NasionalTNI Dan Polri

Korupsi Dibawah Rp 50 Juta Tak Perlu Proses Hukum, Ini Klarifikasi Kejagung

BeritaNasional.ID, JAKARTA – Sempat ramai disejumlah pemberitaan maupun yang berkembang dimedia sosial tentang “Jaksa Agung Sebut Korupsi di Bawah Rp 50 Juta Cukup Kembalikan Kerugian Negara” langsung di klafirikasi oleh Kejaksaan Agung

Kapuspenkum Kejaksaan Agung (Kejagung), Leonard Eben Ezer Simanjuntak mengatakan, Informasi tersebut muncul saat Rapat Kerja (Raker) dengan Komisi III DPR RI pada Senin 17 Januari 2022 lalu. Saat beberapa anggota komisi III DPR RI memberikan pertanyaan kepada Jaksa Agung RI, ST Burhanuddin.. 

“Saat itu Bapak Benny K.Harman Anggota Komisi III DPR RI menyampaikan kepada Bapak Jaksa Agung RI “Kasus korupsi di bawah Rp 1 juta janganlah diproses,” ungkap Leonard Eben Ezer Simanjuntak, dalam keterangan persnya Sabtu 29/01/2021.

Saat itu Benny K Harman mengatakan bahwa sampai saat ini, dirinya mendapatkan data banyak kasus korupsi di bawah Rp1 juta masih diproses. Menurut Benny, hal tersebut yang kemudian dibilang hukum tumpul ke atas tajam ke bawah. 

“Alangkah baiknya kalau Jaksa Agung membuat kebijakan supaya kasus korupsi 1 juta ke bawah tidak diproses. Lebih baik proses kasus besar daripada kasus kecil, ” ucap Benny K. Harman saat itu.

Supriansa, Anggota Komisi III DPR RI lainnya, kepada Jaksa Agung Burhanuddin juga menyampaikan bahwa, tidak sedikit kasus dana desa dengan nilai rendah hanya beda Rp 7 juta, beda Rp 5 juta tapi karena masuk di pengadilan mesti ada tuntutan dan akhirnya diputus sekian tahun. 

“Kalau dipikir-pikir, kalau nilainya kecil seperti itu, saya mengharapkan Jampidsus ada terobosan pengembalian uang daripada di penjara orang ini. Lebih banyak biaya makan dia didalam ketimbang dengan apa yang kita kejar,” ujar Supriansa saat itu.

Selain itu Supriatna juga menyinggung ketersediaan lapas di Indonesia yang sudah over kapasitas,”Toh juga bangsa ini memiliki keterbatasan soal ketersediaan Lapas yang sudah over capacity. Luar biasa kalau kita paksa masuk tapi nilainya rendah. Apa ada solusi atau memang kita harus lurus tegak memenjarakan orang meskipun nilainya cukup kecil,” tutur Supriansa.

Atas kedua pertanyaan tersebut, menurut Leonard, maka saat Raker yang berlangsung pada hari Kamis 27 Januari 2022, Jaksa Agung memberikan penjelasan bahwa terhadap perkara-perkara Dana Desa yang kerugiannya tidak terlalu besar dan perbuatan tersebut tidak dilakukan secara terus menerus (keep going) maka dihimbau untuk diselesaikan secara administratif.

Cara administratif itu dengan cara mengembalikan kerugian tersebut dan terhadap pelaku dilakukan pembinaan melalui Inspektorat untuk tidak mengulangi perbuatannya.

Selanjutnya, menurut Leonard, Jaksa Agung menjelaskan, terkait perkara korupsi dengan nilai kerugian keuangan negara Rp1 Juta sesuai data yang pihaknya terima, terdapat satu penyidikan yang dilakukan oleh Polresta Pontianak dalam perkara Pungutan Liar (Pungli) yang melibatkan seorang wasit dengan nilai Rp2.200.000,- dan saat ini perkara tersebut masih dalam tahap Pra-Penuntutan di Kejaksaan Negeri Pontianak. 

“Perkara tersebut tidaklah berkaitan dengan kerugian keuangan negara, namun terkait dengan upaya pemberantasan pungutan liar (saber pungli). Oleh Karenanya penanganannya diharapkan dilakukan secara profesional dengan memperhatikan hati nurani dan/atau menggunakan instrumen lain selain Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi,” ujar Leonard.

Sedangkan untuk perkara Tipikor yang berkaitan dengan kerugian keuangan negara, Kejaksaan Agung telah memberikan himbauan kepada jajarannya untuk tindak pidana korupsi yang kerugian keuangan negaranya di bawah Rp50 Juta untuk diselesaikan dengan cara pengembalian kerugian keuangan negara sebagai upaya pelaksanaan proses hukum secara cepat, sederhana dan biaya ringan.

Penjelasan tersebut menurut Leonard merupakan respon Jaksa Agung Burhanuddin dan imbauan yang sifatnya umum untuk menjadi pemikiran bersama dan diperoleh solusi yang tepat dalam penindakan tindak pidana korupsi yang menyentuh baik pelaku dan masyarakat di level akar rumput, yang secara umum dilakukan karena ketidaktahuan atau tidak ada kesengajaan untuk menggarong uang negara, dan nilai kerugian keuangan negaranya pun relatif kecil.

“Seperti misalnya, seorang Kepala Desa tanpa pelatihan tentang bagaimana cara pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan negara, ia harus mengelola dana desa senilai Rp1 Miliar untuk pembangunan desanya. Hal ini tentunya akan melukai keadilan masyarakat, apabila dilakukan penindakan tindak pidana korupsi padahal hanya sifatnya kesalahan administrasi (misalnya kelebihan membayar kepada para tukang atau pembantu tukang dalam pelaksanaan pembangunan di desanya dan nilainya relatif kecil serta Kepala Desa tersebut sama sekali tidak menikmati uang-uang tersebut),” ujarnya.

Contoh lainnya menurut Leonard adalah ketika seorang bendahara gaji membuat nilai gaji yang lebih besar dari yang seharusnya diterima oleh beberapa pegawai di suatu instansi pemerintah. Ini pun suatu maladministrasi, yang akan melukai keadilan masyarakat, jika kasus-kasus tersebut ditangani dengan menggunakan instrumen Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi.

Oleh karena itu, Jaksa Agung menurut Leonard mengimbau untuk dijadikan renungan bersama bahwa penegakan hukum tindak pidana korupsi pun harus mengutamakan nilai keadilan yang substantif selain kemanfaatan hukum dan kepastian hukum. 

Upaya preventif pendampingan dan pembinaan” terhadap Kepala Desa oleh jajaran Kejaksaan atau inspektorat kabupaten/kota, menjadi hal yang sangat penting dan prioritas. Selain itu, upaya penyadaran kepada pelaku untuk secara sukarela mengembalikan kerugian keuangan negara yang timbul akibat perbuatannya merupakan hal-hal yang meringankan apabila pengembalian kerugian keuangan negara dilakukan pada tahap penyidikan, penuntutan atau pemeriksaan di persidangan,” ujar Leonard.

Pihak Kejaksaan sendiri menurut Leonard mengapresiasi, jika terduga pelaku telah mengembalikan secara sukarela, ketika tim inspektorat telah turun dan menemukan kerugian keuangan negara sebelum tindakan penyidikan dilakukan oleh aparat penegak hukum, dan perkara itu sifatnya kesalahan administratif serta kerugian keuangan negara yang timbul juga relatif kecil. 

“Untuk perkara yang model inilah Bapak Jaksa Agung RI wacanakan dalam bentuk himbauan untuk ditangani dengan menggunakan instrumen lain selain instrumen undang-undang tindak pidana korupsi,” ujarnya.

Menurut Leonard, imbauan Jaksa Agung bukanlah untuk impunitas pelaku tindak pidana korupsi dengan kerugian keuangan negara yang relatif kecil, tetapi wacana itu dibuka untuk dibahas ke publik agar penindakan tindak pidana korupsi pun berdasarkan pemikiran yang jernih atas hakikat penegakan hukum itu sendiri, yaitu pemulihan pada keadaan semula.

Selanjutnya terkait perkara korupsi dengan nilai kerugian keuangan negara di bawah Rp 1 Juta, perkara tersebut tidaklah berkaitan dengan kerugian keuangan negara, namun terkait dengan upaya pemberantasan pungutan liar (saber pungli). 

Oleh karenanya, Jaksa Agung menyampaikan pada saat di DPR RI agar penanganannya diharapkan dilakukan secara profesional dengan memperhatikan hati nurani dan/atau menggunakan instrumen lain selain Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi. 

“Selanjutnya, Bapak Jaksa Agung juga menyampaikan untuk perkara tindak pidana korupsi yang berkaitan dengan kerugian keuangan negara, Kejaksaan Agung telah memberikan himbauan kepada jajarannya untuk tindak pidana korupsi yang kerugian keuangan negaranya di bawah Rp 50 Juta agar diselesaikan dengan cara pengembalian kerugian keuangan negara sebagai upaya pelaksanaan proses hukum secara cepat, sederhana dan biaya ringan,” ujarnya.

Sedangkan pandangan terkait analisis nilai ekonomi dalam tindak pidana korupsi, menurut Leonard juga perlu menjadi perhatian aparat penegak hukum dimana dapat dibayangkan korupsi Rp 50 Juta harus ditangani oleh aparat penegak hukum (dari penyidikan sampai dengan eksekusi) dengan biaya operasional penanganan perkara yang dikeluarkan oleh Negara bisa melebihi dari Rp50 juta dari kerugian Negara yang ditimbulkan tersebut.

“Hal ini akan menjadi beban pemerintah seperti biaya makan, minum dan sarana lainnya kepada Terdakwa apabila Terdakwa tersebut diproses sampai dengan eksekusi (di Lembaga Pemasyarakatan). Artinya, analisis cost and benefit penanganan perkara tindak pidana korupsi juga penting menjadi pertimbangan dalam rangka mencapai nilai keadilan masyarakat dan nilai kemanfaatan hukum,” kata Leonard Eben Ezer Simanjuntak.

“Bapak Jaksa Agung mengharapkan penjelasan ini tidak menjadi pemberitaan negatif di masyarakat,” ujarnya menambahkan.

Lihat Selengkapnya

Related Articles

Back to top button