Kasus Kekerasan Anak Pers Wajib Hati – hati Dalam Pemberitaan, Dampaknya Besar
KEKERASAN ANAK– Kasus kekerasan terhadap anak di Indonesia terus meningkat setiap tahun. Tidak sedikit yang menjadi konsumsi media. Media menyuguhkan lengkap dengan judul dari yang biasa-biasa saja sampai bombastis.
Seringkali judul-judul berita kekerasan anak yang ditampilkan membuat kita tercengang membacanya, tapi tak jarang “sukses” membawa pembaca hanyut untuk meng-klik tautan dan Fenomena ini sering disebut clickbait.
Clickbait selalu mencuat dalam dunia digital khususnya media online. Tujuannya dari clickbait itu sendiri menarik pembaca atau warganet melakukan interaksi dan klik situsweb dan terakhir mendulang dengan apa yang disebut page view atau sering disebut jumlah klik masuk.
Sementara banyak sekali yang terlupakan oleh seorang wartawan saat melakukan pemberitaan terhadap kekerasan anak, yaitu Rekam Jejak Digital terhadap anak tersebut.
” Saya mengingatkan pentingnya pemberitaan ramah anak sesuai ketentuan dan kode etik yang berlaku, mengingat dampak berita negatif akan mempengaruhi masa depan mereka,” ajak Jurnalis senior Uni Lubis saat menjadi Narasumber workshop bertema ‘Liputan Ramah Anak dan Kode Etik Jurnalistik’ yang diselenggarakan Lembaga Pers Dr. Soetomo (LPDS) bersama dengan Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA), secara zoom metting, Selasa (31/5/2022).
Menurut Pemimpin Redaksi IDN Times menyampaikan poin penting dalam pemberitaan kekerasan anak itu diataranya melindungi anak dari dampak pemberitaan itu penting. Karena belakangan ini marak pemberitaan yang berkaitan dengan anak, baik sebagai korban maupun pelaku.
Ia mengatakan, ada dua landasan mengapa itu penting, yaitu secara filosofis dan hukum.
“Landasan filosofisnya ya anak itu masa depan dari sebuah bangsa, ya landasan hukumnya itu ada Undang-Undang Pasal 28 B ayat 2 ya, kemudian Undang-Undnag No. 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas UU Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, lalu ada Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang sistem peradilan anak,” kata Uni Lubis.
Uni Lubis juga menjelaskan Undang-Undang Pasal 28 B ayat 2 mengatakan, setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
Kemudian Uni Lubis menjelaskan dampak pemberitaan yang tidak beretika terhadap anak sangat mengganggu pertumbuhan dan kejiwaan dari seorang anak.
“Stigma srcara negatif akan tercipta dan akan menjadi dampak pemberitaan jangka panjang. Jangka panjang dari Rekam Jejak Digital serta akan mempengaruhi masa depan anak tersebut,” urainya.
Uni Lubis menyampaikan setidaknya banyak kasus anak yang viral dan menimbulkan labeling, sehingga anak itu sulit mengembangkan diri, bahkan sulit sekolah dan mendapat pekerjaan karena identitasnya dibuka oleh pers.
“Anak yang menjadi pelaku kriminal atau kejahatan yang harus menghuni LAPAS, juga bisa ditolak oleh lingkungannya saat bebas, bahkan malu untuk kembali ke keluarganya. Ujung-ujungnya, mereka justru bisa terjerumus ke lembah kejahatan lagi,” urainya.
Kemudian Uni Lubis menyebutkan data dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia tahun 2020, hanya 48,3 persen anak korban yang pulih setelah mendapat rehabilitasi, sisanya tidak tuntas rehabilitasinya.
” Hanya 48.3 persen anak korban yang pulih setelah mendapat rehabilitas dan sisanya tidak selesai rehabiliatsnya,” ujar Uni.
Menuritnya ada dampak lain yang tak kalah mengerikan. Dalam kasus kejahatan seksual misalnya, korban, saksi, bahkan keluarganya bisa diancam dan dintimidasi oleh pelaku jika mereka dibuka.
” Selama ini pers menyajikan informasi secara gamblang. Tidak jarang kita membaca Ayah Kandung Gagahi Anak Kandung. Ini cukup bahaya, bahkan tak jarang media sebut dengan nama samaran seperti ‘Bunga, Mawar, Melati’ dan sebagainya. Dan menyebutkan indentitas desa dan sekolah yang akurat. Pertanyaannya bagaimana kalau di desa atau sekolah terssbut ada nama Bunga, Mawar, Melati’ dan sebagainya?,” urainya.
Bahkan dalam sejumlah kasus, anak korban terusir dari lingkungan karena masyarakat menganggap pelaku adalah orang terhormat atau terpandang
Untuk itu Uni Lubis mengajak para Jurnalis dan media untuk dapat perlu tahu aturan-aturan. Karena menurutnya tugas wartawan di era digital semakin sulit dan menantang, karena banyak sekali aturan yang harus dipahami.
Penting untuk media pers memahami Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak Pasal 19, identitas anak pelaku, korban dan atau saksi wajib dirahasiakan dalam pemberitaan.
Begitu pula penting menjalankan Kode Etik Jurnalistik Pasal 5 yang berisi, wartawan Indonesia tidak menyebutkan dan menyiarkan identitas korban kejahatan susila dan tidak menyebutkan identitas anak yang menjadi pelaku kejahatan. Dan Pasal 9, wartawan Indonesia menghormati hak narasumber tentang kehidupan pribadinya (kecuali untuk kepentingan publik).
“Merahasiakan identitas itu tidak sebatas merahasiakan nama menjadi inisial, tetapi merahasiakan semua informasi yang bisa merujuk kepada bersangkutan,” kata Uni.
Pasal 14 Ayat 1 dalam Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS) KPI, lembaga penyiaran juga disebutkan wajib memberi perlindungan dan pemberdayaan kepada anak dengan menyiarkan program siaran pada waktu yang tepat sesuai penggolongan program siaran.
Dan Ayat 2, lembaga penyiaran wajib memperhatikan kepentingan anak dalam setiap aspek produksi siaran.
Menurutnya ada 12 Pedoman pemberitaan yang ramah anak yang difasilitasi pembuatannya oleh Dewan Pers dan didukung oleh KemenPPPA adalah sebagai berikut:
Berikut 12 butir Pedoman Pemberitaan Ramah Anak:
1. Wartawan merahasiakan identitas anak dalam memberitakan informasi tentang anak khususnya yang diduga, disangka, didakwa melakukan pelanggaran hukum atau dipidana atas kejahatannya.
2. Wartawan memberitakan secara faktual dengan kalimat/narasi/visual/audio yang bernuansa positif, empati, dan/atau tidak membuat deskripsi/rekonstruksi peristiwa yang bersifat seksual dan sadistis.
3. Wartawan tidak mencari atau menggali informasi mengenai hal-hal di luar kapasitas anak untuk menjawabnya seperti peristiwa kematian, perceraian, perselingkuhan orangtuanya dan/atau keluarga, serta kekerasan atau kejahatan, konflik dan bencana yang menimbulkan dampak traumatik.
4. Wartawan dapat mengambil visual untuk melengkapi informasi tentang peristiwa anak terkait persoalan hukum, namun tidak menyiarkan visual dan audio identitas atau asosiasi identitas anak.
5. Wartawan dalam membuat berita yang bernuansa positif, prestasi, atau pencapaian, mempertimbangkan dampak psikologis anak dan efek negatif pemberitaan yang berlebihan.
6. Wartawan tidak menggali informasi dan tidak memberitakan keberadaan anak yang berada dalam perlindungan LPSK.
7. Wartawan tidak mewawancarai saksi anak dalam kasus yang pelaku kejahatannya belum ditangkap/ditahan.
8. Wartawan menghindari pengungkapan identitas pelaku kejahatan seksual yang mengaitkan hubungan darah/keluarga antara korban anak dengan pelaku. Apabila sudah diberitakan, maka wartawan segera menghentikan pengungkapan identitas anak. Khusus untuk media siber, berita yang menyebutkan identitas dan sudah dimuat, diedit ulang agar identitas anak tersebut tidak terungkapkan.
9. Dalam hal berita anak hilang atau disandera diperbolehkan mengungkapkan identitas anak, tapi apabila kemudian diketahui keberadaannya, maka dalam pemberitaan berikutnya, segala identitas anak tidak boleh dipublikasikan dan pemberitaan sebelumnya dihapuskan.
10. Wartawan tidak memberitakan identitas anak yang dilibatkan oleh orang dewasa dalam kegiatan yang terkait kegiatan politik dan yang mengandung SARA.
11. Wartawan tidak memberitakan tentang anak dengan menggunakan materi (video/foto/status/audio) dari media sosial.
12. Dalam peradilan anak, wartawan menghormati ketentuan dalam Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak.
Penilaian akhir atas sengketa pelaksanaan Pedoman ini diselesaikan oleh Dewan Pers, sesuai Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers dan Peraturan-Peraturan Dewan Pers yang berlaku.
Disis pertanyaan workshop bertema ‘Liputan Ramah Anak dan Kode Etik Jurnalistik’ timbul pertanyaan apa yang dilakukan Dewan Pers untuk media yang telah memberitaan kekerasan secara gamblang tanpa memikirkan dampak dari pemberitaannya.
Uni menanggapi dalam hal itu perlu dilakukan pelaporan secara baik yaitu melalui organisasi – organisasi kewartawan yang ada di daerah – daerah masing.
” Dewan Pers itu tidak ada di daerah. Jadi laporan korban yang difasilitasi oleh organisasi – organisasi kewartawan yang ada di daerah untuk diteruskan ke Dewan Pers. Dan laporan korban ini sangat penting dilakukan demi melindungi anak yang artinya melindungi masa depan bangsa,” sebut Uni.