Kontroversi Wacana Pilkades Melalui Partai Politik, Nasim Khan : Kades Milik Masyarakat Bukan Kepentingan Partai
JAKARTA, BeritaNasional.id – Sebuah usulan kontroversial dari Badan Legislasi (Baleg) DPR RI mencuat: pencalonan dalam Pemilihan Kepala Desa (Pilkades) ke depannya diusulkan melalui mekanisme partai politik. Usulan ini, terutama diinisiasi oleh Partai Golkar, segera memicu perdebatan luas di masyarakat. Sebab, konsep ini bertabrakan dengan prinsip netralitas dalam Undang-Undang Desa yang berlaku saat ini.
Nasim Khan, anggota DPR RI dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (FPKB) yang mewakili Daerah Pemilihan III Jawa Timur (Bondowoso, Situbondo, Banyuwangi), secara tegas menyuarakan ketidaksetujuannya terhadap usulan tersebut. Bagi Nasim, pemilihan kepala desa bukan sekadar soal siapa yang menang, tetapi soal mewakili seluruh elemen masyarakat desa, bukan hanya kepentingan satu partai tertentu.
“Kepala desa itu pemimpin publik yang semestinya menjadi milik semua warga, bukan sekadar milik atau alat politik suatu partai. Seharusnya ia mampu memimpin secara menyeluruh, bukan hanya secara politis,” tegas Nasim dalam pernyataan yang disampaikan pada Minggu (3/11/2024).
Wacana ini juga berpotensi melanggar Undang-Undang Desa, meskipun undang-undang dapat diubah kapan saja melalui proses legislasi. Namun, bagi Nasim, hal ini lebih dari sekadar soal hukum, tetapi tentang masa depan desa dan kepemimpinan yang inklusif. Kepala desa, menurutnya, harus tetap menjadi sosok yang dekat dan dipercaya oleh masyarakatnya, bukan menjadi wakil kepentingan politik yang bisa memecah belah desa.
“Pemimpin desa bukan hanya simbol administratif, ia merupakan ujung tombak yang menjaga kepentingan warga desa di segala aspek kehidupan. Jika kita sampai mengaitkan posisi ini dengan politik partai, apakah masyarakat desa akan merasa terwakili secara menyeluruh,” tegas Nasim Khan.
Nasim Khan juga menyadari bahwa semua warga negara memiliki hak berpolitik. Namun, politik di tingkat desa memiliki warna yang berbeda. Desa selama ini menjadi pusat informasi dan data bagi pembangunan bangsa, namun masih banyak data statistik yang kurang diperbarui dengan baik. Hal ini menyulitkan pemerintah dalam merancang program yang tepat sasaran.
“Desa itu jantung dari semua pembangunan nasional kita. Sayangnya, data dari desa seringkali ketinggalan, yang berdampak pada kualitas perencanaan kebijakan yang berhubungan langsung dengan masyarakat desa. Jika pemilihan kades juga dibawa ke ranah politik partai, kita perlu menimbang lebih jauh apakah perubahan ini benar-benar bermanfaat,” lanjutnya.
Nasim juga menyinggung pola pemilu yang bisa lebih disederhanakan. Dalam pandangannya, seharusnya pemilihan di Indonesia dimulai dengan pemilihan Legislatif, kemudian Pilpres, Pilkada, dan akhirnya Pilkades, sehingga masyarakat lebih mudah memahami mekanisme pemilihan dan mengurangi kebingungan dari efek politis yang berlebihan.
“Mungkin ada baiknya kita evaluasi kembali mekanisme pemilu secara keseluruhan, agar tidak membebani masyarakat dengan terlalu banyak tahapan yang memusingkan. Tapi soal pilkades ini, saya rasa perlu pendalaman lagi, apakah benar pilihan partai politik cocok untuk pemimpin di level desa,” himbaunya.
Meski begitu, Nasim juga mengakui bahwa ide ini tetap perlu dikaji lebih dalam, termasuk melihat apakah masyarakat desa menerima konsep pemilihan melalui partai politik ini. Ia menekankan pentingnya memastikan agar perubahan apapun yang diusulkan tidak mengorbankan kebutuhan dan kepentingan masyarakat desa.
“Saya akan mempelajari ini lebih lanjut. Namun, pada dasarnya saya merasa bahwa kepala desa sebaiknya tetap merupakan representasi langsung dari masyarakat, bukan dari partai politik,” tutup Nasim.