
BeritaNasional.id, SITUBONDO – Kejaksaan Negeri (Kejari) Situbondo memanggil 17 camat dari seluruh wilayah kecamatan di Kabupaten Situbondo, Jawa Timur, untuk membahas persoalan serius yang tengah dihadapi sejumlah desa terkait tunggakan iuran BPJS Ketenagakerjaan. Senin (22/09/2025).
Langkah itu dilakukan setelah terungkap bahwa sebanyak 40 desa di Situbondo menunggak iuran, dengan nominal yang bervariasi. Dari jumlah tersebut, 23 desa tercatat memiliki tunggakan di atas Rp 10 juta, dan satu desa bahkan menunggak hingga Rp 70 juta.
Pertemuan tersebut digelar di Kantor Kejaksaan Negeri Situbondo, dan dipimpin langsung oleh Kasi Perdata dan Tata Usaha Negara (Datun) Kejari Situbondo, Alfiah Yustiningrum, SH. Para camat hadir bersama pejabat pemerintahan kecamatan masing-masing, terutama dari bagian pemerintahan yang membidangi desa.
Dalam paparannya, Alfiah menegaskan bahwa banyak desa di Situbondo belum sepenuhnya memahami kewajiban mereka dalam menjalankan program jaminan sosial ketenagakerjaan, termasuk menganggarkan pembayaran iuran dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDes).
“Beberapa desa menganggap iuran BPJS Ketenagakerjaan itu bukan hal prioritas, padahal ini adalah kewajiban hukum. Sesuai Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang BPJS, setiap orang yang bekerja, termasuk warga negara asing yang telah bekerja paling singkat 6 bulan di Indonesia, wajib menjadi peserta program jaminan sosial,” ujar Alfiah.
Menurutnya, anggaran iuran BPJS Ketenagakerjaan seharusnya diambil dari alokasi PPKPB (Peningkatan Kapasitas Pemerintah dan Pembangunan Desa). Namun banyak desa tidak menganggarkannya karena menganggap hal tersebut bukan kebutuhan mendesak.
Beberapa desa bahkan tidak mencantumkan iuran tersebut dalam APBDes sama sekali. Di sisi lain, ada pula desa yang menyiasati pembayaran dengan menggunakan anggaran tahun berikutnya.
“Ada desa yang membayar iuran tahun 2023 menggunakan anggaran 2024, dan sudah merencanakan iuran 2024 akan dibayarkan dengan anggaran 2025. Ini tentu menimbulkan pertanyaan, ke mana dana iuran tahun 2023 itu dialokasikan? Bagaimana pertanggungjawaban SPJ-nya?” tegasnya.
Kejaksaan juga menemukan sejumlah dugaan ketidakwajaran dalam penyusunan dan penggunaan anggaran untuk BPJS Ketenagakerjaan di beberapa desa.
Contohnya, di Desa Kalianget, iuran yang seharusnya hanya sebesar Rp 21 juta justru membengkak menjadi Rp 44 juta. Ironisnya, perangkat desa yang tercantum dalam daftar kepesertaan tersebut tidak ada, sehingga diduga terjadi penggelembungan anggaran.
Kasus lain terjadi di Desa Bayeman yang tidak menganggarkan iuran sama sekali, serta di Desa Kalimas, yang tidak menganggarkan untuk tahun 2024, namun akan membayar di tahun 2025. Di Tlogosari, iuran yang seharusnya Rp 26 juta hanya dianggarkan Rp 21 juta.
Sedangkan di Desa Ketah dan Cemara, program yang diikuti bertambah tanpa penyesuaian anggaran. “Ada desa yang awalnya hanya mengikuti dua program, tapi tiba-tiba tercatat mengikuti empat program. Ini perlu ditelusuri lebih lanjut,” kata Alfiah.
Kepala BPJS Ketenagakerjaan Cabang Situbondo, Moh Muzibur Rokhman, membenarkan adanya tunggakan yang cukup besar dari sejumlah desa. Ia menjelaskan bahwa pihaknya telah melakukan sosialisasi, imbauan, hingga surat peringatan, namun belum semua desa memberikan respons yang baik.
“Kami sudah melakukan pendekatan secara administratif. Tapi jika tidak ada tindak lanjut, maka kami akan meneruskan ke tim pemeriksa di kantor BPJS Banyuwangi. Hasil pemeriksaan itu nantinya bisa menjadi dasar untuk melibatkan Aparat Penegak Hukum (APH) seperti kejaksaan atau pengawas ketenagakerjaan,” jelas Muzibur.
Muzibur baru menjabat sebagai Kepala Cabang BPJS Ketenagakerjaan Situbondo pada Maret 2025, setelah sebelumnya bertugas di Banyuwangi dan Surabaya. Menurutnya, permasalahan di Situbondo cukup kompleks, karena jumlah desa yang terlibat dan nilai tunggakan yang tergolong besar.
“Ada desa yang menunggak sampai Rp 70 juta karena sudah bertahun-tahun tidak membayar. Selain itu, banyak desa mengikuti lebih dari satu program, seperti JKK (Jaminan Kecelakaan Kerja), JKM (Jaminan Kematian), dan JHT (Jaminan Hari Tua), tanpa menyesuaikan kapasitas anggaran,” tambahnya.
Peran Camat Sebagai Pengawas
Dalam pertemuan tersebut, camat diminta lebih proaktif dalam mengawasi dan melakukan monitoring terhadap pengelolaan anggaran di desa-desa binaannya. Sesuai regulasi, camat memiliki peran strategis dalam proses verifikasi dan evaluasi APBDes sebelum ditetapkan.
“Kami minta camat untuk mengawal dan mengingatkan para kepala desa agar tidak mengabaikan kewajiban terhadap program jaminan sosial ini. Jangan sampai abai karena bisa berdampak pada perlindungan perangkat desa,” tegas Alfiah.
Kejaksaan juga mengingatkan bahwa iuran BPJS Ketenagakerjaan bukan hanya soal kepatuhan administrasi, tetapi menyangkut hak dasar perlindungan kerja bagi perangkat desa.
“Ketika ada perangkat desa mengalami kecelakaan atau meninggal dunia dalam tugas, lalu tidak terdaftar sebagai peserta aktif, siapa yang bertanggung jawab? Ini menyangkut nasib keluarga mereka,” tambahnya.
Kejaksaan menyatakan akan terus memantau progres penyelesaian tunggakan ini. Jika tidak ada perbaikan dari pihak desa, maka akan dipertimbangkan langkah hukum lanjutan sesuai ketentuan yang berlaku.
Sementara itu, BPJS Ketenagakerjaan Situbondo terus membuka ruang dialog dengan para kepala desa dan camat untuk mencari solusi bersama, agar semua desa bisa menjalankan kewajiban mereka tanpa mengganggu program pembangunan yang lain.
“Ini bukan hanya soal membayar iuran, tetapi juga membangun budaya tertib administrasi dan tanggung jawab sosial bagi perangkat desa,” pungkas Muzibur.