Daerah

Bodoh – Bodohi Kepala Daerah

Bukan membangun daerah, kepala daerah itu membangun pegawai. Bukan memakmurkan rakyat, APBD itu dikelola untuk sebesar-besarnya kemakmuran pegawai. APBD itu hakikatnya ialah politik anggaran untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan, dan peran serta masyarakat. Kemakmuran rakyat menjadi tema sentral penggunaan uang negara termasuk uang daerah.

Karena itulah konstitusi memerintahkan agar APBN dan APBD dikelola secara terbuka dan bertanggung jawab untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Kemakmuran rakyat telah dibajak untuk kemakmuran pegawai. Tidak percaya? Bedahlah postur APBD. Menkeu Sri Mulyani Indrawati mencatat porsi belanja pegawai tinggi, 36%. Penggunaan belanja barang dan jasa terutama perjalanan dinas, 13,4%. Belanja jasa kantor bisa mencapai 17,5%. Hampir 70% APBD untuk mengurusi orang-orang pemda, sisa-sisanya untuk rakyat.

Catatan Mendagri Tito Karnavian pada pembukaan Musrenbangnas 2021 di Jakarta, Selasa (4/5), lebih menyedihkan lagi. Kata dia, ada beberapa daerah dengan belanja modal rendah, hanya 12%. Dari angka belanja modal 12% itu pun 3%-5% digunakan lagi untuk biaya rapat pegawai. Masyarakat hanya merasakan 7%-8% manfaat dari 12% belanja modal yang dianggarkan. Dilihat dari sisi anggaran, harus tegas dikatakan bahwa kepala daerah telah melanggar sumpah yang diucapkannya. Lafal sumpah antara lain, “menjalankan segala undang-undang dan peraturannya dengan selurus-lurusnya…” Sesuai amanat Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, penyelenggaraan otonomi daerah harus selalu berorientasi pada peningkatan kesejahteraan masyarakat dengan selalu memperhatikan kepentingan dan aspirasi yang tumbuh dalam masyarakat.

Tidak satu pun pasal yang menyebutkan otonomi berorientasi pada peningkatan kesejahteraan pegawai. Pegawai yang tergabung dalam perangkat daerah itu mestinya bekerja untuk kesejahteraan rakyat. Pembentukan perangkat daerah, menurut Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2016 tentang Perangkat Daerah, memegang prinsip tepat fungsi dan tepat ukuran berdasarkan beban kerja yang sesuai dengan kondisi nyata di setiap daerah. Karena itu, jika belanja pegawai membebani APBD, berarti ada yang salah. Tidak tepat fungsi, tidak tepat ukuran. Jangan-jangan birokrasi daerah gemuk sehingga perlu dirampingkan lagi. Belanja pegawai yang begitu besar juga menyebabkan daerah tidak bisa melaksanakan perintah konstitusi. Pasal 31 ayat (4) UUD 1945 menyebutkan negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20% dari APBN dan APBD untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional.

Hasil evaluasi Komisi X DPR menunjukkan mayoritas kabupaten/kota belum mengalokasikan 20% APBD untuk pendidikan. Rata-rata daerah hanya mengalokasikan 8%-9% APBD untuk pendidikan. Neraca pendidikan daerah (NPD) yang dirilis Kemendikbud 2019 menunjukkan 99% pemda masih mengalokasikan anggaran pendidikan di bawah 20% dalam APBD masing-masing. Hanya beberapa kabupaten yang mengalokasikan anggaran di atas 20%.

Mereka Bukan karena tidak ada uang. Uang malah berlimpah di daerah. Persoalannya ialah salah mengelola anggaran atau tidak tahu mengelola uang sehingga dana daerah diparkir di bank. Setiap tahun Presiden Joko Widodo menyentil keberadaan dana daerah di bank. Pada saat membuka Musrenbangnas 2021, Presiden mengatakan, di akhir Maret 2021 di perbankan masih ada uang APBD provinsi, kabupaten, dan kota Rp182 triliun.

Semakin sempurna persoalan APBD dengan penyerapan anggaran yang belum maksimal. Penyerapan anggaran daerah tahun lalu di bawah 75%. Karena itulah Mendagri mengeluarkan surat edaran pada 12 Januari. Mendagri minta percepatan pelaksanaan APBD agar terhindar dari penumpukan penyerapan anggaran di akhir tahun. Sudah tiba waktunya kepala daerah meneguhkan komitmen janji kampanye untuk menyejahterakan rakyat. Komitmen itu mesti tampak dalam postur APBD yang sebesar-besarnya dipergunakan untuk kepentingan rakyat, bukan memakmurkan pegawai.

Kepala daerah jangan percaya begitu saja kepada Bappeda dan sekda yang menyusun anggaran. Terlalu banyak Bappeda dan sekda yang suka-suka menyusun anggaran, kepala daerah tanpa mengecek langsung tanda tangan. Itulah modus yang, meminjam istilah Mendagri, membodoh-bodohi kepala daerah. (AU)

 

Lihat Selengkapnya

Related Articles

Back to top button