Ragam

“Ada Tetes Darah Bugis di Madina”

BeritaNasional.ID, Lubuk Sikaping, —Kabupaten Mandahiling Natal, akronimnya, Madina. Adalah   sebuah kabupaten hasil pemekaran dari Kabupaten Tapanuli Selatan, provinsi Sumatera Utara. Berbatasan langsung dengan Kabupaten Pasaman, provinsi Sumatera Barat. Mekar pada tahun 1998.

Menurut  M Dolok Lubis, dalam bukunya “Mandailing; Sejarah, Adat dan Arsitektur Mandailing”,  keberadaan Mandailing sudah tercantum dalam Sumpah Palapa Gajah Mada, pada syair ke-13, Kakawin Negarakertagama, karya Prapanca yang ditulis pada tahun 1287 Caka atau 1365,  Mandahiling  dinukilkan sebagai daerah ekspansi Majapahit.

Dikaitkan dengan Bugis, dalam Kakawin Negara Kertagama tersebut,  sudah menukilkan juga, daerah Bugis adalah daerah taklukan Majapahit.

Maka ada logisnya, jika Daeng Malela dari tanah Bugis hadir ditanah Mandahiling, adalah sebagai anggota lasykar Majapahit.

Tetapi, jika ditilik ke tanah Bugis, orang Bugis adalah pelaut dan pengembara ulung. Jika berbincang soal menyeberang laut, suku Bugis berada pada titik puncak diantara suku-suku di Nusantara. Maka, hadirnya Daeng Malela ke tanah Mandahiling adalah sebagai pelaut yang terdampar, tentulah, logis juga.

Tapi tak usahlah pikiran kita bertengkar tentang mana yang benar. Hal yang terpenting, ada jalan logika yang mengantarkan Daeng Malela ke tanah Mandahiling. Bukan jalan mitos, seperti, terbang dibawa elang, dll.

Selesaikah masalahnya ? Belum ! Barangkali Daeng Malela bukan dari Bugis, tetapi dari Pilipina, Aceh, Semenanjung Malaka, Thailan, atau daerah lainnya.

Soal ini, telah dijawab oleh Antropologi. Tidak ada panggilan “Daeng” sebagai panggilan strata sosial selain di Bugis, Sulawesi. Maka, apakah Daeng Malela bukan orang dari Bugis ?Jawabnya, sudah tunggal. Daeng Malela adalah orang yang berasal dari tanah Bugis.

Daeng Malela, seorang pria Bugis. Dalam pengembaraan hidupnya, sampai dan berdiamlah beliau  di Angkola Jae, Sigalangan, — sekarang, berada dalam administrasi pemerintahan kecamatan Batang Angkola, kabupaten Tapanuli Selatan, Sumatera Utara. Pada waktu itu, Raja Sigalangan bermarga Dalimunte.

Daeng Malela dianggap sangat berjasa oleh Raja Dalimunte. Skil perangnya luar biasa; dan yang paling luar biasa, skilnya menempa besi jadi pedang, parang, tombak, dan  alat perang lainnya.

Atas jasanya, Daeng Malela dikawinkan Raja Dalimunte dengan putrinya yang bernama Silenggana boru Dalimunte, dan dia diberi gelar  “NAMORA PANDE BOSI” . Artinya, yang terhormat penempa besi.

Namora Pande Bosi sebagai suami si Lenggana, membuka perkampungan yang tidak jauh dari Sigalangan. Kemudian, diberi nama: Atongga.

Di kampung baru ini lah Namora Pande Bosi tinggal bersama istrinya. Mereka dikaruniai dua orang anak laki-laki. Namanya: Sutan Bugis dan Sutan Burayun.

Sutan Bugis dan Sutan Burayun membuka kampung Hutasuhut di daerah Sipirok. Selanjutnya, keturunan mereka mengidentifikasi diri dan dikenal bermarga “Hutasuhut”.

Kemudian Namora Pande Bosi menikahi seorang gadis dari Pijor Koling, sekitar dua hari berjalan kaki dari Atongga. Melahirkan  dua orang anak laki-laki yang bernama Sipanawareh dan Sibargot Lage.  Keturunan Sipanawareh dan Sibargot Lage, diidentifikasi dan dikenal sebagai marga Pulungan.

Lanjut kisahnya,  pada suatu hari, si Lenggana boru Dalimunte ingin makan panggang burung yang diultop (sumpit) di atas air. Pergilah Namora Pande Bosi ke Aek Batanggadis ( Sungai Batanggadis ). Beliau menemukan, lalu, disumpitnya, kena.

Tapi sebelum Namora Pande Bosi menangkap burung yang sudah kena sumpit tersebut, tiba-tiba didahului oleh seorang gadis rupawan dari bangsa ” orang bunian” atau bangsa jin.

Singkat kisah, Namora Pande Bosi tidak pulang, tetapi mengawini Putri Bunian tersebut.

Dari perkawinan dengan Putri Bunian itu, lahirlah dua orang anak laki-laki kembar;  yang satu diberi nama Silangkitang dan satu lagi Sibaitang.

Setelah si Langkitang dan si Baitang lahir, sewaktu masih kecil, Namora Pande Bosi kembali ke keluarganya di Atongga. Ia tidak pernah kembali lagi mengunjungi istrinya Putri Bunian tersebut.

Setelah Silangkitang dan Sibaitang mulai beranjak remaja, timbullah keinginan mereka untuk mencari sang ayah. Atas petunjuk ibunya, mereka berangkat mencari Namora Pande Bosi.

Akhirnya mereka sampai juga di huta Atongga dan bertemu dengan Namora Pande Bosi.  Melihat sarung keris yang dibawa Silangkitang dan Sibaitang, Namora Pande Bosi menyadari bahwa kedua anak itu adalah putranya.

Namora Pande Bosi mengajak Silangkitang dan Sibaitang tinggal di rumahnya. Tetapi, ia tidak memberitahu kepada istrinya Silenggane dan anaknya Sutan Bugis dan Sutan Burayun, bahwa kedua anak tersebut adalah putranya.

Silangkitang dan Sibaitang mulai dewasa. Boru tulang mereka,  yaitu putri dari abang si Lenggana yang menjadi raja di Sigalangan, menaruh hati kepada Silangkitang.

Hal ini menimbulkan kecemburuan Sutan Bugis, karena ia sendiri sangat suka terhadap boru tulang mereka itu.

<span;>Pada suatu ketika,  Silenggana mengetahui bahwa Silangkitang dan Sibaitang adalah anaknya Namora Pande Bosi.

Sejak itu, ia mulai memperlakukan kedua anak tersebut dengan cara tidak baik. Demikian pula halnya dengan Sutan Bugis dan Sutan Burayun, sejak lama kurang senang melihat Silangkitang yang telah menarik perhatian boru tulang mereka, putri dari abang si Lenggana.

Hubungan antara mereka semakin buruk. Akhirnya Namora Pande bosi menyuruh Silangkitang dan Sibaitang meninggalkan Atongga.

Namora pande bosi mengamanatkan kepada mereka agar menghiliri sungai Batang Angkola. Apabila bertemu dengan sungai Batang Gadis, agar mereka menyusuri sungai itu ke arah hulu. Apabila menemukan satu tempat, dimana terdapat dua sungai berhadapan atau bertentangan muaranya, di tempat itu lah mereka harus membuka kampung.

Sebelum keduanya berangkat, Namora Pande Bosi menyerahkan sebatang sumpitan dan seekor ayam jantan.

Apabila dalam perjalanan Silangkitang dan Sibaitang berhenti, ayam itu harus mereka lepas, dan jika ayam itu berkokok, di tempat itu lah mereka membuka perkampungan.

Sesuai dengan amanat ayahnya, pergilah mereka menghilirkan sungai Batang Angkola. Kemudian setelah mereka bertemu dengan sungai Batang Gadis, mereka susuri sungai itu kearah hulu.

Setelah sekian lama berjalan ke hulu sungai Batang Gadis, bertemulah mereka dengan dua buah muara sungai yang berhadapan.  Kedua sungai tersebut ialah Aek Singengo dan Aek Singangir; daerah itu dikenal dengan nama ” rura batontang”. Dua anak air, yang satu mengalir dari arah kanan sungai, yang satu datang dari arah kiri sungai, dan muaranya saling berhadapan.

Mereka melepaskan ayam jantan yang mereka bawa, ternyata ayam itu berkokok.

Sesuai dengan amanat ayah mereka, maka mereka membuka perkampungan di tempat tersebut. Diberi nama  Huta Panopan atau kampung tempat menempa, — sekarang bernama Kotanopan, suatu kota kecil  di kabupaten Madina.

Kemudian,  Silangkitang membuka perkampungan baru, letaknya tidak begitu jauh dari Hutanopan  Nama kampunya, Singengu. Silangkitang menjadi rajanya.

Selanjutnya, semua keturunan si Langkitang diberi identitas sebagai marga Lubis. Lebih spesifik, diidentifikasi sebagai Lubis Singengu.

Sibaitang,  juga pergi meninggalkan Huta Panopan, dan membuka pemukiman baru di daerah pertemuan Sungai Batang Pungkut dan Sungai Batanggadis. Pemukiman itu diberi nama Tomuan. Rajanya adalah Sibaitang.

Selanjutnya, keturunan Sibaitang dikenal dan diidentifikasi bermarga Lubis. Lebih spesifiknya, Lubis Singasoro.

Sekarang,  hampir separoh dari penduduk Madina adalah akumulasi dari yang bermarga Hutasuhut, Pulungan, dan Lubis. Keturunan Daeng Malela, titisan darah Bugis !

Lihat Selengkapnya

Related Articles

Back to top button