Nasional

H-2 Pencoblosan, Petahana Dijadwalkan Kembali Jalani Sidang Lanjutan Rastra

BeritaNasional.id, Parepare — Masa tenang kampanye jelang Pilwalkot Parepare yang menyisakan dua hari lagi (H-2), Petahana Taufan Pawe (TP) dijadwalkan kembali menjalani sidang terkait kasus dugaan pelanggaran pemilukada, yakni pemanfaatan program beras sejahtera (rastra).

Dalam kasus rastra, terdakwa Taufan Pawe akan menjalani sidang lanjutan di Pengadilan Negeri Parepare, Senin (25/6/2018) hari ini. Sidang sedianya digelar pukul 13.00 Wita.

Hal tersebut diungkapkan Jaksa Penuntut Umum (JPU) kasus rastra, Idil SH, MH, saat dikonfirmasi, Senin (25/6). “Sidang lanjutan kasus rastra digelar hari ini (Senin 25 Juni 2018), pukul 13.00 Wita,” ungkap Idil.

Sebelumnya, Calon Wali Kota Parepare Petahana, Taufan Pawe, mengajukan keberatan pada sidang hari ke-2 kasus dugaan penyalahgunaan Program Beras Sejahtera (Rastra) di Pengadilan Negeri (PN) Parepare, saat diliput oleh sejumlah awak media. Dia meminta kepada Majelis Hakim agar tidak diliput.

Sidang dengan agenda putusan sela di Ruang Sidang Cakra Pengadilan Negeri Parepare, digelar Jumat (22/6/2018) sekira pukul 21.45 Wita lalu, Wartawan yang telah menunggu sejak sore hari, akhirnya kecewa karena tidak bisa merekam jalannya sidang.

“Kenapa baru ada wartawan yang datang, ini politis, ini momen Pilkada, boleh ambil gambar tapi jangan visual,” keluh dia di depan Majelis Hakim.

Hakim Ketua lalu meminta toleransi kepada wartawan untuk memenuhi permintaan terdakwa. “Saya tidak melarang namun ada permintaan (dari Taufan Pawe, red) agar jangan ambil gambar visual,” pinta dia.

Karena tidak ingin membuat gaduh, dua wartawan TV Nasional yang berada dalam ruang sidang akhirnya keluar dan memilih menunggu di luar.

Menyikapi hal itu, praktisi hukum Azhar Zulfurqan SH, turut angkat bicara. Ia mengungkapkan, pada prinsip Persidangan Terbuka untuk Umum dalam perkara tindak pidana.

Azhar menjelaskan, Persidangan yang terbuka untuk umum pada dasarnya adalah hak terdakwa, yakni hak untuk diadili disidang pengadilan yang terbuka untuk umum.

“Prinsip ini diatur dalam Pasal 153 ayat (3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. Untuk keperluan pemeriksaan hakim ketua sidang membuka sidang dan menyatakan terbuka untuk umum kecuali dalam perkara mengenai kesusilaan atau terdakwanya anak-anak,” jelas Azhar.

Sementara untuk pengecualian Sidang Terbuka untuk Umum atau sidang dinyatakan tertutup untuk umum, lanjut dia, pada umumnya adalah untuk kasus-kasus dalam ranah hukum keluarga, pidana anak, kasus kesusilaan dan beberapa kasus tertentu sebagaimana diatur dalam beberapa ketentuan yang diatur dalam perundang-undangan, yakni UU No 5 tahun 1986 tentang PTUN pd pasal 70 ayat 2 yang berbunyi “Apabila Majelis Hakim memandang bahwa sengketa yang disidangkan menyangkut ketertiban umum atau keselamatan negara, persidangan dapat dinyatakan tertutup untuk umum”.

Ia menyebut, sidang tertutup juga diatur dalam UU No 7 tahun 1989 tentang peradilan Agama pada pasal 80 ayat 2 yang berbunyi “Pemeriksaan gugatan perceraian dilakukan dalam sidang tertutup”.

Serta diatur pada Pasal 54 UU No 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA), dimana disebutkan “Hakim memeriksa perkara Anak dalam sidang yang dinyatakan tertutup untuk umum, kecuali pembacaan putusan”.

“Jadi, semua persidangan pada dasarnya terbuka untuk umum, kecuali diatur lain oleh undang-undang. Meski demikian, untuk semua proses persidangan baik yang terbuka maupun tertutup untuk umum berlaku ketentuan Pasal 195 KUHAP yang menyatakan bahwa semua putusan pengadilan hanya sah dan mempunyai kekuatan hukum apabila diucapkan di sidang terbuka untuk umum,” terangnya.

“Mengejutkan sekali jika ada seorang public figure yang karena diduga melakukan perbuatan melanggar hukum, keberatan diliput untuk diambil gambar visual oleh media di acara persidangan di wilayahnya. Jika larangan terhadap pers untuk meliput sidang pada pengadilan yang dinyatakan terbuka untuk umum bila sampai dilaksanakan adalah batal demi hukum karena ia merupakan pelanggaran terhadap Undang-Undang (UU) Pers Nomor 40 Tahun 1999 Pasal 4 Ayat (1), (2) dan (3); Pasal 5 Ayat (1); Pasal 6 Ayat a, b, c, d, dan e; Pasal 8, dan Pasal 18 Ayat (1). Karena setiap tindakan apa pun alasan yang sifatnya melarang pers melakukan kegiatannya mencari, mengumpulkan, dan menyebarluaskan berita merupakan sensor atas pers. Sedangkan Pasal 4 Ayat (2) berbunyi, “Terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan, atau pelarangan penyiaran,” tegasnya.

Dikatakannya, UU itu juga menjamin kebebasan pers seperti tersebut dalam Ayat (3); “Pers nasional mempunyai hak mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi”.

“Bila sampai terjadi (pelarangan liputan oleh media, red), maka telah menghalangi pers melakukan kewajibannya seperti tersebut dalam Pasal 5 Ayat (1); ‘Pers nasional berkewajiban memberitakan peristiwa dan opini’. Ia juga melanggar Pasal 6 (a) tentang peranan pers ‘memenuhi hak masyarkat untuk mengetahui’. Poin (b); ‘Mendorong terwujudnya supremasi hukum’, poin (c); ‘mengembangkan pendapat umum bedasarkan informasi’ dan poin (d); ‘melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum,” pungkasnya. (ardi)

Lihat Selengkapnya

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button