DaerahLangkatSumateraSUMUT

Di Langkat, Rumah Tak Layak Huni Berkaitan dengan Garis Kemiskinan yang Meningkat

BeritaNasional.ID, Langkat – Garis kemiskinan di Kabupaten Langkat terus meningkat setiap tahunnya. Pada tahun 2021, garis kemiskinan berada di level Rp432.371,- per kapita per bulan, kemudian meningkat sebesar 4,86 persen atau sebesar Rp21.012,- per kapita per bulan pada tahun 2022 menjadi Rp453.383,- per kapita per bulan.

Informasi dirangkum beritanasional.id, Senin (8/5/2023) menyebutkan,  berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Langkat, Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1) Kabupaten Langkat meningkat 0,16 poin dari 1,17 poin pada tahun 2021 menjadi 1,33 poin pada tahun 2022. Artinya rata-rata kesenjangan pengeluaran masing-masing penduduk miskin terhadap garis kemiskinan semakin besar.

Indeks Keparahan Kemiskinan (P2) juga mengalami peningkatan sebesar 0,08 poin dari 0,23 poin pada tahun 2021 menjadi 0,31 poin pada tahun 2022. Hal ini mengindikasikan ketimpangan pengeluaran antar penduduk miskin semakin besar.

Kepala BPS Kabupaten Langkat, Ir. Tuti Hidayati, M.Si, melalui Koordinator Statistik Sosial Kabupaten Langkat, Muhammad Sukur S.E, Kamis (27/4/2023) lalu mengatakan, dari data sampel survei Susenas (Survei Sosial Ekonomi Nasional) yang dilakukan Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Langkat menyebutkan, Garis Kemiskinan (GK) per Rumah Tangga, pada Maret 2022 mengalami kenaikan/peningkatan.

Hasil sampel dari Susenas terkait “Garis Kemiskinan” merupakan salah satu ukuran yang cukup penting di dalam penghitungan jumlah penduduk miskin disuatu wilayah.

Dimana pengukuran garis kemiskinan berfungsi sebagai determinan atau penentu apakah seseorang dikatakan sebagai penduduk miskin atau tidak. Ia menjelaskan, penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran perkapita per bulan dibawah garis kemiskinan dikategorikan sebagai penduduk miskin.

Terkait garis kemiskinan tersebut, awak media beritanasional.id melakukan kroscek kelapangan dengan mendatangi beberapa desa di Langkat, salah satu di wilayah Kecamatan Tanjung Pura. Dari perbicangan dengan warga tersebut, awak mendia ini melakukan tanya jawab seputar biaya pengeluaran makanan dan non makanan.

Terbukti, kondisi ketidakmampuan masyarakat dalam memenuhi kebutuhan dasar sangat memprihatinkan, yaitu dari segi makanan, air bersih, sanitasi layak, kesehatan, tempat tinggal, pendidikan dan akses informasi terhadap pendapatan dan layanan sosial.

Kemiskinan ekstrem banyak ditemui di kawasan pesisir pantai, seperti di wilayah Langkat, khususnya di Tanjung Pura. Selayaknya “Kemiskinan Ekstrem” dipesisir pantai ini, seyogianya bisa teratasi oleh Pemerintah Langkat.

Temuan warga miskin ekstrem di lapangan menyebutkan, keluhan terhadap ketiadaan pasti penghasil dari pekerjaan yang mereka tekuni. Dan hal ini menjadi faktor utama ekonomi mereka melemah, dan berdampak pada peningkatan garis kemiskinan dari tiap tahunnya.

Pada level propinsi, garis kemiskinan dapat dibedakan menjadi garis kemiskinan perkotaan dan garis kemiskinan perdesaan.

Adapun garis kemiskinan itu sendiri dibentuk berdasarkan Garis Kemiskinan Makanan (GKM) dan Garis Kemiskinan Non-Makanan (GKNM).

Garis Kemiskinan Makanan merupakan nilai pengeluaran kebutuhan minimum makanan yang disetarakan dengan 2.100 kilo kalori per kapita per hari.

Sedangkan Garis Kemiskinan Non Makanan adalah kebutuhan minimum untuk perumahan, sandang, pendidikan dan kesehatan.

Paket komoditi kebutuhan dasar makanan diwakili oleh 52 jenis komoditi (padi-padian, umbi-umbian, ikan, daging, telur dan susu, sayuran, kacang-kacangan, buah-buahan, minyak dan lemak, dll).

Sementara paket komoditi kebutuhan dasar non makanan diwakili oleh 51 jenis komoditi di perkotaan atau 47 jenis komoditi di perdesaan.

Usman (70) didampingi istrinya Nur Aini (60) warga Dusun IV, Desa Bubun, Kecamatan Tanjung Pura, Kabupaten Langkat, Sumut, saat dimkofirmasi, Minggu (7/5/2023) terkait kebutuhan biaya hidup dan pendapatan perekonomiannya sebagai buruh nelayan mengatakan, pihaknya sangat mengeluh dengan hasil pendapatannya saat ini. Ia juga mengatakan, tidak mungkin bisa terjadi peningkatan ekonomi dari pekerjaan melaut, yang disebabkan, sudah banyak hutan pantai yang beralih fungsi ke perkebunan kelapa sawit.

Penghasilan dari pendapatan sebagai buruh nelayan sangat tidak mencukupi untuk biaya hidup, apalagi untuk perbaikan rumah atau tempat tinggalnya.

“Untuk bisa makan enak, dan mengubah dengan makanan yang sehari-hari dimakan sebelumnya, termasuk untuk membeli baju yang lebih baik dan lainnya, rasanya tidak mungkin, apalagi untuk peningkatan ekonomi,” ucap Usman dan Nur Aini.

Mereka menyebutkan, hasil laut dari penangkapan ikan-ikan saat ini sangat berkurang, bahkan terkadang kami tidak mendapat ikan ketika melaut, sehingga harus mencari tambahan kerja ke yang lain, yakni  mencari pucuk nipah, di mana lidinya yang akan diambil, selanjutnya dijual.

Usman yang ditanya, ada berapa orang anak yang dimilikinya? pihaknya mengatakan ada 12 orang anak, namun 3 diantaranya sudah meninggal. “Seluruh anak sudah berumah tangga,” sebutnya.

Terkait ada berapa keluarga yang tinggal serumah dirumahnya ini? Pihaknya mengatakan ada 2 kepala rumah tangga. Artinya yang tinggal dirumah ini bersama 4 orang cucu , atau berjumlah 8 orang yang tingal dirumah gubuk kami ini.

“Kami berharap, Pemerintah Langkat mau membantu kami, yakni melakukan program bedah rumah,” ungkap Usman.

Sementara Nur Aini mengatakan, kami tidak pernah menerima bantuan dari pemerintah, seperti bantuan PKH Lansia, dan lainnya.

Ketua BPD Desa Bubun, Amirwan, yang dikonfirmasi, terkait soal bantuan bedah rumah untuk warga miskin yang rumah tidak layak huni, pihaknya mengatakan, tahun lalu pihak desa telah mengusulkan 20 permohonan bantuan bedah rumah ke Pemerintah Langkat, namun sampai saat ini, bantuan tersebut tak kunjung terelisasi, ucapnya, seraya berharap Pemerintah Langkat dapat memprioritaskan bantuan bedah rumah untuk warga di desa kami.

Secara terpisah, masyarakat miskin  atas nama Nurhayati (36), Selamat (48) dan Nek Supiah (90) yang berdomisili di Dusun Parit Penghulu, Desa Suka Maju, Tanjung Pura mengatakan, mereka juga memiliki kehidupan yang kurang layak.

Dimana dirata-rata kepala keluarga mereka bekerja sebagai buruh tani. Meskipun sebagian besar di desa merupakan potensi areal pertanian tanaman pangan, namun tidak semua warga memiliki tanah pertanian.

Mereka hanyalah sebagai  buruh tani, seperti mengolah tanah dan tanaman. Mereka bisa mendapatkan uang, ketika ada orang yang membutuhkan tenaga kerja mereka. Termasuk  sebagai tukang panen padi/merebon padi, bekerja di kebun sawit warga, termasuk sebagai tukang dodos buah sawit dan lainnya.

Selain pendapatan yang tak menentu, hunian (rumah mereka) juga cukup memprihatinkan, dan butuh adanya bantuan bedah rumah dari Pemerintah Langkat. Diketahui, mereka sebagai warga masyarakat miskin saat ini, belum mampu mengubah kehidupan yang lebih baik dan layak, dikarenakan faktor kerjaan yang kurang memadai.

Informasi dirangkum awak media ini, ternyata, warga miskin yang ditemui, baik itu warga di desa pesisir pantai dan desa di areal pertanian, mengakui tidak pernah membeli daging sapi/lembu untuk dikonsumsi sebagai lauk makan dalam setiap tahunnya. Artinya, garis kemiskinan mereka nyata akan meningkat terus. Hal itu disebabkan ketiadaan dana atau tidak memiliki uang. Dan hal itu difaktorkan dari pendapat mereka yang tak menentu.

Bagi masyarakat miskin didaerah desa pertanian, mereka mengakui, kalau lauk pauk yang sering dikonsumsi diantaranya, ikan asin, tempe, telur serta tahu. Dan jika ingin makan ikan, mereka mencarinya ke sawah.

Lain pula dengan masyarakat miskin dipesisir pantai, mereka sering mengkonsumsi ikan jika mereka melaut. Namun mereka juga mengakui tidak pernah membeli daging sapi/lembu. Begitu juga untuk membeli pakaian yang belebihan (pakaian dengan jumlah banyak) juga tidak mampu, sebut mereka. (Reza)

Lihat Selengkapnya

Related Articles

Back to top button