Kisah Pahit di Balik Lembaga Pendidikan, Dugaan Kekerasan dan Ujian Fiktif Menyeruak di Situbondo

BeritaNasional.id, SITUBONDO JATIM
Bu– Sebuah kabar yang mengejutkan kembali muncul dari Kabupaten Situbondo, di mana mantan wali santri asal Desa Bugeman, Kecamatan Kendit, Syaif, menyuarakan kekhawatirannya terhadap dugaan kekerasan dan praktik ujian fiktif di salah satu pondok pesantren asuhan ZAA yang terletak di Kecamatan Panji. Menurut Syaif, peristiwa ini telah menimpa anak perempuannya yang masih berusia 13 tahun, yang oleh keluarga sebagai korban kekerasan sistemik dan perlakuan yang tak manusiawi selama proses pendidikan.
Kejadian tragis ini bermula pada tahun 2024, ketika putri Syaif yang berinisial ZL masih duduk di bangku kelas VI SD. Syaif mengungkapkan bahwa anaknya mengalami kekerasan hampir setiap hari di lingkungan pesantren tersebut. “Anak saya kerap dipukul, ditempeleng, bahkan sampai dipukul kayu hingga meninggalkan bekas memar yang jelas terlihat,” ungkap Syaif kepada media. Perlakuan semacam ini, menurutnya, tidak hanya melukai fisik, tetapi juga meninggalkan trauma mendalam bagi sang anak, yang kini terhambat untuk melanjutkan pendidikan.
Selain masalah kekerasan, Syaif juga menuding adanya praktik ujian fiktif yang terjadi di bulan Juli 2024. Informasi tersebut didapat dari salah satu wali santri lain yang mengabarkan bahwa putrinya ZL, yang seharusnya mengikuti ujian sebagai bentuk evaluasi kemampuan, ternyata tidak diikutkan dalam ujian yang sesungguhnya. Ironisnya, yang mengikuti ujian tersebut adalah seorang santri lain, ZF, yang masih duduk satu bangku namun dari tingkat kelas yang lebih rendah.
“Saya mendengar bahwa ujian dilakukan tanpa sepengetahuan saya dan anak saya malah tidak mendapatkan kesempatan yang semestinya. Padahal, untuk melanjutkan ke jenjang pendidikan berikutnya, sertifikat ujian itu sangat penting,” tutur Syaif dengan nada kecewa.
Ia menambahkan bahwa ujian tersebut diduga dilakukan dengan memanfaatkan jasa ‘joki’ sehingga hasil yang keluar tidak mencerminkan kemampuan sebenarnya. Bahkan, sebuah surat dari salah satu tokoh atau kiai di Situbondo sudah pernah dikirimkan ke Kementerian Agama (Kemenag) sebagai bentuk keprihatinan atas praktik ini.
Duka dan keprihatinan mendalam tampak jelas dari ungkapan Syaif. Tak hanya mengeluhkan kekerasan fisik yang dialami anaknya, ia juga menyayangkan bahwa sampai saat ini belum ada tindak lanjut atau penyelesaian atas kasus tersebut dari pihak yang berwenang.
“Saya sudah melaporkan kejadian ini kepada Kemenag dan pihak terkait lainnya, namun sampai sekarang belum ada langkah konkret. Anak saya kini mengalami trauma berat secara psikologis dan tidak bisa melanjutkan sekolahnya seperti seharusnya,” jelasnya.
Dalam sebuah seruan yang menggugah, Syaif mengingatkan bahwa zaman telah berubah dan metode mendidik dengan kekerasan tidak lagi relevan. “Santri, siswa, dan anak-anak adalah regenerasi harapan bangsa yang harus dilindungi. Jangan bilang mau mendidik, tapi mendidik dengan cara kekerasan. Sudah saatnya ada tindakan tegas dari Kemenag dan pihak-pihak terkait terhadap lembaga yang jelas-jelas melakukan pelanggaran seperti ini,” tegasnya.
Hingga saat ini, pihak Kemenag Situbondo dan pengelola pondok pesantren asuhan ZAA belum memberikan keterangan resmi terkait tuduhan kekerasan dan praktik ujian fiktif yang diungkapkan oleh Syaif. Ketidakpastian ini menambah kepedihan dan kekhawatiran, terutama bagi orang tua dan wali santri yang kini merasa kepercayaan mereka terhadap lembaga pendidikan tersebut semakin goyah.
Para pengamat pendidikan dan perlindungan anak mendesak agar kasus ini segera ditindaklanjuti. Menurut mereka, tindakan kekerasan terhadap anak di lingkungan pesantren tidak hanya melanggar norma pendidikan, tetapi juga melanggar hak anak yang telah diatur dalam undang-undang perlindungan anak.
“Kita harus memastikan bahwa setiap anak mendapatkan lingkungan belajar yang aman dan mendidik, bukan sebaliknya,” ujar salah satu pakar pendidikan setempat. Selasa (18/03).
Kasus ini, jika terbukti kebenarannya, memiliki implikasi hukum yang serius. Pelanggaran terhadap hak anak dan penggunaan kekerasan dalam proses pendidikan dapat membuka peluang untuk penindakan hukum, baik dari sisi perlindungan anak maupun penyalahgunaan wewenang dalam institusi pendidikan. Keluarga korban berhak mendapatkan keadilan, dan hal ini menjadi sorotan publik agar tidak terjadi lagi kasus serupa di masa mendatang.
Selain itu, praktik ujian fiktif yang melibatkan penggunaan jasa joki menimbulkan pertanyaan tentang integritas sistem pendidikan di pesantren. Kebijakan pendidikan seharusnya menekankan pada kejujuran, keadilan, dan keaslian proses belajar mengajar, sehingga anak-anak tidak dirugikan dan peluang mereka untuk berkembang secara optimal tidak dibatasi oleh kecurangan administratif.
Syaif berharap agar kasus yang menimpa anaknya dapat menjadi titik balik bagi perbaikan sistem pendidikan di lingkungan pesantren. “Semoga dengan adanya kasus ini, pihak-pihak terkait bisa segera mengambil langkah tegas agar tidak ada lagi anak yang mengalami trauma seperti yang dialami anak saya. Pendidikan adalah hak setiap anak, dan kita harus bersama-sama menciptakan lingkungan yang kondusif bagi mereka untuk belajar dan berkembang,” pungkasnya.
Para pengamat menekankan pentingnya transparansi dan akuntabilitas dari setiap lembaga pendidikan, terutama yang berada di bawah naungan pesantren. Masyarakat dan pemerintah harus bersama-sama memantau agar setiap praktik pendidikan berjalan sesuai dengan prinsip keadilan dan tidak menyimpang dari tujuan mulia mendidik generasi penerus bangsa.
Kasus ini mengingatkan kita bahwa pendidikan bukan hanya soal transfer ilmu, melainkan juga pembentukan karakter dan perlindungan hak anak. Tindakan kekerasan dan kecurangan administratif di lingkungan pendidikan harus segera diberantas demi masa depan bangsa yang lebih cerah dan berintegritas. Sampai ada kejelasan dan tindakan nyata dari pihak berwenang, kepercayaan masyarakat terhadap lembaga pendidikan, khususnya pesantren, akan terus diuji.