Nasional

Cegah Dini Bunuh Diri Anak

Oleh : Mohammad Hasyim

Kematian terjadi bisa karena berbagai sebab. Sakit adalah sebab umum seseorang meninggal dunia.  Seseorang meninggal  bisa juga karena kecelakaan dijalan raya, jatuh dari ketinggian, serangan virus dan lain sebagainnya. Ada kematian lazim, ada yang kurang lazim. Bunuh diri, sebagai fakta sosial setua peradaban manusia, disebut oleh sebagian kalangan sebagai bentuk kematian yang kurang lazim (abnormal). Terlebih jika dilakukan oleh anak dibawah umur. Seperti diberitakan sebelumnya (Nusa Daily, 12 Juli 2021), seorang bocah (12 tahun) mengakhiri hidupnya dengan cara bunuh diri. Pelajar SD di salah satu Kecamatan Banyuwangi itu meninggal dengan cara tragis, setelah permintaannya untuk dibelikan HP kepada orangtuanya belum juga bisa dipenuhi. Karena alasan keterbatasan ekonomi, oramgtua si anak baru sebatas menyanggupi untuk membelikannya.

Mungkinkah kasus ini hanya sebuah kebetulan atau fenomena individual ? Melacak berbagai pemberitaan diketahui, ternyata kematian anak akibat bunuh diri terjadi juga di banyak tempat. Setahun lalu  misalnya, seorang  anak  (12 tahun) klas V SD di kawasan Rungkut Surabaya  meninggal karena bunuh diri (Radar Surabaya.id ,17 Maret 2020). Di tahun ini (2021)  seorang bocah klas VI SD di desa Menayu Kec. Muntilan Kab. Magelang dikabarkan meninggal akibat bunuh diri (Borobudur News .Com, 25/1/2021). Di tahun yang sama dikabarkan seorang anak SD klas VI di Kecamatan Ketapang Kab. Lampung Selatan juga meninggal dengan cara bunuh diri. Masih ditahun yang sama, dikabarkan juga  seorang pelajar sebuah SMP (15) tahun di Sumtera Barat meninggal dunia karena bunuh diri. Mirisnya  ia merekam detik-detik bunuh diri yang dilakukanya. Dua tahun sebelumnya (2019) diberitakan juga anak SD (12) warga Kelurahan Butuh Kab. Temanggung Jawa Tengah meninggal karena bunuh diri (Suara Jateng,Oktober 2019).

Berkaca pada  banyaknya kasus bunuh diri anak yang rata-rata dilakukan didalam rumah atau dilingkungan tak jauh dari tempat tinggal mereka menunjukan bahwa  secara sosiologis mobilitas geografik dan interaksi/relasi sosial anak belum jauh-jauh dari lingkungan domestiknya, lingkungan terkecilnya, yakni keluarga. Pun nilai-nilai sosialisasi yang mereka terima sehari-hari juga tidak lepas dari lingkungan keluarga inti (nuclear family) mereka. Bahwa tingkat ketergantungan anak-anak terhadap anggota keluarga inti mereka, ayah, ibu kakak, adik, sangatlah kuat. Kerekatan jalinan hubungan sosial dan batin diantara anak dan orang-orang kepercayaan mereka sangatlah spesial. Dihampir banyak hal, mereka, anak-anak, belum bisa sepenuhnya lepas dari kehadiran orangtua dan orang-orang yang mereka percaya. Hal ini dimungkinkan karena pemenuhan sebagian besar kebutuhan anak masih harus dipasok/dicukupi oleh orangtua atau orang-orang dekat mereka.

Fakta-fakta  ini menjadi alasan sekaligus menyarankan betapa pentingnya mencegah lebih awal oleh orangtua atau anggota keluarga inti dan orang-orang kepercayaan anak lainya dengan cara mengenali gejala-gejala dini terhadap potensi terjadinya bunuh diri anak. Depresi pada anak ditengarai menjadi tanda umum yang banyak memicu peluang terjadinya bunuh diri anak. Komunikasi yang lebih terbuka dan intens antara anak dan orangtua penting dilakukan, sehingga ada ruang bagi anak untuk mencurahkan persoalan yang mereka hadapi. Pun juga ada ruang bagi orangtua untuk mendengar, merespons, memberikan saran/ masukan untuk mengatasi masalah yang dihadapi anak.

Menanamkan rasa percaya diri pada anak juga penting sebagai penguat optimisme pada diri mereka bahwa setiap masalah akan selalu ada jalan keluarnya. Hindari perintah/permintaan  yang menekan atau sikap-sikap yang mengundang interpretasi bahwa anak merasa kurang dihargai dan/atau tidak diperhatikan oleh orangtua. Berilah perhatian kepada mereka, berikan apresiasi sekecil apapun prestasi mereka. Hindari membandingkan antara anak satu dengan lainnya.

Bangun kesadaran mereka akan pentingnya memahami dan menerima realitas hidup sehingga mereka bisa menjalani kehidupan di keluarga dengan lapang dada, hati ihlas tanpa banyak tuntutan yang mungkin secara ekonomi sulit untuk bisa dipenuhi. Pola-pola ini penting dilakukan karena sejatinya anak-anak di usia remaja awal masih dalam suasana kepengasuhan/tanggungjawab  orangtua mereka. Mereka masih sangat tergantung kepada orang  dekatnya.  Mereka belum dewasa penuh.  Apa yang dilakukan anak sebagian besarnya juga cerminan dari pola asuh orangtua/keluarga.

Pendidikan keluarga dewasa (parenting education) penting juga diberikan kepada orangtua. Agar sejurus/efektif dengan tuntutan jaman yang terus berubah dan kebutuhan anak masa kini maka kurikulumnya penting terus diadaptasi. Jika selama ini materi parenting, terutama disaat pandemic, lebih banyak ke materi pendampingan tehnis  belajar, kedepan perlu disisipkan materi-materi tentang psikologi anak (psikologi perkembangan), dasar-dasar kesehatan mental dan dasar-dasar integrasi/kohesivitas sosial. Yang terahir, kohesivitas social, penting agar anak-anak tidak gampang mengambil keputusan bersandar pada dirinya sendiri.

Hadirnya guru konselor di SD penting juga diperhitungkan. Selama ini guru BK hanya ada di SMP, SMA/K, MA. Tekanan hidup yang memicu depresi mendorong bunuh diri kiranya tidak lagi domain orang dewasa, tetapi telah menyasar pada anak-anak, mereka mengalami juga. Kian hari kian menguat dan trendnya akan terus meningkat. Maka saatnya guru Bimbingan Konseling hadir juga sebagai bagian dari formasi pegawai/guru baru di Sekolah Dasar karena  sejatinya, mereka, guru BK dan guru pada umumnya adalah satu diantara orang-orang dekat dengan kehidupan anak, dan  anak-anak percaya kepada mereka.

_______________

Mohammad Hasyim,  Pengawas pendidikan (purna tugas), Pengurus Dewan Pendidikan Banyuwangi, mengajar di IAI Ibrahimy Genteng Banyuwangi

Lihat Selengkapnya

Related Articles

Back to top button