Ambiguitas Putusan MA, Warga Bondowoso Tetap Ditahan Meski Harusnya Bebas Demi Hukum

BeritaNasional.id, SITUBONDO JATIM – Seorang warga Bondowoso bernama Lutfi bin Suartis harus menelan pil pahit dalam kasus kepemilikan senjata tajam (sajam). Meski Mahkamah Agung (MA) telah mengeluarkan catatan yang menyatakan dirinya bebas demi hukum, ia tetap harus menjalani sisa hukuman selama 50 hari ke depan.
Kasus ini menjadi perhatian publik karena adanya ambiguitas dalam putusan MA. Di satu sisi, putusan kasasi menginstruksikan agar Lutfi ditahan selama 50 hari, tetapi di sisi lain, dalam catatan yang sama, MA menegaskan bahwa masa tahanan Lutfi telah sesuai dengan putusan Pengadilan Tinggi (PT) Surabaya dan ia seharusnya bebas per 1 Februari 2025.
Lutfi, warga Kampung Bercak, Desa Bercak, Kecamatan Cerme, Situbondo, awalnya divonis 8 bulan penjara oleh Pengadilan Negeri (PN) Situbondo. Putusan ini kemudian dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi (PT) Surabaya setelah jaksa mengajukan banding.
Namun, Jaksa Penuntut Umum (JPU) merasa hukuman tersebut masih terlalu ringan dan mengajukan kasasi ke MA. Di tingkat kasasi, bukannya menambah hukuman seperti yang diharapkan JPU, MA justru mengeluarkan penetapan yang memerintahkan Lutfi menjalani penahanan tambahan selama 50 hari. Yang membingungkan, dalam dokumen yang sama, MA juga mencantumkan catatan bahwa Lutfi harus bebas demi hukum sejak 1 Februari 2025 karena masa tahanannya telah sama dengan putusan sebelumnya.
“Kami heran dengan isi surat keputusan ini. Di satu sisi, MA memerintahkan penahanan selama 50 hari sejak 13 Januari 2025, tetapi di sisi lain, ada catatan yang menyatakan bahwa Lutfi seharusnya bebas pada 1 Februari 2025,” ujar Hendriyansyah, S.H., M.H., pengacara muda Situbondo yang membantu keluarga Lutfi dengan sukarela. Jumat (14/02/2025).
Situasi ini membuat pihak Rumah Tahanan Negara (Rutan) kelas IIB Situbondo kebingungan. Mereka tidak berani membebaskan Lutfi karena masih ada perintah penahanan, tetapi mereka juga tidak ingin melanggar catatan pembebasan demi hukum yang tertera dalam dokumen MA.
“Kami sudah berkoordinasi dengan pihak rutan, tetapi mereka merasa surat dari MA ambigu. Mereka tidak berani mengeluarkan Lutfi karena di satu bagian tertulis bahwa ia harus tetap ditahan, sementara di bagian lain tertulis bahwa ia harus dibebaskan demi hukum. Ini yang membuat pihak rutan bingung dan akhirnya meminta kami untuk langsung menghubungi MA,” jelas Hendriyansyah.
Pihak keluarga Lutfi juga telah berupaya meminta klarifikasi dari JPU, namun tidak mendapatkan respons yang memuaskan.
“Keluarga sudah mendatangi jaksa untuk meminta kejelasan, tapi jaksa malah lepas tangan dan menyuruh keluarga untuk langsung mengurusnya ke MA di Jakarta. Ini jelas tidak adil,” lanjut Hendriyansyah dengan nada kecewa.
Merasa tidak mendapat kepastian hukum, Hendriansyah memastikan akan segera berkirim surat ke Mahkamah Agung untuk meminta penegasan terkait status kliennya.
“Kami akan mengirimkan surat resmi ke MA agar ada kejelasan. Jika memang harus ditahan 50 hari lagi, maka seharusnya tidak ada catatan pembebasan demi hukum. Tapi jika memang Lutfi sudah memenuhi masa hukumannya sesuai putusan PT Surabaya dan PN Situbondo, maka ia harus dibebaskan tanpa syarat. Jangan ada ambiguitas seperti ini,” tegasnya.
Menurutnya, jika memang ada alasan hukum untuk memperpanjang masa penahanan, maka seharusnya perpanjangan itu diatur dengan jelas, bukan malah menyisakan kebingungan hukum seperti sekarang.
“Jika memang ingin diperpanjang, perpanjanglah dengan dasar hukum yang jelas. Jika tidak, maka bebaskan Lutfi seperti yang seharusnya. Atau setidaknya, berikan solusi yang lebih manusiawi seperti tahanan rumah atau tahanan kota,” pungkasnya.
Kasus ini menjadi sorotan karena mencerminkan lemahnya koordinasi antara lembaga hukum di Indonesia. Ambiguitas dalam putusan Mahkamah Agung justru menimbulkan kebingungan di tingkat bawah, mulai dari Rutan hingga pihak keluarga terdakwa.
“Ketidakpastian hukum seperti ini juga berpotensi melanggar hak asasi manusia. Jika seorang terdakwa seharusnya bebas demi hukum, tetapi tetap ditahan karena ketidaksempurnaan administrasi, maka ini bisa dikategorikan sebagai pelanggaran hak asasi,” ungkap Lukman pengacara Situbondo lainnya.
Kasus Lutfi bin Suartis menjadi bukti bahwa reformasi hukum di Indonesia masih perlu diperbaiki. Kejelasan putusan, koordinasi antar-lembaga, dan kepastian hukum bagi terdakwa harus menjadi prioritas agar kejadian serupa tidak terulang di masa depan.
Kini, nasib Lutfi masih menggantung, menunggu kejelasan dari Mahkamah Agung. Apakah ia akan tetap menjalani 50 hari masa tahanan tambahan, atau akhirnya mendapatkan haknya untuk bebas demi hukum.