Buku Potret Moderasi Pesantren, Angkat Kearifan Lokal Wong Tegal
BeritaNasional.ID, Tegal – Pegiat Sastra dan Budaya Tegal-Brebes yang tergabung dalam Komunitas Gelaran Parowulan bertajuk GURAS (Gendu-gendu Rasa) menggelar acara bedah buku Potret Moderasi Pesantren (PMP) karya dari M. Badruz Zaman, mahasiswa Pascasarjana Program Studi Ilmu al-Qur’an dan Tafsir UIN Walisongo Semarang, Minggu (12/9/2021) malam.
Acara dibuka dengan pembacaan Tahlil dan Doa yang dipimpin oleh Ki De’Ong dan Kiai Atmo Tan Sidik, dihadiahkan kepada para seniman Tegal yang telah gugur berjuang.
Pengurus Komunitas Warga Tegal (KWT), Retno Kusrini yang bertindak sebagai moderator bedah buku, memantik hadirin untuk berdialog dengan penulis buku. Menurutnya, buku PMP ini layak dibaca oleh semua kalangan, sebab dari gaya bahasanya ringan sehingga bisa diterima oleh siapa pun.
“Buku Potret Moderasi Pesantren dari Badruz Zaman yang masih muda ini, saya kira layak untuk dibaca oleh siapa pun. Buku ini disajikan dengan bahasa yang renyah, mudah dipahami, tetapi isinya dalam (berbobot),” kata Retno.
Turut mengapresiasi dan menanggapi ulasan buku Potret Moderasi Pesantren yakni Atmo Tan Sidik, Ketua Lembaga Seni dan Budaya Muslimin (LESBUMI) NU Kota Tegal. Menurut Pembina Pelataran Sastra Tegal tersebut, buku Potret Moderasi Pesantren patut diapresiasi dan dikenalkan lebih luas.
Karena buku tersebut menghadirkan wacana khas pesantren yang banyak membawa misi perdamaian. Penulis yang berasal dari Tegal, juga tidak menghilangkan kearifan lokal yang ada dalam lingkup kehidupannya.
“Pertama, untuk tidak berlebihan, saya turut mengapresiasi semangat Badruz Zaman yang telah menulis buku ini. Menjadi menarik ketika pesantren lebih aktif dalam dunia literasi yang kemudian dikemas dengan sentuhan lokalitas. Karena, ketika seorang penulis kemudian tidak menghadirkan bahasa daerahnya, dia tidak akan mendapatkan keberkahan. Nah, penulis memasukkan beberapa kosakata bahasa Tegal dalam buku ini,” papar Atmo.
Sepanjang acara, dialog interaktif berjalan aktif dengan beberapa pertanyaan dan tanggapan dari peserta yang hadir. Pada kesempatan menanggapi pertanyaan, M Badruz Zaman menceritakan proses menulis dan memaparkan dua sub judul yang menyentuh dimensi lokalitas Tegal.
“Dalam buku ini, ada dua bagian yang saya sentuh dengan kearifan lokal wong Tegal, yaitu istilah Laka-laka dan WASGITEL. Laka-laka yang saya gambarkan adalah fenomena beragama yang terjadi karena memiliki nilai anti-mainstream. Dan ini bisa positif, bisa pula negatif,” terang Badruz Zaman.
Dijelaskan lebih lanjut, WASGITEL itu akronim (Wangi, Sepet, Legi, Kenthel) yang lumrah dalam tradisi minum teh poci masyarakat Tegal.
“Berbeda dengan tawaran WASGITEL dalam buku ini, yaitu Wani (Berani), Selaras, Gigih, dan Teliti. Empat sikap ini yang harus kita miliki menghadapi era disrupsi,” pungkas pimpinan redaksi walisongo.co
Dwi Eri Santoso (Presiden Penyair Tegal) turut hadir memberikan apresiasi atas terbitnya buku perdana dari mahasantri Pondok Pesantren Darul Falah Besongo Semarang tersebut. Ia kemudian mengulas tentang sastra Tegal yang sangat kaya dan sudah banyak dikaji oleh para akademisi, baik yang strata satu sampai gelar doktor.
Gelaran Parowulan juga menampilkan pembacaan puisi dari Titis Hening (Seniman Tegal dan Komunitas Kejawen Maneges), Mi’raj Andhika (Ketua LESBUMI NU Kabupaten Tegal), dan terakhir dari Wahyu Ranggati (Dalang Wayang Kertas Tegal).
Parowulan gendu rasa ini juga dihadiri dari beberapa pegiat seni seperti UKM KSB UPS Tegal, Study Teater Muhammadiyah Tegal, Komunitas Lukis Kembang Trasa, TBM Dongeng Suket Tegal, dan dari Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Tegal.