Ragam

Pentingnya Ruang Pendidikan di dalam Keluarga (Respon “keriuhan” sistem zonasi)

Oleh: Indra Syarif, S. Pd. *)

Inspirasi tulisan ini lahir dari sebuah status teman di Facebook dengan menulis “tak perlu repot dan khawatir memilih sekolah, toh pendidikan terbaik bagi anak adalah keluarga”. Yah dalam teori tripusat pendidikan dari Ki Hajar Dewantara, menurut beliau. “Pendidikan perlu terbangun dalam tiga pilar; keluarga, sekolah, dan masyarakat/pemerintah.” Keluarga berada pada posisi pertama dari tripusat pendidikan tersebut. Ruang belajar pertama bagi anak tentu di lingkungan keluarga. Sebelum proses belajar di sekolah sebagai lembaga pendidikan, ditambah dengan interaksi belajar sang anak dengan lingkungan masyarakat. Tentu mau tak mau sesungguhnya keinsyafan ini penting dimiliki setiap orang (baca:rumah tangga). Hampir seluruh teori pendidikan dalam hemat penulis, memosisikan keluarga sebagai penentu start awal yang sangat berperan besar dalam kelanjutan perkembangan kualitas kemanusiaan (pendidikan sebagai proses memanusiakan manusia menurut pandangan Paulo Freire) yang akan dimiliki oleh seorang anak. Maka seorang anak seharusnya memang selesai (baca: pondasi pendidikan: spritual-mental) di level keluarga.

Harta benda dan anak-anak adalah karunia Ilahi sebagai ujian atau cobaan (fitnah). Tak dipungkiri seringkali manusia tergiur pada sifat dan perbuatan saling bermegah-megahan dalam harta dan saling membangga-banggakan anak. Ketika harta dan anak-anak tidak direspon dengan sikap amanat sesuai pesan diamanahkannya anak oleh Allah kepada kita. Maka konsekuensinya adalah rasa tentram dan bahagia dalam hidup ini akan jauh. Apalagi soal anak-anak (baca:sumber kepusingan orang tua).

Saat ini di masa awal penerimaan siswa baru di sekolah-sekolah, diberlakukan sistem zonasi yang berdasar pada faktor kewilayahan dalam menentukan di mana seorang calon peserta didik disekolahkan. Keriuhan dan kecemasan pun terjadi, terutama pada orang tua dan tak sedikit dari para pendidik. Sistem zonasi ini secara tidak langsung mengugurkan seluruh kriteria sekolah idaman pilihan orang tua. Di mana seorang anak akan disekolahkan tentu ada faktor pertimbangan-pertimbangan. Namun semua itu terasa pupus karena sistem zonasi.

Tujuan Pendidikan sesungguhnya tidak lepas dari upaya mengarahkan manusia ke fitrah nya sebagai manusia. Dalam perspektif Pendidikan Islam, tujuan pendidikan itu adalah mengarahkan manusia beriman dan bertakwa kepada Allah swt, dan berakhlak mulia kepada sesama makhluk Allah swt. Kesadaran dan perwujudan Iman, Islam, dan Ihsan menurut hemat penulis adalah substansi dari tujuan pendidikan itu sendiri. Karakter adalah capaian yang diharapkan dari proses pendidikan di manapun itu. Keseimbangan kualitas spritual, emosional, intelektual, dan ditunjang dengan keterampilan (psikomotorik/empiris) mutlak harus dimiliki seseorang (Insan Kamil).

Dari situ, orientasi pendidikan anak yang selama ini terkesan kabur. Akhirnya berimbas orang tua dan keluarga melimpahkan seluruh tanggung jawab pendidikan kepada lembaga pendidikan (sekolah/madrasah/pesantren). Sikap demikianlah yang memunculkan harapan besar orang tua ingin anaknya masuk ke sekolah-sekolah unggulan. Walaupun itu berada jauh dari rumahnya. Terjadi ketidakseimbangan antar sekolah dari segi kuantitas dan kualitas. Dan pertimbangan lain yang tak kalah penting adalah anak kita (baca: yang tak didukung pendidikan dalam rumah tangga yang baik) belum tentu berkembang sesuai cita-cita pendidikan itu sendiri.

Berdasarkan renungan dan gambaran sebelumnya. Pendidikan dalam rumah tangga menempati posisi sentral dalam membangun kualitas manusia terdidik sebagaimana fitrah dan harapan kita sebagai manusia. Secuil contoh yang bisa digambarkan bagaimana lingkungan keluarga berpengaruh besar dalam pendidikan anak. Misalnya, ” yaitu guru mengaji yang sejak dulu sampai sekarang justru lebih populer lagi dalam masyarakat kita (imbas kesibukan pekerjaan). Dan meskipun ada guru mengaji sekaligus juga dapat bertindak sebagai pendidik agama, namun peran mereka tidak akan dapat menggantikan peran orang tua secara sepenuhnya. Jadi guru mengaji pun sebenarnya terbatas perannya hanya sebagai pengajar agama, yakni; penuntun ke arah pengajaran (kognitif) agama itu, bukan pendidikan agama.” (Dikutip dari Nurcholish Madjid, Masyarakat Religius, 1997). Maksud dari renungan dan gambaran beliau tersebut, peran tingkah laku justru dalam dunia pendidikan lebih berpengaruh dari pada peran pengajaran. Model keteladanan jauh lebih efektif daripada sekedar menyampaikan (konteks umum orang tua: memerintah). Lanjut dengan kaedah yang diutarakan Nurcholish Madjid, ” Lisanul hal-i afshah-u min lisan-i’l maqal”, bahasa perbuatan adalah lebih fasih daripada bahasa ucapan. Lebih jauh secara historis Nabi Muhammad saw dalam riwayat dalam proses mendidik sahabat, beliau melakukan dulu kemudian baru menyuruh. Salah satu hadis tentang sholat. “Shallu kama roaitumuni ushalli” yang artinya, shalatlah kalian sebagaimana kalian melihatku shalat. Shalat dalam terminologi pendidikan Islam, merupakan tiang agama. Artinya seluruh kualitas keagamaan tergantung dari kualitas pelaksanaan ibadah shalat. Dari hadis itu, Nabi berpesan tentang kunci keselamatan yakni shalat. Serta bagaimana metode terbaik dalam mengajarkannya yakni memberi contoh atau keteladanan.

Penting adanya penghayatan suasana beragama dalam rumah tangga. Pengamalan dan penghayatan pendidikan, di mana pendidikan agama sebagai pondasi dari seluruh proses dan capaian pendidikan, selanjutnya keluarga adalah ruang berproses penentu tercapainya tujuan mulia pendidikan. Sampai nantinya tercapainya dimensi-dimensi yang harus dimiliki seorang anak sebagai penegas dirinya telah siap menjalani seluruh proses hidupnya (beribadah dan bermanfaat).

Melalui tulisan ini, dampak dari zonasi terbaik adalah menghiasi rumah tangga dengan keteladanan pelaksanaan ibadah, semisal; shalat berjamaah, ngaji bersama, tauziyah orang tua, mencontohkan nilai-nilai kejujuran, mencontohkan nilai-nilai kepedulian sosial (sedekah makanan kepada tetangga), mencontohkan perilaku disiplin, mencontohkan kepedulian alam sekitar (bercocok tanam di sekitar rumah) dll yang tentunya kita semua telah cukup tahu gambaran konsep pendidikan rumah tangga ini (bermaksud sebagai pengingat saja)

Sistem zonasi terlepas dari “keriuhan” yang terjadi, bukanlah faktor penentu dengan kata lain bukan penghalang dalam meraih apa yang diinginkan oleh seseorang (anak maupun orang tua). Wajar saja ketika ada pilihan sekolah favorit atau diunggulkan sesuai kriteria pribadi masing-masing. Namun, bijaksana ketika kiranya orientasi kita tetap pada tujuan Pendidikan sebagaimana diurai sebelumnya, yakni menjadikan manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Allah swt serta menjadi penebar rahmatan Lil ‘alamin (bahasa kontekstualnya, tidak hanya pintar saja, terlebih tidak menjadi pelaku masalah, namun mampu menjadi teladan dan menciptakan karya yang bermanfaat sebagai solusi bagi kehidupan sesuai amanah (potensi) masing-masing), Wallahu A’lam bi Showab.

*)Pembina Pondok Pesantren Nurul Ulum As’adiyah Pammana.

Lihat Selengkapnya

Related Articles

Back to top button