Nusa Tenggara Timur

Mahasiswa Sejarah Undana Pelajari Warisan Budaya di Istana Amarasi

BeritaNasional.ID, OELAMASI – Suasana penuh semangat dan rasa ingin tahu terpancar dari ratusan mahasiswa Program Studi Pendidikan Sejarah, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP), Universitas Nusa Cendana (Undana), saat mereka menapakkan kaki di halaman Istana Raja Amarasi, Kamis (23/10/2025).

Kegiatan kuliah lapangan yang berlangsung hingga 25 Oktober ini menjadi momen penting bagi mahasiswa untuk belajar langsung dari sumber sejarah yang hidup — warisan kerajaan besar yang pernah berjaya di tanah Amarasi, Kabupaten Kupang.

Dalam kegiatan tersebut, mahasiswa didampingi langsung oleh Koordinator Program Studi Pendidikan Sejarah, Djakariah, bersama sejumlah dosen pendamping.

Mereka diterima hangat oleh Yesaya Roberth Maurits Koroh, ahli waris sekaligus anak tertua dari Raja V.H.R. Koroh, raja terakhir Amarasi yang wafat pada tahun 1989.

Kini, Roby Koroh sapaan akrab Raja Amarasi menetap di istana peninggalan sang ayah yang telah resmi ditetapkan sebagai Cagar Budaya Nasional sejak tahun 2004.

“Kami ingin mahasiswa memahami sejarah bukan hanya dari buku, tetapi juga melalui pengalaman langsung di lapangan. Istana Amarasi ini adalah saksi nyata perjalanan panjang sebuah kerajaan lokal yang memiliki kontribusi besar dalam sejarah Nusa Tenggara Timur,” ungkap Djakariah.

Ia menyebut kegiatan ini sebagai bentuk implementasi pembelajaran berbasis lapangan yang menekankan pentingnya pelestarian sejarah lokal.

“Mahasiswa perlu melihat, mendengar, dan berinteraksi langsung dengan pelaku sejarah atau pewarisnya. Dari sinilah lahir kesadaran untuk mencintai dan menjaga warisan budaya daerah,” ujarnya.

Kerajaan Amarasi memiliki jejak sejarah panjang yang dimulai sejak masa kolonial Belanda, berlanjut hingga masa perang kemerdekaan, dan terus berpengaruh dalam dinamika sosial budaya masyarakat Amarasi hingga kini.

Istana Raja Amarasi menjadi saksi bisu kejayaan masa lampau — simbol kepemimpinan bijaksana dan pengaruh besar para raja di kawasan Sunda Kecil.

Terletak di Kelurahan Teunbaun, Kecamatan Amarasi Barat, sekitar 25 kilometer dari Kota Kupang, istana ini kini menjadi kebanggaan masyarakat Amarasi sekaligus destinasi edukatif dan wisata sejarah.

Pemerintah melalui Kementerian Kebudayaan bahkan memasang plakat resmi di halaman depan sebagai tanda penetapan istana tersebut sebagai situs cagar budaya.

Memasuki area istana, para mahasiswa disuguhi suasana asri dengan pepohonan rindang dan taman yang tertata rapi. Nuansa klasik masa lalu terasa kental — struktur bangunan masih asli, dengan desain arsitektur tradisional yang dipadukan dengan sentuhan kolonial. Seolah waktu berhenti sejak sang raja terakhir wafat pada 1989.

Pemugaran dan Pelestarian Nilai Sejarah
Meskipun telah berusia puluhan tahun, istana tetap terawat dengan baik berkat perhatian keluarga besar Koroh.

Pada tahun 2020, istana ini sempat dipugar sebagian, terutama pada bagian plafon, genteng, dan pengecatan tembok.

Warna kuning gading dipilih sebagai dominan, berpadu dengan warna hijau pada kusen, pintu, dan jendela, memperkuat kesan anggun dan klasik bangunan bersejarah tersebut.

Di bagian dalam istana, ruang tamu luas dengan kursi, meja, dan ornamen kayu masih asli seperti saat Raja Veki Koroh memerintah.

Semua benda peninggalan dijaga utuh oleh keluarga sebagai bentuk penghormatan terhadap leluhur dan sejarah Amarasi.

Dalam wawancara bersama Bernas, Roby Koroh mengisahkan sejarah panjang berdirinya Kerajaan Amarasi.

Ia menjelaskan bahwa pada awalnya kerajaan ini tumbuh dari perjuangan memperluas wilayah melalui peperangan dan sistem pemerintahan yang terorganisir.

“Awal berdirinya Kerajaan Amarasi itu dari masa perang untuk memperluas wilayah. Kemudian ada pemisahan wilayah pertanian dan peternakan sehingga masyarakat menjadi lebih tertata dan terpandang,” jelas Raja Roby.

Raja Roby menambahkan bahwa kerajaan Amarasi memiliki batas-batas wilayah yang kuat dan berpengaruh pada masa kejayaannya.

“Sebelah timur berbatasan dengan Kerajaan Amanuban, bagian selatan dengan Laut Timor, sementara utara dan barat dengan Kerajaan Sonbai Ana. Dulu wilayah itu dikenal dengan nama Amabi sebelum Belanda menghapus Amabi dan mengangkat Sonbai menjadi raja,” ungkapnya.

Perubahan politik tersebut, kata Raja Roby, sempat menimbulkan konflik antara kerajaan-kerajaan di Pulau Timor.

Namun, hubungan antarwilayah kembali membaik setelah dilakukan perundingan dan penandatanganan kesepakatan antara para raja dan masyarakat Helong dari daratan Timor hingga Pulau Semau.

“Istri dari Raja Sonbai Ana saat itu juga berasal dari keluarga Koroh. Jadi hubungan itu tetap terjaga. Walaupun ada dilema waktu, akhirnya mereka menerima Nisnoni menjadi raja Sonbai Ana,” kisahnya.

Raja Roby juga menuturkan bahwa peninggalan sejarah Kerajaan Amarasi masih terawat hingga kini. Salah satu buktinya adalah dua sonaf (istana) yang masih berdiri megah di wilayah Amarasi.

“Di Kabupaten Kupang, hanya Amarasi yang masih memiliki istana. Ada dua sonaf besar: Sonaf Atas (Sonaf Fafan) yang dibangun pada tahun 1914, dan Sonaf Besar (Sonaf Kouk) yang berdiri pada tahun 1938,” ungkapnya.

Selain dua istana utama itu, terdapat pula delapan sonaf lainnya di wilayah Amarasi yang masing-masing dipimpin oleh kepala adat di bawah struktur kepemimpinan raja.

Untuk pertahanan, kerajaan ini memiliki enam benteng atau Tamuku, yang berfungsi sebagai tempat singgah tamu dari luar sebelum memasuki wilayah istana.

“Tamuku ini penting, karena setiap tamu yang datang harus beristirahat dulu di sana sebelum diterima raja,” jelasnya.

Mengenai benda pusaka, Raja Roby Koroh menuturkan bahwa masyarakat Amarasi memiliki cara unik dalam menjaga warisan leluhur.

“Setiap daerah punya cara masing-masing. Kalau di Amarasi, segala pusaka yang berkaitan dengan leluhur biasanya dikubur, agar tidak menimbulkan konflik antarkeluarga,” katanya.

Raja Roby Koroh juga mengungkapkan bahwa kuliah lapangan serupa pernah dilakukan oleh Universitas Gadjah Mada (UGM).

Namun, ia menilai kegiatan yang dilakukan oleh mahasiswa sejarah Undana kali ini tergolong besar dan antusias.

“Dulu UGM pernah ke sini juga, tapi kali ini dari Undana cukup besar jumlahnya. Saya sangat senang, karena anak-anak muda datang langsung meneliti sejarah dan budaya Amarasi,” ujarnya.

Bagi Raja Koroh, kegiatan ini tidak sekadar belajar sejarah, melainkan bentuk penghargaan terhadap identitas budaya NTT.

“Identitas kita orang NTT adalah budaya. Kalau bukan mahasiswa, siapa lagi yang menjaga dan melestarikan? Kalian harus memahami dan menyelidiki sejarah di istana Amarasi dan seluruh NTT, karena banyak suku dan budaya yang patut dibanggakan,” pesan Raja Koroh.

Kegiatan kuliah lapangan ini menjadi momentum penting bagi mahasiswa Undana untuk menelusuri langsung jejak sejarah lokal yang selama ini hanya mereka pelajari di ruang kelas.

Melalui kunjungan ke Istana Amarasi, mereka tidak hanya memperoleh pengetahuan faktual tentang kerajaan-kerajaan di Timor, tetapi juga merasakan langsung nilai-nilai kearifan lokal yang diwariskan turun-temurun.

Sebelumnya, Rektor Undana, Prof. Maxs U. E. Sanam, menegaskan pentingnya mahasiswa untuk belajar tidak hanya di dalam ruang kuliah, tetapi juga di tengah masyarakat.

“Pada prinsipnya, mahasiswa itu tidak hanya belajar di dalam kampus. Mereka harus memverifikasi dan memvalidasi dengan kondisi riil di lapangan,” ujarnya.

Menurut Rektor, kuliah lapangan memiliki nilai strategis dalam membentuk karakter, kepekaan, dan pemahaman mahasiswa terhadap sejarah yang sesungguhnya.

Prof. Maxs menilai, pembelajaran langsung di lapangan memberikan kesempatan bagi mahasiswa untuk mengaitkan teori dengan realitas serta merasakan secara emosional nilai-nilai yang terkandung di dalam kisah sejarah.

“Mahasiswa Prodi Sejarah tidak hanya larut dalam pengetahuan teoritis, tetapi mereka juga dibentuk secara emosional. Mereka bisa merasakan cerita sejarah, memahami semangat orang-orang masa lalu dalam merawat warisan itu hingga saat ini, dan melihat langsung aktivitas yang masih berlangsung di Istana Amarasi,” jelas Rektor.

Lebih lanjut, Prof. Maxs menjelaskan bahwa mempelajari sejarah bukan sekadar menghafal peristiwa, melainkan menumbuhkan rasa ingin tahu dan kebanggaan terhadap nilai-nilai praktis dan moral masa lalu yang bisa menjadi pedoman bagi generasi muda.

“Kita bicara sejarah, berarti kita bicara keingintahuan terhadap hal-hal yang dilakukan di masa lalu — sesuatu yang bisa membawa kebanggaan bagi kita dan menjadi pengalaman berharga untuk bergerak di masa kini dan masa yang akan datang,” urainya.

Rektor juga menilai kegiatan kuliah lapangan sebagai proses validasi ilmiah terhadap teori dan data yang diperoleh di kelas.

Dengan turun langsung ke situs sejarah, mahasiswa dapat membandingkan apa yang mereka baca dengan kenyataan di lapangan serta melakukan wawancara langsung dengan narasumber atau penjaga tradisi setempat.

“Kita berupaya untuk larut secara emosional, menanyakan hal langsung kepada testimoni dan narasumber yang relevan, sehingga mahasiswa benar-benar memahami konteks sejarah yang sedang mereka pelajari,” kata Prof. Maxs.

Kuliah lapangan di Istana Amarasi, sambung Rektor, bukan hanya memperkaya pengetahuan sejarah mahasiswa, tetapi juga menumbuhkan kesadaran akan pentingnya pelestarian warisan budaya lokal sebagai bagian dari identitas dan kebanggaan masyarakat NTT.***

 

Alberto

Lihat Selengkapnya

Related Articles

Back to top button