Daerah

Ritual Mangngaro Budaya Religi Kab Mamasa Sulbar

 

Berita Nasional.ID.MAMASA SULBAR — Ritual Mangngaro yang dilestarikan oleh masyarakat Kabupaten Mamasa, Sulawesi Barat dilaksanakan setiap Agustus, di Kecamatan Nosu , saat seluruh masyarakat usai melakukan panen padi dan ternak kerbau, kuda dan sapi dilepas bebas ke alam untuk kawin sebagai sebuah metode kearifan lokal masyarakat Mamasa dalam membangun sistem mengembangbiakkan ternak.

Ritual Mangngaro merupakan prosesi upacara ritual kematian atau Rambu Solo yang dilakukan oleh masyarakat Mamasa di Kecamatan Nosu, Kabupaten Mamasa, Sulawesi Barat dimana jasad leluhur dikeluarkan dari Kubur (Liang) yang diwilayah ini bentuknya seperti  Lumbung (Alang) dan Goa Tanah atau Batu (Lokko’) untuk dibungkus ulang (Dibalun) diupacarakan dengan pemotongan kerbau serta babi. Jasad leluhur yang dikeluarkan (Diaro) dari kubur, disemayamkan di tanah datar sekitar persawahan (Ratte) selama satu malam untuk proses pembungkusan ulang sebelum dimasukkan kembali kedalam alang atau lokko’.

Seperti yang dilansir Mamasa Dalam Berita (MDB) , Upacara Mangngaro hanya boleh dilakukan di Ratte dengan membangun tenda atau lantang, tidak boleh dilaksanakan didalam kampung. Seperti tradisi diawal kematian seseorang, pada ritual Mangngaro juga ada proses melayat oleh keluarga, meratapi jasad (membating) dan penyembelian hewan ternak.

Rangkaian Mangngaro diawali dari pembangunan tenda, mengeluarkan jasad dari sejumlah Liang kemudian diarak dan dipertemukan pada satu tempat yang sudah diatur oleh keluarga dimana sejumlah perempuan sudah menunggu. Setelah jasad leluhur sudah berkumpul ditempat yang ditentukan, selanjutnya diarak ke tenda yang sudah dibangun.

Arak-arakan menuju tenda memiliki daya tarik tersendiri, berjalan paling depan sejumlah perempuan dengan pakaian adat lengkap sembari  membentangkan kain merah yang oleh masyarakat Mamasa di Nosu disebut Ma’titting disusul dengan anggota keluarga dan dibarisan belakang adalah barisan jasad leluhur yang digotong oleh kaum muda sambil berteriak kegirangan.

Setiba ditenda, barisan mengitari tenda berjalan berlawanan arah dengan jarum jam sebelum akhirnya masuk kedalam tenda atau lantang. Setelah jasad leluhur diletakkan ditempat sesuai urutannya oleh keputusan pengampu, kaum perempuan kemudian melakukan ratapan kematian.

Pada malam hari, sembari membungkus ulang jasad leluhur, kaum laki-laki diluar tenda melakukan ritual Ma’badong, sementara perempuan didalam tenda melakukan ritual Ma’sailo. Pada keesokan harinya kegiatan dilanjutkan dengan penyembelian kerbau dan babi . Sebelum jasad leluhur dimasukkan kembali ke liang, keluarga melakukan penyembahan kepada Tuhan Yang Maha Esa sesuai  keyakinan agama pengampu acara. Dan terakhir dari proses mangngaro adalah mengarak kembali jasad leluhur ke liang tempat penyimpanan jasad. Penyimpanan jasad boleh beda tempat dimana jasad dikeluarkan tergantung kesepakan keluarga besar.

Sepintas, ritual mangngaro bagi masyarakat awam nampak seperti festival namun sesuai keterangan tokoh masyarakat Nosu yang juga merupakan ketua lembaga adat Kecamatan Nosu, Itung menjelaskan bahwa ritual mangngaro masih merupakan Aluk Tomate atau ritual upacara kematian. “Sebelum rangkaian ritual mangngaro dilakukan maka aluk tomate atau ritual upacara kematian belum selesai, jadi mangngaro adalah puncak dan merupakan akhir dari upacara kematian seseorang” terang Itung.

Ditemui di lokasi pelaksanaan ritual Mangngaro di Nosu (29/8), pengampu ritual Mangngaro keluarga almarhum Sanda Tandi, Hermanus Tandi, menyampaikan syukurnya atas pelaksanaan rangkaian Mangngaro untuk jasad leluhurnya yang terdiri dari almarhum ayahandanya yakni  Sanda Tandi, neneknya yakni Sura, kakeknya yakni Tandi dan jasad keluarga lainnya dengan total 7 bungkus jasad Hermanus Tandi mengatakan bahwa tanggungjawabnya sebagai anak sekaitan dengan ritual kematian leluhurnya telah selesai dengan menggelar ritual mangngaro selama dua hari (28-29 Agustus 2018).

Mikael Minanga (2012) dalam skripsi jurusan antropologi fakultas ilmu sosial dan ilmu politik, Unhas, “Pangngaroan” dalam studi tradisi penguburan mayat orang Mamasa di Nosu dalam tulisannya mengatakan bahwa mengacu kepada beberapa faktor pendukung “Pangngaroan” seperti: nilai-nilai dan pandangan hidup (kelahiran, kehidupan, kematian dan parapuan/kekeluargaan dan longko  siri/rasa malu/tenggang rasa) dan persekutuan dengan leluhur menyimpulkan bahwa “MANGNGARO” adalah merupakan Natzsar  atau utang piutang kepada orang yang sudah meninggal yang belum dilunasi. Wajib untuk dilunasi bagi keluarga yang ditinggalkan oleh sipeninggal, natzsar itu belum terselesaikan apabila belum melakukan upacara prosesi ritual mangngaro. Apabila jasad leluhur belum DIARO (dikeluarkam) dan dibawah ke Ratte belum resmi upacaranya, sehingga menjadi kewajiban bagi pihak keluarganya untuk melaksanakan upacara prosesi ritual Mangngaro sebagai prosesi terakhir dari keseluruhan rangkaian dalam upacara Rambu Solo atau ALUK TOMATE (Upacara kematian).

Dalam kehidupan modern seperti saat ini, tradisi budaya proses ritual Mangngaro yang sangat unik ini merupakan aset Kabupaten Mamasa sehingga  jika pelaksanaannya ditata dengan baik maka sangat layak untuk masuk dalam kalender kegiatan pariwisata. Kabupaten Mamasa sebagai destinasi utama pariwisata Sulawesi Barat tentu harus berbenah dari tidurnya, budaya yang unik menjadi salah satu objek yang menjadi tujuan wisatawan. (Mdb)

Lihat Selengkapnya

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button