Prof. Taneo dan Seni Menjadi Rendah Hati di Puncak Ilmu
Oleh: Alberto Linbes Kuluantuan (Jurnalis Berita Nasional.ID)

OPINI — BeritaNasional.ID, Ketika kita berbicara tentang pendidikan tinggi di kawasan Timur Indonesia, Universitas Nusa Cendana (Undana) adalah simbol harapan dan kemajuan. Dari kampus inilah lahir berbagai pemikir, guru, dan pemimpin yang menyalakan lilin-lilin pengetahuan di tengah keterbatasan. Dan di antara mereka, muncul satu sosok yang merepresentasikan perjalanan panjang tentang arti ketekunan, kerendahan hati, dan dedikasi—Prof. Dr. Drs. Malkisedek Taneo, M.Si.
Beliau bukan hanya akademisi, bukan pula sekadar pemimpin fakultas. Ia adalah kisah hidup yang berjalan—sebuah cermin bagi siapa pun yang percaya bahwa asal muasal bukan penentu, tetapi arah langkahlah yang menentukan masa depan.
*Dari Ladang Mnelalete ke Ruang Senat Undana*
Prof. Taneo lahir di Mnelalete, Kabupaten Timor Tengah Selatan, pada 2 April 1967, dari keluarga petani sederhana. Ia tumbuh dalam kerasnya kehidupan desa yang mengajarkan kerja keras, ketulusan, dan rasa syukur dalam segala keterbatasan.
Anak kelima dari tujuh bersaudara ini setiap hari berjalan kaki sejauh 2–6 kilometer menuju sekolah, menempuh perjalanan yang tidak hanya jauh secara fisik, tetapi juga penuh rintangan sosial dan ekonomi. Ia belajar di bawah cahaya pelita, merendam kaki di ember agar tidak mengantuk, dan menjadikan keterbatasan sebagai guru kehidupan.
Filosofinya sederhana tapi dalam: “Meski cahayanya kecil, ia cukup untuk menerangi jalan menuju masa depan.” Itulah yang ia bawa hingga ke jenjang perguruan tinggi—ketika tahun 1987 ia memutuskan kuliah di Undana mengambil jurusan Pendidikan Sejarah.
Bagi Taneo muda, kuliah bukan tentang gaya hidup, melainkan tentang perjuangan. Di Kupang, ia bekerja sebagai kenek angkot (konjak), buruh kebun, hingga pekerja gali got, hanya untuk bisa bertahan hidup dan melunasi biaya kuliah. Sementara mahasiswa lain sibuk berdiskusi di cafe, ia sibuk menghitung uang receh hasil kerja harian. Namun, dalam kesederhanaan itu, tekadnya tidak pernah redup.
Ketika akhirnya lulus pada tahun 1992 dan diangkat menjadi PNS pada 1994, perjalanan akademiknya baru saja dimulai. Ia melanjutkan studi S2 di Universitas Airlangga, lalu S3 di Universitas Negeri Malang—dua lembaga besar yang menjadi saksi kesungguhan seorang anak desa dalam menaklukkan dunia ilmu pengetahuan.
Kini, sebagai Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Undana sejak 2019, Prof. Taneo membuktikan bahwa kepemimpinan bukan tentang jabatan, tetapi tentang pelayanan dan perubahan nyata.
FKIP di bawah pimpinannya bertransformasi menjadi fakultas yang dinamis, berorientasi mutu, dan berwawasan global. Capaian monumental diraih pada 6 Juni 2025, ketika tiga program studi FKIP—Pendidikan Bahasa Inggris, PPKn, dan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia—meraih akreditasi internasional FIBAA (Jerman).
Pencapaian itu bukan kebetulan, melainkan buah dari kerja panjang, kolaborasi, dan visi yang melampaui batas geografis. Ia membuktikan bahwa kampus di Timur Indonesia pun bisa berdiri sejajar dengan universitas terkemuka dunia.
Selain itu, delapan program studi FKIP juga telah menyandang status akreditasi “Unggul” dari Lembaga Akreditasi Mandiri Kependidikan (Lamdik). Ini bukan sekadar predikat administratif, melainkan refleksi dari kualitas dan integritas akademik yang dibangun bertahun-tahun.
*Gentleman dalam Kompetisi*
Pada September 2025, saat pemilihan calon Rektor Undana, Prof. Taneo memperoleh 6 suara dari total 61 anggota senat. Sebuah angka yang mungkin tampak kecil di atas kertas, tetapi besar dalam makna moralitas dan ketulusan.
Ketika banyak orang sibuk memperdebatkan hasil, beliau hanya berkata pelan: “Kita tetap gentleman, kaka. Kalah atau menang, kita tetap gentleman,” demikian ungkapan beliau kepada saya yang kala itu berdiskusi dengannya dibawah atap Gedung FKIP.
Pernyataan sederhana itu sesungguhnya menggambarkan karakter seorang pemimpin sejati—yang tidak diukur dari seberapa tinggi ia berdiri, tetapi seberapa lapang ia menerima dan tetap melangkah.
Dalam dunia akademik yang kerap keras dan penuh intrik, sikap ini adalah bentuk kematangan spiritual dan intelektual. Ia menunjukkan bahwa integritas masih punya tempat di ruang senat, dan kebesaran hati adalah bagian dari keilmuan.
Dalam setiap perjalanan hidupnya, Prof. Taneo selalu mengaitkan pendidikan dengan nilai-nilai spiritual. Ia meyakini bahwa ilmu tanpa iman hanya akan melahirkan kesombongan, sementara iman tanpa ilmu dapat kehilangan arah.
Dari orang tuanya, ia mewarisi prinsip sederhana: “meup on ate, tah on usif” — bekerja seperti hamba, makan seperti raja. Prinsip yang membentuk etos kerja keras dan rendah hati, dua kualitas langka di era yang sering kali lebih menghargai popularitas ketimbang pengabdian.
Kisahnya adalah pengingat bahwa pendidikan sejati bukanlah soal gelar, tetapi tentang bagaimana ilmu digunakan untuk melayani sesama dan memperbaiki kehidupan.
Di tengah dinamika pemilihan Rektor Undana, nama Prof. Taneo, muncul sebagai simbol perjuangan anak-anak daerah yang menolak kalah oleh keadaan. Ia bukan sekadar calon rektor; ia adalah representasi dari mimpi kolektif masyarakat NTT yang ingin melihat kampusnya maju tanpa kehilangan nilai-nilai lokalitas dan kemanusiaan.
Dari jalan berlumpur Mnelalete hingga podium akademik Undana, Prof. Taneo telah menempuh perjalanan panjang. Ia menyalakan pelita kecil di tengah gelap, dan kini cahaya itu menerangi banyak jalan bagi generasi muda di Timur Indonesia.
Bila Undana ingin melangkah ke masa depan yang lebih bagus, berakar pada kearifan lokal namun berorientasi global, maka kisah dan nilai-nilai Prof. Taneo layak dijadikan kompas moral bagi kampus ini. Karena dari anak petani sederhana di Timor, lahir seorang intelektual yang mengajarkan kita bahwa pendidikan bukan hanya untuk menaikkan derajat, tetapi untuk mengangkat martabat.*



