Menggali Nilai Antikorupsi di Akar Budaya Pappaseng Suku Bugis
BeritaNasional.ID, Jakarta – Pemberantasan korupsi di Indonesia bagai gulma yang belum mati akarnya. Bahkan, masih tumbuh subur, dan sampai sekarang belum ada obat mujarabnya. Jangankan ingin memberantas korupsi di Indonesia, pencegahan korupsi di tingkat provinsi saja sangat sulit adanya. Salah satunya di Provinsi Sulawesi Selatan (Sulsel).
Padahal Sulsel dikenal memiliki sejumlah falsafah maupun petuah hidup yang sangat dipegang teguh. Salah satunya nilai “Siri Na Pacce” (rasa malu dan harga diri, red). Lagipula, jika koruptor diminta memilih antara rasa malu dan harga diri atau harta dan gongli, dengan semangat sang korup akan menjawab harta dan gongli.
Memang miris, berdasarkan data dari Komisi Pemberantasan Korupsi Republik Indonesia (KPK RI) pada bulan Juli tahun 2024, rupanya terdapat nama-nama para putra pemangku jabatan di Sulsel yang terjerat kasus korupsi dan telah resmi dinyatakan bersalah oleh majelis yang mengadili.
Sebut saja Adi Wibowo (Kepala Divisi PT Waskita Karya BUMN), Agung Sucipto (Direktur PT Agung Perdana Bulukumba), M. Nurdin Abdullah (Gubernur Sulsel), Edy Rahmat (Sekretaris Dinas Pekerjaan Umum dan Tata Ruang Provinsi Sulsel), Gilang Gumilar, Wahid Ikhsan, Wahyuddin, Yohanes Binur Haryanto, Manik, dan Andi Sonny (Pegawai Dinas Pekerjaan Umum dan Tata Ruang).
Berbicara masalah ilmu dan wawasan, maka nama-nama tersebut tidak diragukan lagi kapasitasnya. Bahkan, di antara nama-nama itu, terdapat sosok yang pernah mendapatkan penghargaan antikorupsi dari KPK RI. Bukan main, sungguh pencapaian yang luar biasa.
Namun, yang kini menjadi pertanyaan adalah, bagaimana bisa orang yang menggaungkan pemberantasan korupsi justru tersangkut kasus korupsi? Kok bisa pemimpin yang berpijak di tanah yang menjunjung tinggi nilai harga diri dan rasa malu malah menjadi seorang koruptor?
Dengan pertanyaan yang begitu berat menggantung di akal dan nurani, maka penulis mencari jawabannya dari sudut pandang budaya suku Bugis yakni Pappaseng. Mutmainnah dalam bukunya yang berjudul “Pappaseng Tomatoa dalam Masyarakat Bugis Karakter Pendukung Bagi Manusia” mengartikan pappaseng sebagai suatu pesan yang disampaikan secara lisan oleh orang-orang bijak dalam masyarakat Bugis terhadap raja yang berkuasa atau orang tua terhadap anak-anaknya yang bertujuan membentuk karakter yang baik. Pappaseng dapat disampaikan secara langsung, dapat berupa kata kiasan atau sindiran untuk mengubah perilaku seseorang.
Sementara itu, Andi Tenri Liweng, salah satu masyarakat Bugis yang menerapkan nilai pappaseng dalam kehidupan sehari-hari memaknai pappaseng sebagai pesan yang harus dipegang teguh dan dipatuhi agar hidup senantiasa mendapat rida dari sang pencipta.
Menurutnya, pappaseng mengakar pada nilai moralitas dan etika terkait dengan hubungan sesama manusia maupun hubungan manusia dengan alam sehingga pappaseng patut dijadikan sebagai salah satu penuntun dalam menjalani kehidupan sehari-hari.
“Pappaseng itu kata dasarnya paseng, kalau Bahasa Indonesianya ya berarti “pesan”. Nah, pesan leluhur inilah yang diwariskan secara turun-temurun untuk dipegang teguh dan dipatuhi agar hidup kita mendapat rida Allah dan dijauhkan dari segala musibah,” ujarnya saat diwawancarai melalui telepon pada Rabu, (24/07/2024).
Dirinya juga menambahkan seseorang yang mengindahkan pappaseng di setiap tingkah lakunya akan selalu terjaga perilakunya dan disegani oleh sekitarnya. Sebaliknya, seseorang yang mengabaikan pappaseng akan mendapatkan ganjaran, berupa jatuhnya status sosial sehingga akan sulit untuk menyatu dengan masyarakat maupun alam sekitarnya.
“Lihat sekarang, justru pejabat di Sulsel yang kedapatan korupsi. Fakta itu membuktikan bahwa mereka sudah lepas dari nilai pappaseng,” ujar mantan jurnalis media cetak Pembela ini.
Sementara itu, Pemerhati Budaya di Kota Sengkang, Kabupaten Wajo, Provinsi Sulsel, Andi Rahmat Munawar menjelaskan, untuk mencegah penyimpangan moralitas, uatamanya korupsi maka nilai yang terkandung dalam pappaseng harus dihidupkan kembali.
Nilai yang dimaksud adalah, pertama, nilai acca atau kecakapan. Nilai tersebut yang mencakup aspek kecerdasan. Nilai kecakapan membuat seseorang mampu berpikir secara konseptual dan berpikir logis. Yakni pemahaman terhadap orang yang didasarkan pada penilaian objektif.
Kedua, nilai lempu atau lurus (kejujuran, red) merupakan nilai yang mengacu pada perilaku prososial. Nilai ini menciptakan sifat yang dapat dipercaya, rendah hati, dan menghormati.
Ketiga, nilai warani atau berani merupakan keteguhan tanpa rasa ragu atau gentar untuk menegakkan kebenaran dalam kehidupan sehari-hari. Nilai ini melahirkan tindakan tegas, inisiatif, dan percaya diri.
Lebih detail lagi, lelaki kelahiran Maddukelleng ini, menjelaskan bahwa ada beberapa pappaseng Bugis yang dapat dipedomani dalam membentuk karakter antikorupsi yakni:
- “Na iya riaseng e lempu, teng kacinna-cinnai, teng naeloreng maja’ padanna rupa tau, na metau ri dewata seuwae.”
Artinya:
Adapun yang dimaksud dengan kelurusan (kejujuran, red) adalah suatu sifat yang tidak menginginkan segala sesuatu secara berlebihan (bukan haknya, red), tidak menginginkan keburukan melanda orang lain, dan memiliki rasa takut kepada Tuhan yang maha Esa.
- “Engka ennengngi sipa makanja ripaddibola riwatakkale: lempu, amalakee, laboe, sabbarae, tobae, sirie.”
Artinya:
Ada enam sifat yang baik untuk dimiliki, yakni sikap jujur, amal perbuatan, jiwa sosial, kesabaran, taubat kepada Tuhan, serta memiliki rasa malu.
- “Cirinnai sirimu nasaba sirie mitu rionrong rilino. Narekko tedddengngi sirimu, wajo-wajo mitu monro, malebbiI mualai amatengnge. Naiya tau dee sirina, madduppa taumi, de lainna olokoloe.”
Artinya:
Jaga rasa malumu (kehormatanmu, red) karena rasa malulah yang selalu dijaga di dunia. Jika rasa malu telah hilang, yang tertinggal hanyalah bayangan saja, akan lebih baik jika tidak hidup. Karena orang yang tidak memiliki rasa malu, tidak ubahnya seperti hewan.
Penulis buku berjudul “To Ugi” itu melanjutkan, dalam rangka membentuk karakter antikorupsi maka pappaseng merupakan obat yang mujarab karena mampu menegakkan norma-norma dalam masyarakat sehingga hidup akan lebih tenang, tentram, dan damai.
Baginya, pappaseng yang telah ia jabarkan merupakan pengingat bagi hamba Tuhan serta para pemegang jabatan untuk menempatkan harga diri dan rasa malu di atas segala-galanya.
“Begitu ketatnya orang Bugis menjaga siri. Pada masa lampau, pejabat yang ketahuan makkoti’ (menukarkan pecahan uang sehingga tidak sesuai dengan pecahan uang yang diamanahkan, red) saja langsung memilih mengundurkan diri dari jabatannya karena malu. Berbeda dengan pejabat di jaman sekarang,” tutur lelaki yang aktif bergelut di dunia literasi ini saat ditemui pada Kamis (4/07/2024).
Senada dengan Andi Rahmat Munawar, peraih gelar kehormatan budayawan muda Sulsel, Abdi Mahesa, mengungkapkan, nilai pappaseng membentuk suatu batasan dan pengendali atau kontrol diri kepada masyarakat, utamanya masyarakat suku Bugis sebisa mungkin menjauhkan diri dari hal-hal yang menyimpang, khususnya korupsi yang sangat mencederai integritas seorang individu. Salah satu wujud pembatasan itu dengan adanya nilai siri dan nilai lempu yang menjadi suatu ideologi dan juga pendalaman pemikiran.
Pappasang menurutnya sangat penting menjadi salah satu konten untuk mencegah tindak pidana korupsi karena setiap individu bangsa ini pasti memiliki budaya dan adat istiadat yang membentuk karakter. Sehingga menggunakan pendekatan kultural yang secara intrinsik masuk di dalam diri seseorang.
“Salah satu bentuk kebenaran yang dianut bangsa ini adalah kebenaran kultural atau kebenaran sosiologis sehingga ketika kebenaran itu ditanamkan, saya yakini bahwa itu akan mempengaruhi orang-orang untuk menghindarkan diri dari korupsi,” ungkapnya saat ditemui di salah satu hotel di Kuningan, Setiabudi, Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Kamis (04/07/2024).
Pemuda kelahiran Parepare, 18 Mei 1998 yang memiliki perhatian khusus terhadap pelestarian kearifan budaya ini juga mengungkapkan penyebab lunturnya pappaseng adalah pengaruh konsumsi ideologi liberal dan sekuler sehingga kebenaran yang tersimpan di dalam budaya semakin tenggelam nilainya.
Budaya luhur pun semakin tergerus dikarenkan sosialisasinya yang kurang dan bentuk internalisasi dalam lingkungan keluarga tidak pas. Hal itu mempengaruhi para pejabat sekarang tidak lagi menjadikan budaya pappaseng sebagai pengontrol atau pagar diri mereka.
Abdi juga menuturkan, pergeseran nilai budaya pappaseng secara meluas dan mendalam yang dialami oleh masyarakat sekarang ini adalah karena kurangnya bentuk transmisi baik di lingkungan keluarga maupun di lingkungan pendidikan formal. Hal-hal yang menyangkut tentang muatan lokal, adat, etika dan juga moral tidak ditanamkan secara kuat. Masyarakat sekarang pun lebih cenderung egaliter sehingga patron tradisional telah hilang dan beralih ke patron ekonomi serta politik konvensional.
“Jadi ada pergeseran dimana status sosial masyarakat dinilai dari properti dari fasilitas hidup yang mereka miliki. Itu jadi pemicu korupsi,” tutur pemuda yang melanjutkan kuliah magisternya di Universitas Indonesia ini.
Perihal solusi untuk menanamkan kembali nilai pappaseng suku Bugis guna membentuk budaya antikorupsi, Abdi menyuguhkan gagasan untuk mengawinkan pappaseng dengan teknologi. Secara spesifik dirinya ingin mensosialisasikan pappaseng menggunakan platform modern. Menurutnya, dengan memiliki jangkauan yang luas serta model kreativitas atau tampilan yang variatif hal itu dapat membuat pappaseng dipahami dan dimaknai oleh masyarakat. Selain itu, baginya sangat penting untuk menyelaraskan pappaseng dengan agama karena hubungan yang harmonis antara agama dan budaya memiliki fungsi yang sangat kuat untuk meningkatkan kualitas individu maupun masyarakat.
“Saat khutbah salat Jumat atau saat pidato, sangat penting untuk seorang Khatib mensosialisasikan (pappaseng, red), menyampaikan dalam dakwah-dakwahnya sehingga para jamaah atau para pendengarnya bisa dengan mudah mencerna dan menghubungkan hubungan yang baik antara agama dan budaya,” ujarnya.
Abdi kemudian menyimpulkan bahwa korupsi yang terjadi di Indonesia itu karena hilangnya kesadaran terhadap nilai harga diri dan rasa malu. Masyarakat hidup di lingkungan yang lebih mementingkan materialisme daripada kejujuran sehingga koruptor tercipta untuk mempertahankan atau mencapai kekuasaan yang lebih tinggi. Dengan kondisi demikian, dirinya berharap pappaseng bukan hanya menjadi jargon tetapi diterapkan di lingkungan pendidikan dan juga institusi keagamaan karna hal tersebut akan sangat membantu dan sangat krusial.
Setelah menggali budaya pappaseng suku Bugis, kini penulis menemukan nilai antikorupsi yang memang telah mengakar kuat jauh sebelum Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan instansi KPK RI dikenal oleh masyarakat. Ternyata, obat mujarab korupsi adalah menanamkan moralitas yang terdiri dari acca (kepintaran), lempu (kejujuran), siri (harga diri) dan warani (keberanian) yang menyatu di dalam budaya pappaseng suku Bugis. Dari sini, penulis menarik kesimpulan bahwa pappaseng harus dihayati dan dipedomani oleh masyarakat, utamanya para pemangku jabatan agar selalu terpelihara dari jeratan korupsi.
Penulis: Andi Besse Sitti Fatimah