Daerah

Disita Kajati Aceh, Diduga PT DJ Alur Meranti dan PT DJ Alur Jambu Masih Kuasai. Praktisi Hukum Sebut Penghilangan BB dan Kerugian Negara

Beritanasional.id, ACEH TAMIANG — Terkait Penyidik Kejaksaan Tinggi (Kejati) Aceh telah menyita lahan perkebunan seluas 1.306,5 hektare (ha) dari dua perusahaan sawit terkait pengusutan dugaan tindak pidana pertanahan di Kabupaten Aceh Tamiang.

‎”Lahan yang disita tersebut merupakan perkebunan PT Desa Jaya (DJ) Alur Jambu dengan luas 429 hektare dan lahan perkebunan PT Desa Jaya Alur Meranti dengan luas 877,5 hektare. Kedua lahan tersebut berada di Kabupaten Aceh Tamiang. Dalam kasus dugaan pidana korupsi dengan tiga tersangka, yakni TY, TR, dan M,” ujar Kepala Kejati Aceh Bambang Bachtiar di Banda Aceh, Minggu 23 Juli 2023 saat itu.

Menyikapi perihal di atas Viski Umar Hajir Nasution SH MH selaku Praktisi Hukum memberikan Pandangan Hukum.

Menurutnya status hukum lahan yang disita tersebut berdasarkan Surat Perintah Penyitaan Kejati Aceh Nomor: PRINT-34/L.1/Fd.1/01/2023 tanggal 25 Januari 2023, dan Penetapan Pengadilan Negeri Kuala Simpang Nomor: 351/Penpid.B-SITA/2023/PN Ksp tanggal 27 Juni 2023, maka lahan seluas ±877 hektar milik PT Desa Jaya Alur Meranti sah secara hukum telah disita sebagai barang bukti dalam perkara pidana korupsi.

Plang yang berada di Lahan PT Desa Jaya Alur Jambu

‎”Begitu juga dengan lahan PT Desa Jaya Alur Jambu yang dilakukan penyitaan oleh Kejaksaan Tinggi (Kejati) Aceh, berdasarkan surat perintah penyitaan Nomor : PRINT-34/L.1/Fd.1/01/2023 Tanggal 25 Januari 2023. Penetapan Pengadilan Negeri Kuala Simpang NOMOR : 351/penpid.B-SITA/2023/PN Ksp Tanggal 27 Juni 2023. Dalam perkara tindak pidana korupsi,” ujar Viski Umar Hajir Nasution SH MH, Minggu 10 Agustus 2025.

‎Lanjut Viski, pihak Kejaksaan juga telah memasang plang pemberitahuan pada lahan tersebut, terkait status penyitaan.

‎”Dengan status hukum “disita”, maka seluruh kegiatan atas objek tersebut tunduk dan berada di bawah penguasaan negara, yang dikelola oleh Kejaksaan sebagai eksekutor penetapan pengadilan,” katanya.

‎Selanjutnya kata Viski, Kewajiban penyerahan pengelolaan kepada pihak ketiga yang sah. Dalam praktik hukum pidana korupsi, terutama untuk aset produktif (seperti lahan sawit), kejaksaan berkewajiban menyerahkan pengelolaan sementara kepada pihak ketiga yang dapat menjamin.

Plang yang berada di lahan PT Desa Jaya Alur Meranti
Plang yang berada di lahan PT Desa Jaya Alur Meranti

‎Seperti, Kelangsungan produksi, Perlindungan hak-hak tenaga kerja, Pengamanan aset agar nilai ekonominya tidak hilang, juga Optimalisasi pengembalian kerugian negara.

‎”Biasanya, PTPN sebagai BUMN atau badan yang ditunjuk oleh negara merupakan pihak yang paling sah untuk menerima pengelolaan berdasarkan prinsip tata kelola dan akuntabilitas negara,” ucap Viski.

‎Hal itu merujuk pada ketentuan dalam, Pasal 45 KUHAP: Barang bukti harus diamankan dan disimpan oleh negara. Kemudian, Peraturan Jaksa Agung RI No. PER-004/A/JA/03/2014 tentang Standar Operasional Penanganan Barang Bukti dan Barang Rampasan.

‎”Dalam Pasal 18 UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001): Hasil kejahatan dapat dirampas untuk negara,” katanya.

‎Lebih lanjut Kata Viski, Dugaan bahwa PT Desa Jaya Alur Meranti, dan PT. Desa Jaya Alur Jambu (pihak yang sedang berperkara) masih mengelola lahan yang telah disita, melanggar asas penguasaan negara terhadap barang bukti.

‎”Jika tidak ada penetapan resmi untuk menunjuk PT Desa Jaya Alur Meranti, dan  PT Desa Jaya Alur Jambu sebagai pengelola sementara (yang seharusnya ditolak karena merupakan tersangka), maka aktivitas ini dapat dikategorikan sebagai: Obstruction of justice (menghalangi proses hukum)
‎Perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad) yang merugikan keuangan negara Pelanggaran terhadap penetapan Pengadilan,” jelas Viski.

‎”Jika itu terjadi, ini berpotensi sanksi hukum, Sanksi pidana tambahan bagi tersangka / perusahaan. Jika terbukti bahwa pengelolaan dilakukan oleh pihak yang telah disita asetnya, maka Jaksa dapat menambahkan unsur perbuatan melawan hukum lanjutan atau tindak pidana baru, yakni: Penggelapan aset dalam proses hukum (Pasal 231 KUHP)
‎Perintangan proses peradilan (Pasal 21 UU Tipikor), Tindak pidana pencucian uang (TPPU) jika ada indikasi bahwa hasil panen disamarkan atau digunakan untuk menutupi sumber keuangan,” tambah Viski.

‎”Pertanggungjawaban Jaksa atau Aparat Penegak Hukum, Jika kejaksaan diketahui lalai, membiarkan, atau dengan sengaja tidak menegakkan status sita, maka tindakan tersebut dapat diperiksa oleh: Jamwas Kejaksaan Agung RI
‎Ombudsman RI (maladministrasi)
‎Komisi Kejaksaan, Aparat yang terbukti lalai atau bekerja di luar prosedur bisa dikenai sanksi etik, administratif, atau bahkan pidana (Pasal 421 KUHP – penyalahgunaan wewenang oleh pejabat),” kata Viski lagi.

‎Masih kata Viski, jika kerugian Negara karena hasil panen dijual dan dibayarkan langsung ke rekening PT tersebut, maka: Negara berpotensi mengalami kerugian, karena keuntungan dari lahan yang disita seharusnya masuk ke kas negara.

‎Viski menambahkan, Hal ini membuka jalan untuk audit oleh BPK atau BPKP, serta penghitungan potensi kerugian negara sebagai bagian dari tindak pidana korupsi lanjutan.

‎”Kesimpulannya jika benar, Pengelolaan lahan sawit tersebut yang telah disita oleh Kejaksaan dan ditetapkan oleh Pengadilan, namun masih dikuasai dan dikelola oleh PT Desa Jaya Alur Meranti, dan PT Desa Jaya Alur Jambu maka diduga melanggar ketentuan hukum pidana dan perdata yang berlaku. Kejaksaan sebagai pemegang amanah pengelolaan aset negara wajib segera menertibkan dan menyerahkan kepada pihak yang sah, serta menghentikan segala aktivitas yang dilakukan,” katanya.

‎”Berdasarkan UU no 18 tahun 2003 tentang advokat di pasal 5 berbunyi advokat berstatus aparat penegak hukum. Oleh sebab itu. Saya akan mencoba untuk menyurati Kejari Aceh Tamiang, Kejati Aceh, dan Kejagung RI, terkait kedudukan tersebut.
‎Soalnya saya melihat di dalam amar putusan di sebutkan lahan sitaan tersebut di rampas oleh negara di salah satu amar putusan. Dan saya juga akan mencoba menyurati Pengadilan Tipikor Banda Aceh utk mencoba di tafsirkan amar Putusan tersebut,” pungkas Viski Umar Hajir Nasution SH MH.

‎Sebelumnya diberitakan, Pihak Kejaksaan kabar nya menyerahkan pengelolaan lahan PT Desa Jaya Alur Meranti, ke PT.PN (Badan Usaha Milik Negara (BUMN).

‎Hal Itu bertujuan untuk menjaga keberlangsungan operasional perkebunan, melindungi hak-hak pekerja, dan mengembalikan keuntungan kepada negara untuk kesejahteraan rakyat. Sebagaimana aturan yang berlaku

‎Namun, faktanya dugaan pengelolaan lahan hasil masih dikuasai oleh PT Desa Jaya Alur Meranti, dan PT. Desa Jaya Alur Jambu.

‎Itu diperkuat oleh keterangan salah satu Pekerja PT Desa Jaya Alur Meranti, Sarif KTU PKS Pulo Tiga, dan Febri Humas PTPN Regional  Langsa, pada Selasa 29 Juli 2025 lalu.

‎”Lahan masih di kelola oleh PT Desa Jaya Alur Meranti. Kalau orang PT. PN nggak pernah datang kemari,” ujar Pekerja PT Desa Jaya Alur Meranti kepada Wartawan.

‎”Soal di kelola oleh PT. PN itu tidak ada bang, tidak ada orang PT. PN disini, kalau soal surat menyurat dan legalitas, saya tidak tau, karena saya hanya orang lapangan, untuk luas lahan 800 Hektar lebih kurang, untuk hasil kami jual ke PKS Pulo Tiga, setelah itu kemana di bayarkan saya tidak tau, untuk hasil saat ini sedang trek, tidak ada hasil, hanya dua dam truk lah dalam satu hari sekitar 14 sampai 15 Ton,” tambahnya.

‎Wartawan juga melakukan Konfirmasi kepada Sarif yang merupakan KTU PKS  Pulo Tiga terkait hasil penjualan Tandan Buah Segar (TBS) PT Desa jaya Alur Meranti.

‎Sarif menjawab “Pembayaran langsung ke rekening PT Desa jaya Alur Meranti,” katanya singkat.

‎Sedangkan Febri Humas PTPN Regional  Langsa yang dikonfirmasi melalui telepon WhatsApp terkait pengelolaan lahan PT. Desa Jaya Alur Meranti mengatakan, pihaknya tidak pernah mengelola.

‎”Kami tidak ada mengelola lahan PT Desa Jaya Alur Meranti, kami hanya di titipkan barang bukti saja dari pihak Kejaksaan, hanya itu tidak lebih,” katanya.

Lihat Selengkapnya

Related Articles

Back to top button