terbaik Nasional, Pejabat Fungsional Arsiparis Sulawesi Selatan Terbaik ke 3 Nasional, menjadi LKD yang Peduli terhadap Arsip Statis hal ini beralasan karena DISPUS ARSIP SULSEL memiliki khasanah arsip statis terbanyak di Indonesia dalam kondisi aman, utuh dan lestari, arsip tertua yang tersimpan tahun 1826 yaitu terkait arsip pemerintahan hindia Belanda di Tanah Selayar. Jumlah Arsip Statis Sulawesi Selatan sebanyak 40.000 Dos Arsip atau jika lembaran kertasnya dijejer sebanyak 4.000 meter lari, belum termasuk Naskah Kuno/Lontara’ yang dimiliki. Kesemua khasanah inilah yang akan mengawal peradaban Sulawesi Selatan sepanjang masa. Dari sisi pengawasan kearsipan yang dilaksanakan oleh Arsip Nasional Republik Indonesia, nilai Sulawesi Selatan selalu berpredikat Sangat Baik.
38 tahun setelah hadirnya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1971 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kearsipan, terjadi perubahan paradigma kearsipan dengan terbentuknya Undang-undang nomor 43 tahun 2009 tentang Kearsipan. Defenisi arsip pun bergeser dari penyebutan arsip sebagai naskah-naskah menjadi rekaman kegiatan atau peristiwa dan yang membuatnya lebih spesifik lagi arsip itu menyesuaikan dengan teknologi informasi dan komunikasi artinya arsip pun beradaptasi dengan mega trend di era millenial yang sangat mengagungkan piranti elektronik sebagai icon digitalisasi. Hal ini sangatlah wajar karena berbicara tentang arsip pastilah kita berbicara tentang informasi seyogyanyalah menyesuaikan dengan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang saat ini melaju begitu cepat.
Hal inilah yang memberi kesadaran bagi pemerintah akan pentingnya memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi didalam mendukung produktivitas kerja berbasis teknologi tapi disatu sisi dapat mengefisienkan penggunaan anggaran yang begitu besar hingga menjadi celah terjadinya perbuatan rasuah yang berimplikasi pada kerugian negara yang begitu besar. Bisa dibayangkan betapa banyak pengadaan atk dan pendukung serta pelengkap administrasi lainnya yang manual yang secara statistik anggarannya tiap tahun naik secara signifikan padahal riilnya yg digunakan boleh jadi tidak sampai 1/2 dari total biaya yang dianggarkan. Kesadaran pemerintah pun bermuara pada diundangkan Peraturan Presiden Nomor 95 Tahun 2018 Tentang Sistem Pemerintahan Berbasis Elektronik (SPBE). Selaku Kepala Pemerintahan, Jokowi menginginkan sebuah terobosan baru dalam beradministrasi agar negara tetap dalam alur dan koridor yang benar, tepat, cepat dan transparan, tak ada neko neko dalam beradministrasi, tak ada sim salabim dalam penggunaan anggaran negara, dan tidak kompromi dalam berperilaku korupsi, kolusi dan nepotisme.

Arahan Presiden Joko Widodo inipun ditindaklanjuti oleh Menteri terkait : Menteri Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, Menteri Komunikasi dan Informasi serta Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) dengan membuat dan menerapkan Aplikasi Sistem Informasi Kearsipan Dinamis Terintegrasi yang kita kenal saat ini yaitu SRIKANDI yang telah diterapkan secara efektif oleh Pemerintah Pusat di tahun 2022 sedangkan untuk pemerintah daerah di awal tahun 2023, dan Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan pun telah melaunching SRIKANDI pada tanggal 8 November 2023 oleh Pj.Gubernur Sulawesi Selatan, Bahtiar Baharuddin. Launching inipun menandakan jointnya Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan dalam Penerapan SRIKANDI secara nasional pada lingkup pemerintah daerah. Lembaga Kearsipan Daerah (LKD) dalam hal ini Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi Sulawesi Selatan secara sigap mengaplikasikan SRIKANDI serta melaksanakan pembinaan terkait SRIKANDI tersebut. Yang menjadi permasalahan hingga saat ini secara efektif SRIKANDI baru berjalan pada beberapa perangkat daerah saja 5 (lima) bulan pasca di launching, ya seharusnya kondisi dilapangan tidak diharapkan seperti ini, artinya masih banyak stakeholders SRIKANDI lingkup Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan maupun Pemerintah Kabupaten/Kota di Sulawesi Selatan yang belum menerapkan SRIKANDI atau bahasa yang lebih tegas belum patuh terhadap Perintah Presiden ini, walaupun secara sadar kita tahu sebelum hadirnya SRIKANDI, Pemerintah Provinsi maupun beberapa Pemerintah Kabupaten/Kota di Sulawesi Selatan ini telah menerapkan aplikasi smart office (SO) yang kurang lebih mirip dengan SRIKANDI. Mungkin saja SO ini telah menjadi aplikasi yang dirasakan cocok dengan suhu administrasi yang dikerjakan, sah sah saja karena SO yang diterapkan telah dianggap tepat, cepat dan tak bercelah dalam pengoperasiannya. Munculnya SRIKANDI pun akan menjadi pembanding dari aplikasi sejenis yang sudah ada sebelumnya. Tanpa ingin mendiskreditkan sedianya secara cepat pemerintah daerah segera menyesuaikan dan mengkondisikan penggunaan Aplikasi SRIKANDI, suka tidak suka, mau tidak mau menjadi sebuah kewajiban karena merupakan pengejewantahan titah dari Pemimpin tertinggi republik ini. Dan akhirnya kita berharap pada momentum Hari Kearsipan yang ke 53 ini, kearsipan semakin berjaya dan diperhatikan serta tidak di marginalkan baik dari sisi Anggaran, sarana dan prasarana, kesejahteraan Arsiparis/Pengelola Arsip. Indonesia ini ada karena arsip, dan arsip menjadi bukti eksistensi keberadaan Indonesia. Dirgahayu Kearsipan yang ke 53, 18 Mei 2024, “Suistanable Archiving For The Best Future, Kearsipan yang Berkelanjutan untuk Masa Depan yang Terbaik”
Dan semoga Kebangkitan Nasional di tahun ini menjadi tonggak Kebangkitan Kearsipan secara menyeluruh.
Semoga…Aamiin

*Penulis : Irzal Natsir, SE, M.Si
Sekretaris Pengurus Wilayah
Asosiasi Arsiparis Indonesia (AAI)
Provinsi Sulawesi Selatan

Lihat Selengkapnya

Related Articles

Back to top button