DaerahHukum & KriminalInternationalNasional

Penderitaan para TKW Asal NTT Dari Tak Digaji hingga Disiksa, Hanura Angkat Bicara

BeritaNasional.ID-Kupang NTT-, Seorang Tenaga Kerja Wanita (TKW), Demi Delita Alfi Pekerja Migran asal Nusa Tenggara Timur (NTT) dikabarkan dirinya sedang menjadi korban penyiksaan majikannya di Malaysia dan telah mengalami kerja paksa tanpa mendapatkan bayaran gaji selama kurang lebih 11 tahun di Malaysia.

Hal tersebut diunggah melalui sebuah postingan di Facebook, atas nama Ratti Tea yang mengaku bekerja di malaysia dan bertetangga dengan tempat kerja Demi Delita Afi.

Postingan ini kemudian dibagikan dalam grup Live RB Kota Kupang pada tanggal 22 maret 2022. Ratti Tea meminta agar dapat membantu menyelamatkan Demi Delita Afi yang hingga saat ini sudah bekerja selama belasan tahun (11) tanpa menghubungi keluarganya.

“Assalamualaikum teman-teman semua ada yang kenal orang ini enggak tolong dibantu semua kasian namanya Demi Delita Afi orang kupang segera dibantu soalnya nangis terus” serta menyertakan beberapa foto dan Screenshot postingan milik Ratti Tea sebelumnya.

Tangkapan Layar

Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Partai Hanura Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) Drs. Refafi Gah, SH., M.Pd., yang dikonfirmasi media ini, menyoroti nasib seorang TKI asal provinsi NTT itu, yang mengalami penyiksaan dan bekerja tanpa upah selama sebelas tahun lebih di Malaysia. Ia pun menilai, Kasus tersebut seakan menambah daftar panjang TKI yang tidak diperlakukan secara manusiawi di negara tempatnya bekerja.

“Saya mendapatkan informasi dari media terkait masalah Pekerja Migran Indonesia asal NTT. Saya kemudian melakukan koordinasi dengan Kepala Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) Pusat, Benny Rhamdani, untuk menindaklanjuti masalah tersebut. Saat ini saya benar-benar membangun komunikasi dengan Pak Benny. Karena hubungan baik saya dengan kepala BP2MI, sehingga ini tentu memudahkan komunikasi untuk membantu Demi Delita Afi yang saat ini diduga mendapatkan tindakan kekerasan di Malaysia”,akuinya.

Terkait dengan informasi Demi Delita Afi tidak mendapatkan haknya berupa gaji selama kerja dan mendapatkan kekerasan fisik, Ia mengatakan bahwa, saat ini kita masih melakukan penelusuran sehingga masalah ini benar-benar terungkap secara terang dan berpihak pada korban PMI asal NTT untuk bisa mendapat haknya dan dikembalikan ke Indonesia.

Legislator Hanura NTT ini mengatakan, dengan masih terjadinya penyiksaan TKI di Malaysia, pemerintah Indonesia harus bersikap tegas mengkaji ulang MoU (memorandum of understanding/nota kesepahaman) pengiriman TKI ke Malaysia.

“Apalagi, Malaysia sedang menjadi sorotan internasional dalam kasus kerja paksa dalam bentuk tidak membayar gaji, penahanan dokumen, larangan berkomunikasi tidak hanya di sektor rumah tangga, tetapi juga di sektor lain seperti perkebunan dan manufaktur,” katanya.

Refafi menambahkan Indonesia tentu menghormati kedaulatan hukum negara Malaysia. Namun, menurutnya, Kedutaan Besar (Kedubes) Indonesia di Malaysia harus bergerak proaktif dalam melakukan pendampingan dan pembelaan terhadap TKI yang tengah berjuang memperoleh keadilan.

“Jangan biarkan TKI yang menjadi korban kesemena-menaan majikannya berjuang sendirian. Negara harus hadir melakukan upaya hukum banding sesuai dengan mekanisme hukum dan perundang-undangan negara Malaysia,” tegas politisi Hanura itu.

Menurutnya, proses pemulangan TKI dari Malaysia harus mendapatkan perhatian dari pemerintah Indonesia terutama pemerintah NTT sebab mereka dalam kondisi yang tidak menentu dan membutuhkan bantuan.

Refafi menambahkan, Undang-Undang Dasar 1945 sangat jelas mengatur dalam Pasal 28A bahwa setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya. Sehingga dapat dikatakan bahwa Negara Republik Indonesia wajib melindungi hak hidup serta hak mempertahankan hidup dan kehidupan segenap warga negara Indonesia.

“Tidak ada pengecualian baik yang berada di dalam maupun luar wilayah Negara Kesatuan Indonesia”,tutupnya.

Lihat Selengkapnya

Related Articles

Back to top button