Kontroversi Tahta Amanuban, Penobatan Jonathan Nubatonis Dipertanyakan Legitimasi Adatnya

BeritaNasional.ID SO’E — Pengukuhan Jonathan Nubatonis sebagai Raja Amanuban ke-46 yang berlangsung pada Senin, 15 September 2025, di Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS), Nusa Tenggara Timur (NTT), kini menjadi bahan perbincangan hangat. Alih-alih membawa kebanggaan, penobatan itu justru menimbulkan polemik karena dinilai tidak melalui prosedur adat yang jelas.
Sumber terpercaya Bernas Network, Rabu 17 September 2025, membantah informasi yang beredar bahwa prosesi tersebut dilakukan di Sonaf Amanuban. Menurutnya, kabar itu hanya sebatas hoaks. Faktanya, pengukuhan Jonathan Nubatonis dilakukan secara sederhana di sekitar Desa Tubuhue, tepatnya di area KM 5 jurusan Kupang yang kemudian disebut “Sonaf”
Sumber menilai proses penobatan dilakukan secara mendadak tanpa melewati tahapan-tahapan adat yang seharusnya. “Pengukuhan raja tidak bisa dilakukan secara tiba-tiba. Tidak boleh berdiri sendiri tanpa legitimasi dari para tokoh adat sebagai satu kekuatan keluarga besar,” ungkapnya.
Ia menekankan, keputusan untuk mengangkat seorang raja mestinya lahir dari musyawarah bersama keluarga besar Amanuban. Apalagi, di lingkaran keluarga besar Tunbes terdapat nama besar dan penting seperti Nuban, Nubatonis, Tenis, Asbanu, dan Nomnafa serta rumpun terkait lainnya yang memiliki peran kuat dalam tatanan adat budaya Amanuban. “Kalau tidak ada kesepakatan, dasar apa yang dipakai untuk mengukuhkan Jonathan Nubatonis?” tanyanya retoris.
Isu legitimasi Jonathan Nubatonis semakin dipertanyakan karena dalam acara itu hadir pihak dari raja Nope. Sejarah mencatat, selama ini Amanuban berada di bawah Nope sebelum yang kemudian diserahkan kembali kepada Nubatonis. Hal ini memunculkan pertanyaan mendasar: benarkah garis keturunan Jonathan Nubatonis berasal dari trah yang sah untuk menduduki tahta?, apakah kehadiran Nope telah mendapat validasi dari rumpun keluarga Nope?, apakah para undangan yang hadir menyaksikan saat itu sudah benar-benar mewakili marga/suku terkait.
Lebih jauh, sumber menyoroti aspek budaya dalam proses adat masyarakat TTS yang sangat menjunjung tinggi tradisi tutur. “Budaya sejarah TTS sebagian besar melalui budaya tutur. Penobatan raja harus jelas sapaan adatnya, siapa yang bertutur, runtutan historis dan apa latar belakangnya. Kalau itu tidak ada, maka prosesnya cacat,” ujarnya.
Pernyataan tentang pengisian kekosongan “kursi” selama 38 tahun yang disampaikan Jonathan Nubatonis apakah sudah terkonfirmasi dengan tokoh penting, orang tua maupun saksi hidup yang mengetahui kekosongan tersebut?
Kehadiran Bupati TTS, Eduard Markus Lioe, dalam acara tersebut juga menjadi sorotan publik. Menurut sumber, bupati sebagai kepala pemerintahan seharusnya tidak sekadar hadir, melainkan memastikan bahwa prosesi adat berjalan sah. “Bupati punya tanggung jawab moral untuk menjelaskan kepada masyarakat tentang legitimasi prosesi itu, supaya tidak menimbulkan pro dan kontra,” katanya.
Selain itu, sumber juga mempertanyakan keterlibatan raja-raja atau Liurai di Pulau Timor. “Apakah ada Liurai / raja lain yang hadir? Bagaimana dengan raja-raja di TTU atau Kabupaten Kupang? Kehadiran mereka penting untuk memberi legitimasi. Kalau tidak, masyarakat bisa makin ragu,” imbuhnya.
“Penobatan ini tidak semata-mata disamakan seperti penobatan-penobatan lainnya yang sering kita saksikan dilakukan kepada Politisi atau Tokoh Publik lainnya. Penobatan ini mengandung nilai sakral yang akan menjadi tinta emas sejarah untuk generasi mendatang.
Kini, masyarakat TTS menunggu sikap resmi rumpun keluarga besar Amanuban (Banam), terutama dari keluarga Tunbes yang di dalamnya terdapat Nuban, Nubatonis, Tenis, Asbanu, dan Nomnafa. Suara mereka diyakini akan menjadi penentu apakah pengukuhan Jonathan Nubatonis sebagai Raja Amanuban ke-46 akan diakui secara sah, atau justru dipandang cacat prosedur dan tanpa legitimasi adat.*
(Alberto)