Ragam

Haji Wada’ dan Pesan Rasulullah Muhammad Saw

Oleh: Indra Syarif, SP.d. *)

Sebagaimana dari hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dengan Sanad dari Jabir Radhiyallahu ‘anhu. Memberikan keterangan bahwa selama sembilan tahun tinggal di Madinah. Nabi Saw belum melaksanakan haji. Barulah di tahun selanjutnya, yakni tahun ke sepuluh, Rasulullah Saw mengabarkan keinginannya melaksanakan ibadah haji. Respon umat Islam pada saat itu sangat antusias sampai datang berduyun-duyun ke Madinah untuk beribadah haji bersama Rasulullah. Peristiwa ini kemudian dikenal oleh umat muslim sebagai momentum penutup dan perpisahan Rasulullah Saw dengan sahabat dan seluruh umatnya pada saat itu. Peristiwa yang begitu menyayat nurani para sahabat, dan membuat sedih seluruh umat Islam. Bagaimana tidak. Rasulullah Saw yang membimbing mereka telah memberikan sinyal perpisahan itu. Sampai akhirnya Allah SWT memanggil kekasih-Nya pasca momentum tersebut.

Pada peristiwa tersebut. Sebagaimana kapasitas beliau sebagai Rasul. Tentu semua yang dilakukannya tidak tanpa pelajaran (‘Ibrah) kepada seluruh umat manusia khususnya bagi umat beliau. Dan yang pastinya juga. Pesan tersebut adalah pesan yang kontekstual sepanjang zaman.

Haji yang merupakan ritual ibadah kala itu adalah simbol kehambaan dan upaya men”suci”kan demi kedekatan diri kepada Allah Swt. Saat itu, Rasulullah Saw mengajarkan kepada umatnya proses ibadah haji yang sebelumnya dihapusnya tradisi-tradisi jahiliah yang biasa dilakukan pada musim-musim haji. Sekaligus gerakan simbol penyucian yakni penghancuran berhala yang ada di Baitullah. Haji berdasarkan perintah Allah Swt merupakan warisan Abul Anbiya’ Nabi Ibrahim AS. Namun rentang waktu yang sangat jauh menjadi peluang berbagai penyimpangan jahiliah secara perlahan bersemi kembali. Sehingga berhala, tradisi batil, berbagai bentuk kemusyrikan lainnya dilakukan kembali. Karena itu Rasulullah Saw kala itu secara langsung mengumumkan kepada umatnya di setiap penjuru untuk melaksanakan ibadah haji. Rasulullah Saw memperlihatkan praktek ibadah haji secara utuh sebagai proses edukasi serta bekal kepada generasi Islam selanjutnya untuk menjaga esensi kesucian dan ketauhidan kepada Allah Swt. Akhirnya umat Islam bisa melaksanakan ibadah haji secara benar dan tidak ternodai dari sisa-sisa tradisi jahiliah tersebut.

Namun, sebagaimana disinggung sebelumnya, satu hal yang menjadi perhatian para sahabat adalah perintah ini mengandung sinyal perpisahan antara mereka dengan Rasulullah Saw. Ada isyarat kepada segenap umatnya bahwa tugas Rasulullah Muhammad Saw di bumi telah selesai. Semua pihak memahami hal tersebut. Karena itulah Rasulullah Saw mengundang umatnya untuk hadir di momentum sakral itu demi bertemu dan menyampaikan pesan terakhir yang berkesan dan menyentuh hati para sahabat dan umat Islam. Sebagaimana pesan seorang Rasul. Tentu pesan tersebut tidak hanya pada konteks masa itu, namun ini berlaku kepada seluruh umatnya sampai akhir zaman. Rasulullah Muhammad Saw akan menyampaikan sebuah khutbah yang dikenal sebagai khutbah Wada’. Layaknya pidato perpindahan seorang pemimpin yang dicintai kaumnya. Kandungan pidatonya (khutbah) Rasulullah Saw singkat tetapi padat, ringan tetapi sarat ungkapan perasaan dan getaran cintanya kepada umatnya.

Gema suara Rasulullah Muhammad Saw di Padang Arafah kala itu begitu indah. Terdengar jelas kepada ribuan umat Islam yang hadir kala itu, baik yang telah lama memeluk Islam maupun yang baru (mu’allaf). Sekali lagi bukan hanya kepada mereka yang hadir kala itu. Namun kepada seluruh generasi umatnya di kemudian hari. Tak terkecuali hari ini dan yang akan datang. Sebagaimana arti dari firman-Nya : “Sesungguhnya, Kami menolong Rasul-Rasul Kami dan orang-orang yang beriman dalam kehidupan dunia dan pada hari berdirinya saksi-saksi (hari kiamat).” (QS Al-Mu’min (40): 51).

Agungnya khutbah beliau, seolah-olah khutbah beliau hasil membaca realitas berbagai bentuk penyelewengan yang akan dilakukan beberapa kaum (kelompok) dari umatnya sepanjang zaman. Satu pesan di bagian akhir khutbah beliau, “kalian tahu bahwa setiap Muslim adalah saudara bagi Muslim lainnya dan semua kaum muslimin adalah bersaudara. Seseorang tidak dibenarkan mengambil sesuatu dari saudaranya kecuali yang telah diberikan kepadanya dengan senang hati. Karena itu, janganlah kalian menganiaya diri sendiri. Ya Allah, sudahkah kusampaikan?”

Menurut Dr. Muhammad Sa’id Ramadhan Al-Buthy dalam karyanya Sirah Nabawiyah. Tema-tema khutbah Rasulullah sebagai intisari pesan beliau kepada kita semua antara lain, pertama, mengenai ukhuwah, persaudaraan dan persatuan umat beliau adalah kemutlakan ketika menginginkan kehidupan bersama yang damai dan penuh kebaikan. Kedua, tema kedua ini bukan sekedar taushiah, melainkan qarar (keputusan) yang diumumkan kepada semua umatnya. Qarar itu berbunyi, “Sesungguhnya, segala macam riba tidak boleh berlaku lagi. Tindakan menurut balas atas kematian seseorang sebagaimana yang berlaku di masa Jahiliah juga tidak boleh berlaku lagi. Riba jahiliah tidak boleh berlaku lagi.” Makna yang terkandung dalam qarar ini adalah, segala hal yang pernah dipraktekkan oleh Jahiliah, di antaranya tradisi fanatisme kekabilahan (ego kelompok), perbedaan-perbedaan yang didasarkan kepada bahasa, keturunan, dan ras, atau penghambaan seseorang terhadap sesamanya dengan berbagai belenggu kezaliman dan pemerasan (riba), dinyatakan tidak berlaku lagi. Ketiga, wasiat agar berlaku baik terhadap kaum wanita. Menghapus segala bentuk pelecehan terhadap wanita dan memperkokoh jaminan hak asasinya (kesetaraan) serta tak jauh lebih penting yakni menjaga kehormatannya sebagai manusia. Keempat, meletakkan seluruh problematika manusia di hadapan dua sumber nilai. Kitabullah Al-Qur’an dan Sunnah Rasul-Nya. Konteks zaman bagaimana pun wajahnya. Perkembangan peradaban bagaimana pun tidak boleh menentang kedua sumber nilai kehidupan tersebut. Karena itu memuliakan dan menjaga posisi serta sentralisasi peran dan fungsi pewaris nabi (Ulama) adalah tugas umat Islam yang harus senantiasa tumbuh seiring tumbuh berkembangnya kecanggihan (baca: IT/medsos) zaman. Tema kelima, memelihara hubungan antara pemimpin (penguasa) atau kepala negara (presiden) dan rakyatnya. Hubungan ketaatan tanpa memandang satu sama lain keturunan, warna kulit, bentuk lahiriah nya selama tetap menjalankan hukum Allah dan Sunnah Rasul-Nya serta menjalankan tugas dan tanggung jawab kepemimpinannya dengan amanah.

“Pada hari ini Kusempurnakan untuk kamu agamamu dan telah Kucukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Kuridhai Islam itu jadi agama bagimu.” (QS Al-Maidah (5): 3). Dari peristiwa haji Wada’. Umat Islam sejatinya akan mengambil ‘Ibra di dalam peristiwa tersebut. Pesan-pesan Rasulullah Saw dalam khutbahnya, pembacaan masalah Beliau, amalan dan hakikat dari ritual ibadah haji, pesan-pesan dalam khutbah Beliau, akan selalu kontekstual dan relevan dengan kehidupan umat sepanjang zaman. Hari ini semoga kita dapat belajar, mengambil hikmah dan merenungkan pesan-pesan dari ritual ibadah Haji yang telah dituntunkan oleh Rasul-Nya yang tercinta.Wallahu A’lam bi Showab …

*)Pembina Pondok Pesantren Nurul Ulum As’adiyah Pammana

Lihat Selengkapnya

Related Articles

Back to top button