Opini

IAKN Kupang: Delapan Belas Tahun Menumbuhkan Nilai, Merawat Kemanusiaan

BeritaNasional.ID–OPINI – Delapan belas tahun perjalanan Institut Agama Kristen Negeri (IAKN) Kupang adalah kisah tentang bagaimana sebuah lembaga pendidikan kecil di ujung timur Indonesia menanamkan nilai, menumbuhkan kesadaran, dan merawat kemanusiaan. Ia tidak hanya tumbuh sebagai institusi akademik, tetapi juga sebagai ruang spiritual yang memadukan iman, ilmu, dan kebudayaan dalam satu denyut kehidupan.

Sejak awal berdirinya, IAKN Kupang menolak menjadi sekadar “pabrik gelar.” Ia memilih menjadi kebun kehidupan, tempat di mana setiap individu disemai dalam nilai dan tumbuh dalam makna. Sejalan dengan gagasan Paulo Freire (1970) dalam Pedagogy of the Oppressed—bahwa pendidikan sejati tidak mengubah dunia secara langsung, melainkan mengubah manusia yang kemudian mengubah dunia—IAKN Kupang telah menjadikan pendidikan sebagai proses pembebasan dan pemanusiaan.

Dalam ruang akademiknya, pengetahuan tidak berhenti di kepala, tetapi bergerak ke hati dan tangan. Teologi di kampus ini tidak hanya dibaca, tetapi dihidupi. Ia menyapa realitas sosial, mendengar jeritan yang terpinggirkan, dan hadir dalam bentuk pelayanan yang penuh kasih. Inilah wajah pendidikan yang bukan sekadar mencerdaskan, tetapi juga menyembuhkan.

Lebih dari sekadar lembaga teologis, IAKN Kupang telah menjadi ekosistem nilai. Di dalamnya, empat pilar utama terus bertumbuh dan memperkuat akar spiritualitas akademik.

Pertama, penguatan karakter ilmiah yang berlandaskan integritas. Di tengah arus pragmatisme akademik, kampus ini tetap memilih jalan panjang kejujuran dan ketekunan. Mahasiswa didorong bukan hanya untuk berpikir cerdas, tetapi juga berpikir benar—berani berbeda, tanpa kehilangan empati.

Kedua, peneguhan kampus sebagai ruang sosio-kultural yang menghargai keberagaman. Sejalan dengan pesan Ki Hadjar Dewantara bahwa pendidikan harus menuntun kekuatan kodrat manusia menuju kebahagiaan tertinggi, IAKN Kupang memelihara budaya dialog lintas iman dan suku, menjadikan perbedaan bukan ancaman, melainkan sumber kebijaksanaan.

Ketiga, transformasi digital yang berjiwa humanis. Teknologi dan kecerdasan buatan (AI) tidak dihadirkan untuk menggantikan peran manusia, melainkan memperkaya proses pembelajaran. Ruang kelas cerdas, laboratorium microteaching, dan studio kreatif menjadi simbol bahwa teologi pun mampu berinovasi tanpa kehilangan rohnya.

Keempat, kolaborasi yang berakar pada solidaritas. IAKN Kupang memperluas jejaring akademik, memperkuat kerja sama lintas disiplin dan lintas iman, serta membangun gerakan mentality building untuk meneguhkan nilai-nilai kemanusiaan yang menolak kekerasan dan diskriminasi.

Namun yang paling membedakan IAKN Kupang dari banyak lembaga lain adalah komitmennya terhadap inklusivitas yang hidup—bukan sebatas wacana, melainkan praktik nyata. Kisah Marta Derlianti Atonis, mahasiswi PKAUD dengan keterbatasan fisik yang berhasil menamatkan studinya pada Oktober 2025, menjadi bukti konkret. Marta adalah cermin dari semangat humanistik Carl Rogers, bahwa pendidikan sejati terjadi ketika seseorang belajar untuk berubah dan berkembang menjadi dirinya yang utuh.

Dalam perjalanan hidupnya, Marta membuktikan bahwa keterbatasan bukan penghalang untuk bertumbuh. Dengan dukungan keluarga, dosen, dan komunitas kampus, ia menjadikan pendidikan sebagai proses penyembuhan diri dan pemaknaan hidup. Di sinilah IAKN Kupang menunjukkan bahwa pendidikan inklusif bukan sekadar fasilitas bagi mereka yang berbeda, tetapi sikap kemanusiaan yang menghormati martabat setiap pribadi.

Perjalanan IAKN Kupang menuju usia kedewasaan ini juga menjadi refleksi spiritual: bahwa transformasi sejati tidak hanya tampak dalam pembangunan fisik, tetapi dalam kedalaman nilai yang ditanamkan dan dihidupi bersama. Seperti ditulis Martin Luther King Jr., “Faith is taking the first step even when you don’t see the whole staircase.”

Langkah-langkah kecil yang ditempuh IAKN Kupang selama 18 tahun ini adalah tangga menuju masa depan pendidikan teologis yang lebih inklusif, inovatif, dan berkeadaban. Transformasi kelembagaan menuju Universitas Agama Kristen Negeri Kupang bukan sekadar perubahan status administratif, tetapi panggilan untuk memperluas cakrawala pelayanan—menjadi universitas yang tidak hanya besar dalam struktur, tetapi dalam nilai dan makna.

Pendidikan, pada akhirnya, bukan tentang membangun nama, tetapi menanam kehidupan. IAKN Kupang telah memilih jalan itu—jalan yang menanam dengan kasih, menumbuh dengan kesetiaan, dan menuai dengan pengharapan. Sebab dari tanah nilai itulah, peradaban yang memanusiakan akan terus bertumbuh. Dari Kupang untuk Indonesia.*

Alberto

Lihat Selengkapnya

Related Articles

Back to top button