BanyuwangiDaerah

Madrasah, Antara Tradisinalitas dan Modernitas

Oleh : Mohammad Hasyim

Ketika  istilah madrasah disebutkan, maka kesan kemudian yang muncul adalah lemabaga pendidikan non-formal yang tidak diatur oleh sejumlah peraturan  resmi, mengajarkan  ilmu-ilmu  agama Islam dan bahasa Arab sebagai sarana  mendalami ajaran Islam. Dalam prakteknya, pendidikan tradisional katagori ini banyak ditemukan dan/atau dimiliki oleh pondok-pondok pesantren, menyebar di hampir seluruh pelosok tanah air khususnya Jawa dan Madura. Beberapa tahun terakhir madrasah-madrasah ini tidak lagi hanya mengajarkan ilmu-ilmu agama dan ritual-ritual keagamaan (islam), akan tetapi telah juga mengajarkan ilmu-ilmu umum, ilmu-ilmu terapan serta tehnologi tepat guna, seperti pertanian, peternakan, kerajinan, perbengkelan, pertukangan serta industri-industri kerumahtanggaan lainya.

Sejalan dengan tuntutan modernitas, madrasah-madrasah tradisional ini telah pula mengubah kelembagaan dan melaksanakan proses pembelajaranya selayaknya sekolah-sekolah modern. Dengan memadukan kurikulum sekolah agama dan kurikulum sekolah umum, lembaga pendidikan tradisional tertua ini secara bertahap terus berupaya untuk bisa mensejajarkan dirinya dengan sekolah-sekolah umum lainya. Hasilnya, sudah kelihatan. Banyak kemajuan telah dicapai meski belum maksimal, sebab dibalik geliat kesadaran akan modernitas, madrasah-madrasah klasikal ini masih banyak meyimpan  kekurangan dan keterbatasan.

Pada masa kolonial sesuai dengan missi kolonialisme, pendidikan Islam (madrasah) dianak tirikan. Pendidikan ini dikatagorikan sebagai pendidikan “liar”. Tidak itu saja, berbagai peraturan juga disusun  yang isinya membatasi bahkan cenderung mematikan sekolah keagamaan (madrasah). Akibat perlakukan diskriminatif tersebut, pendidikan keagamaan (madrasah), menghadapi berbagai kesulitan dan terasing dari arus utama pendidikan dan modernitas, dengan akibat-akibat yang tidak menguntungkan. Misalny kelemahan pada aspek manajemen, sikap tertutup, terbelakang dan kurangnya perhatian terhadap kemajuan IPTEK (Tilaar, 2000).

Ketika Indonesia merdeka dan melaksanakan  program  pembangunannya tidak serta merta perhatian pemerintah ditujukan kepada pesantren/madrasah. Dalam rentang waktu yang cukup panjang madrasah tidak juga dimasukkan kedalam sistem pendidikan nasional. Lembaga-lembaga pendidikan keagamaan memang tetap hidup, tetapi kondisinya memprihatinkan. Mereka hidup dengan keadaannya yang apa adanya dengan tanpa perhatian yang cukup dari pemerintah. Perhatian pemerintah terhadap madrasah baru mengalami perubahan dengan terbitnya Surat Keputusan Tiga Menteri (SKB tiga mentri) tahun 1975 antara Menteri Agama, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan serta Menteri Dalam Negeri, menyusul beberapa peraturan yang mengatur pendidikan madrasah yang terbit sebelumnya (Subahar :  2013).

Perhatian pemerintah  semakin lengkap dengan diterbitkannya UU No 2 tahun 1989, tentang sistem pendidikan nasional, disusul kemudian oleh undang-undang yang sama nomor 20 tahun 2003 yang memantapkan posisi pendidikan madarasah dalam sisitem pendidikan nasional (Subahar : 2013).  Dengan terbitnya undang-undang ini, perdebatan tentang status madrasah harusnya sudah berakhir. Karena semua penyelenggaraan  pendidikan nasional diacukan kepada undang-undang tersebut, pun  juga penyelenggaraan pendidikan di madrasah. Didalam undang-undang tersebut, madarasah diakui sebagai sub sistem pendidikan nasional.

Tilaar (2000) menyebut bahwa dengan masuknya madrasah sebagai sub sistem pendidikan nasional membawa beberapa konsekwensi diantaranya :

Pertama, pola pembinaan madrasah haruslah mengikuti pola pembinaan satu ukuran yang mengacu kepada sekolah sekolah umum (pemerintah), taat kepada kurikulum nasional.

Kedua, efek social atau citra diri madrasah menjadi semakin terangkat. Dengan terbukanya secara luas kesempatan bagi tamatan pendidikan madrasah untuk menentukan studi lanjut mereka ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi dan memasuki dunia kerja dengan latar belakang ilmu dan ketrampilan yang berbeda-beda.

Ketiga, dualisme pengelolaan pendidikan madarasah membawa madrasah pada situasi yang tidak menguntungkan. Dualisme managemen pendidikan bisa mendorong sekolah-sekolah/madrasah yang boros dan semrawut. Juga orientasi yang terlalu kuat ke salah satu institusi pemerintah (Kemenag-Kemedikbud) mendorong madrasah hidup dalam suasana yang sulit, antara kekhawatiran kehilangan jati diri (sebagai pendidikan khas Islam) dan keadaan “kurang diopeni” oleh salah satu kementriannya.

Terlepas dari sejarah kelam masa lalu madrasah dan sejumlah peluang positif yang bisa diakses oleh madrasah akhir-akhir ini, maka peluang tersebut tentunya tidak datang dengan sendirinya. Persoalannya sekarang adalah, bagaimana menangkap peluang itu dan memanfaatkannya dengan sebaik-baiknya, sehingga kedepan madrasah-madrasah kita ini bisa tampil menjadi sekolah-sekolah modern, “excellence”, sekolah-sekolah alternative, karena memiliki keunggulan kompetitif yang tidak kalah dengan sekolah-sekolah umum  lainnya dan tanpa kehilangan jati diri sebagai madrasah yang karakter ke madrasahan nya mewujud dalam kesehariannya.

Untuk itu ada beberapa saran alternative kiranya bisa direnungkan dan ditindaklanjuti oleh para pengelola madrasah (Tilaar: 2000). Pertama, dengan kemandiriannya selama ini madrasah harus mampu mengatasi kelemahan-kelemahan dirinya sendiri (kurikulumnya, guru-guru, dan sarananya). Kedua, orientasi managemen dari tradisional (lillahi taala) ke professional. Ketiga, prinsip Total Quality Managament (TQM) harus secepatnya dilaksanakan di madrasah, tidak saja aspek-aspek kelembagaan, penataan personal, dan sebagainya, akan tetapi juga pada aspek-aspek ketegasan identitas madrasah sendiri. Bahwa ciri khas keagamaan bagi madrasah tidaklah cukup dinyatakan secara lesan dan simbul-simbul artificial lainnya, seperti jilbab atau kopiah bagi siswa madrasah. Akan tetapi ciri khas agama Islam  tersebut hendaknya mampu dijadikan arah yang menjiwai keseluruhan proses penyelenggaraan pendidikan di madrasah.  Nah, jikalau sudah begini maka prospek madrasah diyakini akan cerah. Dan hasrat untuk “meng-SMU-kan” Madrasah Aliyah atau “meng-SMP-kan” Madrasah Tsanawiyah   sebetulnya sebuah keinginan tidak lagi perlu dilakukan.

___________________

       Mohammad Hasyim, pengawas pendidikan (purna tugas), Pengurus Dewan Pendidikan Kab. Banyuwangi, mengajar di IAI Ibrahimy Genteng Banyuwangi

 

Lihat Selengkapnya

Related Articles

Back to top button