Daerah

Prof. Paul Tamelan dan Tim Undana Tanam Harapan di Lereng Oenitu

 

BeritaNasional.ID, OELAMASI – Di Desa Oenitu, Kecamatan Kupang Tengah, Kabupaten Kupang, hamparan bukit dan ladang miring menjadi saksi perjuangan masyarakat bertani di tanah yang subur namun rapuh.

Setiap musim hujan, butiran tanah yang terbawa air tak hanya mengikis lahan, tetapi juga mengikis harapan. Namun, di balik kondisi itu, muncul secercah cahaya perubahan — lewat tangan-tangan dosen, mahasiswa, dan petani yang bergandengan menanam harapan di lereng-lereng Oenitu.

Kegiatan ini merupakan bagian dari Program Pengabdian kepada Masyarakat Universitas Nusa Cendana (Undana) yang dipimpin oleh Prof. Paul G. Tamelan, dosen Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Undana.

Bersama tim lintas disiplin, mereka hadir bukan sebagai pengajar yang datang membawa teori, tetapi sebagai mitra belajar bagi para petani yang selama ini bergantung pada lahan miring untuk bertahan hidup.

“Kami datang bukan membawa solusi instan, tapi ingin belajar bersama masyarakat. Kami ingin menunjukkan bahwa ilmu bisa tumbuh di mana saja — bahkan di tanah yang nyaris hilang,” ungkap Prof. Tamelan kepada Bernas, Jumat 10 Oktober 2025.

Program konservasi ini berfokus pada penerapan teknik terasering, metode klasik yang terbukti efektif menahan erosi dan menjaga kestabilan lahan miring.

Meski sederhana, teknik ini belum banyak diterapkan di Oenitu. Dengan peralatan seadanya — cangkul, linggis, dan tali ukur — masyarakat bersama tim Undana membentuk undakan demi undakan mengikuti kontur lereng.

Di tepi setiap teras, mereka menanam rumput vetiver, tanaman berakar dalam yang berfungsi sebagai pengikat tanah alami dan penahan longsor. Rumput inilah yang menjadi simbol harapan baru: kecil, namun berakar kuat.

“Terasering bukan teknologi baru, tapi di sini kami membawanya sebagai harapan baru. Kami ingin tanah ini tidak lagi hanyut, supaya kehidupan juga tak ikut hilang,” jelas Prof. Tamelan.

Kegiatan ini tidak hanya diikuti oleh dosen dan mahasiswa Undana, tetapi juga melibatkan siswa dari sekolah menengah kejuruan (SMK) bidang pertanian. Mereka bergotong royong bersama petani lokal, saling belajar dan berbagi pengalaman di lapangan.

Dari Lereng Jadi Ruang Belajar
Proyek konservasi ini tidak berhenti pada pembangunan fisik lahan, tetapi menjadi sekolah hidup di alam terbuka.

Para mahasiswa belajar langsung dari kearifan petani lokal tentang karakter tanah dan pola tanam, sementara petani memperoleh wawasan ilmiah tentang cara menjaga kesuburan dan ketahanan lahan.

“Yang paling kami syukuri bukan hanya terasering yang jadi, tapi perubahan pola pikir petani. Banyak dari mereka mulai menerapkan cara ini di kebun masing-masing. Mereka melihat konservasi bukan lagi sebagai proyek luar, tapi kebutuhan sendiri,” tutur Prof. Tamelan.

Sinergi lintas generasi ini menciptakan pembelajaran yang unik. Mahasiswa belajar tentang kerja keras dan ketekunan, sementara petani menyadari bahwa ilmu bisa hadir dalam bentuk sederhana dan aplikatif. Di lereng-lereng Oenitu, teori dan praktik menyatu dalam harmoni.

Sebagai pakar di bidang Teknik Pengairan, Prof. Tamelan melihat bahwa pengelolaan air merupakan kunci utama keseimbangan ekosistem di daerah kering seperti Nusa Tenggara Timur.

Terasering, lanjut Prof. Tamelan, menjadi salah satu cara sederhana namun efektif untuk mengatur aliran air agar tidak merusak tanah, melainkan memberi kehidupan.

“Air bisa jadi berkah atau bencana, tergantung bagaimana kita mengelolanya. Dengan terasering, kita mengatur air agar memberi manfaat, bukan membawa malapetaka,” urainya.

Program konservasi ini juga menjadi bukti bahwa tridarma perguruan tinggi — pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat — dapat dijalankan secara nyata dan berkelanjutan.

Melalui pendekatan partisipatif, tim Undana tidak hanya mengajarkan teori, tetapi membangun kesadaran kolektif tentang pentingnya menjaga tanah sebagai sumber kehidupan.

Kini, teras-teras di Undana Farm Oenitu bukan hanya tampak indah, tetapi juga menjadi simbol kolaborasi antara kampus dan masyarakat desa. Prof. Tamelan berharap, program ini tidak berhenti di satu lokasi, melainkan menjadi gerakan bersama di seluruh NTT.

“Kami ingin kegiatan ini menjadi inspirasi. Konservasi lahan bukan pekerjaan sesaat, tapi komitmen jangka panjang. Karena tanah adalah warisan, dan konservasi adalah janji kita kepada generasi mendatang,” tegasnya.

Dalam kegiatan konservasi ini, Prof. Tamelan juga memperkenalkan dua model pembelajaran lapangan bagi mahasiswa:

Tipe 1: Infrastruktur pasangan spesi/mortar simulasi pengendalian erosi dengan gerusan tinggi dan pengelolaan air untuk memahami dinamika penggunaan lahan pertanian dalam jangka panjang.

Tipe 2: pasangan batu kosong dari pembersihan kebun dan pemanfaatan batu karang sebagai pembatas alami antar petak tanam — solusi kreatif yang ramah lingkungan dan ekonomis untuk resiko gerusan yg kecil

Pendekatan ini menjadikan mahasiswa tidak hanya memahami teori konservasi, tetapi juga melihat secara langsung bagaimana ilmu dapat diterapkan untuk memecahkan masalah nyata di masyarakat.

Alberto

Lihat Selengkapnya

Related Articles

Back to top button