Opini

Hukuman Mati dan HAM

Oleh : Puguh Wiyono*

BeritaNasional.Id– Peringatan hari HAM sedunia yang jatuh setiap tanggal 10 Desember sering diikuti dengan munculnya perdebatan tentang hukuman mati di Indonesia. Kesadaran  masyarakat Indonesia terhadap persoalan pilihan nilai menyangkut hukuman mati terus berkembang secara dinamis. Kesadaran inilah yang menimbulkan pro dan kontra terkait hukuman mati. Disatu pihak ada yang setuju dengan hukuman mati dan dipihak lain menghendaki hukuman mati dihapuskan. Masing-masing pihak tentu mempunyai berbagai argumen mulai dari yang paling emosional sampai pada yang paling rasional. Perdebatan muncul lantaran pidana mati menyangkut nyawa manusia dan merupakan vonis paling menakutkan dan dianggap paling menjerakan dibanding vonis hukuman lainnya. Disatu sisi suara publik yang terus menyuarakan hukuman mati itu bertentangan dengan Hak Asasi Manusia (HAM). Disisi lain saat ini hukum positif mengakui adanya hukuman mati, oleh karena itu masih berlaku karena pidana di Indonesia menganut asas Legalitas.

Dipihak yang setuju terhadap pelaksanaan hukuman mati beranggapan bahwa sudah selayaknya hukuman mati diberikan kepada kejahatan yang mengancam hak untuk hidup orang lain. Dimana rasa keadilan bahwa hak untuk hidup dari pelaku kejahatan pembunuhan berencana, genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan, terorisme dan pengedar narkotika itu harus dihapuskan dengan mengabaikan hak hidup korban dari kejahatan mereka?. Kelompok yang pro terhadap hukuman mati beranggapan bahwa isu ham tetap mempunyai batasan yaitu ham  orang lain. Hal yang mendasar adalah antara HAM dengan kewajiban asasi manusia itu seharusnya sama. Ketentuan dalam hukum positif kita bahwa seseorang tidak bisa dipidana sebelum ada aturannya, sementara aturan saat ini diatur sampai hukuman mati, dalam kasus-kasus tertentu diatur maksimal hukuman mati karena saat ini masih berlaku dan sah.

Pada tahun 2007 dalam uji materi atas hukum mati pada UU No.22 Tahun 1997 tentang Narkotika, sejumlah dalil menolak hukuman mati disampaikan pada uji materi. Namun Mahkamah Konstitusi dengan sejumlah hakim melakukan dissenting, menolak uji materi tersebut dan menyatakan hukuman mati tidak bertentang dengan konstitusi karena UUD 1945 tidak menganut kemutlakan hak asasi manusia.

Menurut kelompok yang menolak, alasan pertama adalah bahwa hukuman mati itu bertentangan dengan hak untuk hidup yang dijamin oleh pasal 28A ayat (1) UUD 1945 bahwa “Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya”. Hukuman mati juga dianggap pengingkaran terhadap hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaaan apapun seperti termuat dalam pasal 28I ayat (1) UUD 1945 bahwa “Hak untuk hidup, adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun”. Mengingat hak hidup merupakan hak asasi manusia, maka perampasan nyawa orang lain berupa pembunuhan dalam bentuk penjatuhan hukuman mati adalah pelanggaran ham. Indonesia juga telah meratifikasi Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik (ICCPR) melalui UU No. 12 Tahun 2005 dalam Pasal 6 ayat (1) menegaskan hak hidup adalah suatu hak yang melekat kepada setiap individu, tanpa memandang perbedaan status kewarganegaraan.

Kedua, hukuman mati merupakan salah satu bentuk penghukuman yang kejam dan tidak manusiawi. Hukum internasional hak asasi manusia, termasuk juga yurisprudensi pengadilan di beberapa negara dan kawasan telah menegaskan bahwa praktik eksekusi hukuman mati merupakan suatu tindakan penghukuman yang kejam, tidak manusiawi dan merendahkan derajat dan martabat seseorang.

Ketiga, rapuhnya sistem peradilan pidana, sehingga sangat terbuka peluang kesalahan penghukuman. Dalam banyak kasus, termasuk di Indonesia, kesalahan penghukuman (wrongful conviction) menjadi sesuatu yang seringkali tak-terhindarkan dalam praktik hukum pidana.

Keempat, tidak sejalan dengan arah pembaruan hukum pidana. Pemberlakuan pidana mati cenderung menekankan aspek balas dendam (retributive). Padahal di sisi lain, paradigma dalam tatanan hukum pidana telah mengalami perubahan ke arah keadilan restoratif (restorative justice).

Kelima, Menurut pandangan konvensional, hukuman mati dianggap perlu untuk mencegah seseorang agar tidak melakukan kejahatan. Sebaliknya, survei komprehensif yang dilakukan oleh PBB, pada 1988 dan 1996, menemukan fakta tiadanya bukti ilmiah yang menunjukan bahwa eksekusi hukuman mati memiliki efek jera yang lebih besar dari hukuman penjara seumur hidup.

Keenam, penderitaan mendalam yang dialami keluarga korban akibat eksekusi. Penderitaan yang dialami dalam pemberian hukuman mati tidak hanya dialami korban atau orang yang dieksekusi semata (terpidana), tetapi juga oleh keluarganya (co-victims). Penderitaan tersebut terjadi dalam beberapa tahapan, mulai dari shock, emosi, depresi dan kesepian, gejala fisik distress, panik, bersalah, permusuhan dan kebencian, ketidakmampuan untuk kembali ke kegiatan biasa, harapan, dan penegasan realitas baru mereka.

Ketujuh, kecenderungan internasional yang semakin meninggalkan praktik hukuman mati. Laporan Amnesty International menyebutkan, sampai dengan April 2015, sedikitnya 140 negara telah menerapkan kebijakan abolisionis terhadap hukuman mati, baik secara hukum (de jure) maupun secara praktik (de facto). Sedangkan yang masih menerapkan dan menjalankan praktik hukuman mati, tinggal 55 negara.
dikutip dari laman resminya Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam).

Pilihan sudah ditetapkan. Pidana mati sudah merupakan suatu ketentuan hukum positif. Kesadaran sebagian besar masyarakat Indonesia masih menghendaki untuk mempertahankan hukuman mati. Konsekwensinya eksekusi pidana mati harus dijalankan. Immanue Kant pernah berkata, “Bahkan jika suatu masyarakat telah berketetapan hati untuk membubarkan dirinya sendiripun, pembunuh terakhir yang meringkuk di dalam penjara harus dieksekusi”.

Mungkin suatu saat nanti apabila kesadaran masyarakat sudah lebih baik tidak perlu ada hukuman yang bernama hukuman mati, karena sudah tidak ada lagi orang yang melakukan kejahatan yang harus diancam dengan hukuman mati.

 

*Penulis :
Puguh Wiyono (ASN pada Kanwil KemenkumHam SulSel)

Lihat Selengkapnya

Related Articles

Back to top button