Metro

Tentang Selimut Waktu

Oleh : M Zaenul Muttaqin

Saat malam menghanyutkan risau yang terkapar. Aku membentengi setiap rima yang redup kedinginan, hampir beku tanpa selimut. Sesal yang ganjil masih dan selalu menyerang ketika aku berangkat memunggungi halaman rumah.

Dari hunusan poster-poster yang berjejer di dinding kamar, Keberanian saat itu menghantam tameng cemas, Tangan yang jauh lebih kuat dari gejala prediksi.

Niskala catatan berkata akan baik-baik saja ketika semua semula, Tentang bagaimana perjalanan ini bermula. Baru kali itu kau memeluk tubuhku. Aku melihat nanar di matamu, sangat jelas hampir membentuk aliran pada ruas wajahmu .

Lantas kubuang tatapanku. Aku pencandu cermin mimpi Ada yang tidak bisa kukemas dengan kata-kata Parah karena aku tidak hafal begitu banyak kosakata.

Keagungan yang tidak mampu kudaratkan dalam verbal. Teks alpa membangun realitas . Hanya labirin miskin atribusi
Kau membimbingku menuju seluk-beluk idiom sederhana

Seperti perintah membaca interpretasi kitab mantiq tidak berpola. Aku terlalu angkuh mengakui bahwa dalam tubuh yang kurus ini, Berjejalan bercak dosa yang lama-kelamaan membentuk gumpalan,

Terkunci dan diam-diam coba kuhilangkan, perlahan. Memang kagum dan bising tidak memiliki sekat jelas ketika seseorang kesepian. Kau lebih dekat dari yang aku pahami, dan haram kuingkari. Dalam doa seorang durhaka, Aku rindu bapak. (Ed. Ile)

Lihat Selengkapnya

Related Articles

Back to top button