Kekuatan Ramalan: Ketika Keyakinan Membentuk Realitas dan Karakter Manusia
Oleh: Delsy Asriyani Dethan(Mahasiswa S3 Ilmu Pendidikan, Universitas Sebelas Maret)

BeritaNasional.ID, OPINI — Dalam kehidupan sehari-hari, manusia kerap tidak menyadari bahwa apa yang diyakininya hari ini dapat menjadi kenyataan di masa depan.
Fenomena inilah yang dalam kajian psikologi dan pendidikan dikenal sebagai Self-Fulfilling Prophecy (SFP)—sebuah ramalan yang terwujud dengan sendirinya bukan karena kebenaran awalnya, melainkan karena perilaku manusia yang digerakkan oleh keyakinan tersebut.
Self-Fulfilling Prophecy didefinisikan sebagai keyakinan atau ekspektasi awal—yang bahkan bisa saja keliru—namun akhirnya menjadi nyata karena individu bertindak seolah-olah keyakinan itu benar.
Dalam dunia pendidikan modern, SFP menjadi konsep krusial karena menjelaskan bagaimana harapan, baik positif maupun negatif, dapat membentuk prestasi, sikap, dan bahkan karakter seseorang.
*Bagaimana SFP Bekerja?*
SFP berlangsung melalui sebuah siklus umpan balik yang sistematis. Pertama, muncul ekspektasi awal, yakni keyakinan seseorang terhadap masa depan atau situasi tertentu.
Kedua, keyakinan ini menggerakkan perilaku, mendorong individu bertindak secara konsisten dengan apa yang diyakininya.
Ketiga, respons dari lingkungan atau orang lain muncul sebagai reaksi atas perlakuan tersebut.
Terakhir, hasil yang terjadi justru mengonfirmasi keyakinan awal, sehingga ramalan yang semula belum tentu benar berubah menjadi kenyataan.
Fenomena ini hadir dalam dua wajah. Efek Pygmalion sebagai SFP positif menunjukkan bahwa ekspektasi baik dapat melahirkan keberhasilan.
Sebaliknya, Efek Golem sebagai SFP negatif memperlihatkan bagaimana keyakinan akan kegagalan justru memicu hasil yang buruk.
Meskipun istilah Self-Fulfilling Prophecy dipopulerkan oleh sosiolog Robert K. Merton pada tahun 1948, akar filosofisnya dapat ditelusuri jauh ke pemikiran Aristoteles.
Dalam Nicomachean Ethics, Aristoteles menegaskan bahwa karakter manusia (ethos) bukanlah bawaan sejak lahir, melainkan hasil dari kebiasaan (habit) dan latihan yang dilakukan secara berulang.
Pandangan ini sejalan dengan mekanisme SFP. Keyakinan awal mendorong tindakan, tindakan membentuk kebiasaan, dan kebiasaan pada akhirnya membangun karakter.
Aristoteles bahkan dengan tegas menyatakan, “Kita menjadi adil dengan melakukan tindakan adil.” Artinya, karakter terbentuk bukan oleh niat semata, melainkan oleh tindakan yang terus diulang.
Dalam konteks SFP positif, keyakinan bahwa diri akan berhasil melahirkan kebiasaan gigih dan proaktif, yang kemudian mewujud dalam karakter berani dan percaya diri—sebuah bentuk kebajikan.
Sebaliknya, SFP negatif bermula dari keyakinan akan kegagalan, membentuk kebiasaan menghindar dan pasif, hingga bermuara pada karakter malas atau pengecut, yang oleh Aristoteles dipandang sebagai keburukan moral.
Dengan demikian, SFP tidak hanya berdampak pada hasil jangka pendek seperti prestasi akademik, tetapi juga membentuk ethos seseorang dalam jangka panjang.
*Logos dan Eudaimonia: Menavigasi Kehidupan yang Berkembang*
Dalam filsafat Aristoteles, tujuan tertinggi manusia adalah Eudaimonia—kehidupan yang berkembang dan bermakna, dicapai melalui aktivitas jiwa yang selaras dengan kebajikan.
Di sinilah peran Logos (akal budi) menjadi sangat vital. Manusia yang berakal sehat mampu menilai keyakinan mana yang rasional dan konstruktif, serta menolak ramalan negatif yang tidak berdasar.
Dengan Logos, manusia dapat menafsirkan situasi secara bijaksana dan memilih “Jalan Tengah” yang menjadi kunci kehidupan yang baik menurut Aristoteles. SFP positif pun menjadi alat untuk mengaktualisasikan potensi kebajikan dalam diri manusia menuju Eudaimonia.
*Implikasi bagi Dunia Pendidikan*
Pemahaman mendalam tentang Self-Fulfilling Prophecy dan relevansinya dengan filsafat Aristoteles memberikan pelajaran berharga bagi dunia pendidikan.
Pembentukan karakter harus dimulai sejak dini, dengan menanamkan keyakinan dan kebiasaan yang bijaksana karena dampaknya bersifat permanen.
Selain itu, lingkungan suportif menjadi kunci. Sekolah dan keluarga perlu menciptakan ekosistem yang mendorong ekspektasi positif agar peserta didik dapat tumbuh dengan karakter yang baik, percaya diri, dan bertanggung jawab.
Pada akhirnya, Self-Fulfilling Prophecy mengajarkan bahwa keyakinan bukan sekadar urusan batin, melainkan kekuatan nyata yang membentuk tindakan, kebiasaan, dan karakter manusia.
Seperti yang telah lama disadari Aristoteles, manusia adalah arsitek bagi karakternya sendiri. Maka, memilih keyakinan yang benar dan rasional adalah langkah awal menuju kehidupan yang bermakna dan berkembang.



