Menjelang Pemilihan Rektor 2025–2029, Kita Dituntut Menggunakan Nurani Akademik, Bukan Kepentingan Kelompok

Beritanasional.id — “Saya telah melihat Undana tumbuh, tersandung, bangkit, dan berjuang selama puluhan tahun. Kini, di usia kampus yang semakin matang, saya hanya menginginkan satu hal: seorang pemimpin yang benar-benar mencintai Undana, bukan yang sekadar ingin memimpinnya.”
Proses Pemilihan Rektor Bukan Sekadar Ritual Empat Tahunan
Sebagai profesor yang telah mengajar, meneliti, membimbing mahasiswa, dan mendampingi Undana selama hampir dari separuh hidup saya, saya semakin menyadari bahwa pemilihan rektor bukan sekadar rotasi jabatan. Ia adalah titik balik masa depan universitas ini. Minggu terakhir bulan November, Senat akan menggunakan 65% suara, dan Kementerian akan memberikan 35% suara.
Namun sesungguhnya, suara-suara itu adalah amanat sejarah. Amanat untuk memastikan Undana tidak terus berjalan di tempat, tidak terjebak dalam pola lama, dan tidak menjadi sekadar perguruan tinggi regional tanpa lompatan visi.
Saya menulis ini bukan untuk memihak kandidat tertentu, tetapi untuk menyerukan sesuatu yang lebih besar: Undana membutuhkan pemimpin terbaiknya. Pemimpin yang lahir dari rekam jejak, bukan wacana. Dari integritas, bukan citra. Dari karya, bukan kata.
Mengapa Undana Butuh Pemimpin Visioner?
Karena saya tahu betul tantangan yang sedang kita hadapi:
1. Produktivitas riset kita belum mencerminkan status PTN. Saya menyaksikan banyak kolega berbakat, tetapi terhambat sistem yang tidak memberi insentif dan dukungan optimal.
2. Budaya akademik kita belum disiplin. Kita butuh rektor yang mampu menggerakkan budaya mutu, bukan sekadar mengumumkannya.
3. Digitalisasi kampus berjalan terlalu pelan. Sebagai profesor yang mengikuti perkembangan perguruan tinggi global, saya tahu persis bahwa kampus yang tidak digital pasti akan tertinggal.
4. Kerja sama internasional masih minim. Padahal kita memiliki potensi riset kelautan, peternakan, pertanian, kesehatan, dan energi yang bisa mendunia.
5. Birokrasi kita terlalu administratif, kurang strategis. Kita butuh rektor yang membangun sistem, bukan rektor yang terjebak mengatur hal kecil.
Saya menyampaikan semua ini karena cinta pada Undana. Karena sebagai profesor, saya ingin generasi setelah saya memiliki universitas terbaik di kawasan timur. Saya menghormati ketiga calon rektor yang kini berdiri di hadapan kita. Mereka adalah akademisi yang telah mengabdikan diri melalui jalan dan caranya masing-masing.
Namun pada akhirnya, Senat perlu menentukan pilihan bukan berdasarkan kedekatan, bukan karena preferensi kelompok, tetapi karena apa yang sungguh-sungguh dibutuhkan kampus ini untuk melompat lebih jauh. Undana membutuhkan pemimpin yang matang dan diplomatis, visioner dan modern, sekaligus mampu merangkul dan menyatukan kampus secara luas.
Pemimpin yang tidak hanya memahami birokrasi, tetapi juga mampu mempercepat transformasi. Pemimpin yang tidak sekadar cerdas secara akademik, tetapi juga cakap membangun hubungan, menggerakkan orang, dan menjahit kerja sama strategis.
Pemimpin seperti itulah yang pantas memimpin Undana menuju masa depan yang lebih cerah, pemimpin yang menjadi pertemuan terbaik dari kualitas-kualitas tersebut. Pemimpin yang tidak hanya hadir sebagai rektor, tetapi sebagai arsitek perubahan.
Apa yang Saya Harapkan dari Rektor Undana Berikutnya
Sebagai profesor yang telah menginvestasikan hidup saya untuk Undana, saya hanya punya empat harapan:
1. Rektor yang berani membuat Undana menjadi universitas riset, tidak lagi sekadar mengoleksi kegiatan, tetapi menghasilkan pengetahuan baru.
2. Rektor yang memperbaiki tata kelola dan menegakkan integritas, karena kualitas universitas dimulai dari kualitas moral pimpinannya.
3. Rektor yang menggerakkan Undana ke arah internasionalisasi, agar mahasiswa dan dosen kita punya ruang lebih luas untuk bersaing.
4. Rektor yang mampu mempersatukan Undana, bukan memecahnya, karena universitas hanya bisa maju bila fakultas-fakultasnya berjalan dalam satu irama.
Pesan Saya kepada Senat
Saya berharap, sebagai sesama akademisi, agar Senat menggunakan suaranya tidak dengan perhitungan politik kampus, tetapi dengan nurani seorang ilmuwan. Senat memegang 65% suara dan Kementerian memiliki 35% suara.
Namun sebenarnya, suara yang paling penting adalah suara sejarah. Siapa yang dipilih hari ini akan menentukan wajah Undana 10–20 tahun mendatang. “Pilihlah pemimpin yang paling mampu mengangkat martabat Undana. Bukan yang paling pandai meraih simpati.”
Penutup.
Saya menulis ini karena saya mencintai Undana, karena saya ingin melihat kampus ini bukan lagi sekadar universitas provinsi, tetapi menjadi salah satu universitas kebanggaan Indonesia Timur, bahkan Indonesia. Dan itu hanya mungkin bila kita berani memilih pemimpin terbaiknya. Semoga minggu terakhir bulan November ini menjadi titik awal perjalanan baru Undana, perjalanan menuju universitas yang maju, modern, dan bermartabat.*
Alberto/Bernas



