NasionalOpini

Persekongkolan Antara Penyalahguna dan Pengedar Dalam Hukum Narkotika

Oleh DR. Anang Iskandar, ahli hukum narkotika mantan Ka. BNN

Tidak ada unsur sekongkol, turut serta atau perbantuan antara pelaku kejahatan penyalahgunaan dan pelaku kejahatan peredaran gelap narkotika.
Hukum narkotika yang berlaku secara global menyatakan, bahwa peredaran gelap narkotika dilarang berdasarkan yuridiksi masing-masing negara.

Masuk yuridiksi hukum apapun, bentuk hukuman bagi pelaku kejahatan peredaran narkotika berupa hukuman badan atau pengekangan kebebasan. Sedangkan khusus penyalahguna diberikan hukuman alternatif/pengganti berupa rehabilitasi.

Hukuman alternatif diberlakukan bagi penyalahguna narkotika karena secara victimologi, penyalahguna adalah korban kejahatan peredaran gelap narkotika dan secara medis penyalahguna adalah penderita sakit adiksi dan gangguan mental kejiwaan yang hanya bisa sembuh/pulih bila direhabilitasi.

Di Indonesia, masalah penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika masuk dalam yuridiksi hukum pidana, dimana peraturan perperundang-undangannya mengintegrasikan pendekatan hukum pidana dan pendekatan hukum kesehatan sebagai bagian yang tidak terpisahkan.

UU no 35 tahun 2009 tentang narkotika yang berlaku saat ini, penyalahguna dan pengedar narkotika diancam secara pidana.

Pengedar narkotika dinyatakan sebagai pelaku kejahatan atas kepemilikan, penguasaan narkotika diatur dalam pasal 111, 112 dan 113. Sedangkan pelaku kejahatan kepemilikan, penguasaan “untuk dikonsumsi” dinyatakan sebagai penyalahguna bagi diri sendiri diatur secara khusus dalam pasal 127/1.

Kepemilikan narkotika “untuk dikonsumsi” tersebut menjadi pembeda antara penyalahguna dan pengedar. Kepemilikan narkotika untuk kepentingan apapun, termasuk untuk dijual guna mendapatkan keuntungan masuk katagori pasal 111,112, dan 113 sedangkan kepemilikan narkotika untuk dikonsumsi masuk kategori pasal 127/1.

Kriteria jumlah gramasi kepemilikan untuk dikonsumsi tidak diatur dalam UU narkotika, tetapi diatur dalam aturan pelaksanaan UU yaitu Surat Edaran MA, Surat Edaran JA dan Surat Telegram atau Peraturan Kapolri dimana jumlah kepemilikannya tidak melebihi satu hari pemakaian.

Bila kepemilikan narkotikanya terbatas, BB nya kurang dari 1 gram untuk jenis sabu, tujuan kepemilikannya untuk dijual maka masuk kriteria pasal 112 sedangkan bila tujuannya untuk dikonsumsi maka masuk kriteria pasal 127/1 UU no 35 tahun 2009 tentang narkotika.

Itu sebabnya kejahatan kepemilikan narkotika bagi diri sendiri yang diatur dalam pasal 127/1 diancam dengan pidana minimum, “tidak dapat dituntut” karena bersekongkol dengan pengedar dan didakwa secara komulatif dengan pasal 111, 112,113 yang diancam pidana minimum; atau penyalahguna “tidak dapat dituntut” sebagai pelaku turut serta atau membantu pengedar dan didakwa secara subsidiaritas dengan pengedar seperti yang selama ini lumrah terjadi.

Penyalahguna yang “tidak sengaja” menggunakan narkotika karena dibujuk, dirayu, ditipu, diperdaya maupun dipaksa menggunakan narkotika disebut korban penyalahgunaan narkotika sedangkan penyalahguna yang “sengaja” membeli narkotika untuk dikonsumsi menunjukan bahwa penyalahguna adalah pecandu penderita sakit ketergantungan akan narkotika.

Unsur kesengajaan dalam membeli narkotika dipasar gelap narkotika justru menunjukan penyalahguna adalah penderita sakit adiksi kecanduan narkotika, yang pikirannya terfokus pada mengkonsumsi narkotika, kalau tidak mendapatkan narkotika untuk dikonsumsi maka akan mengalami “sakau”.

Teknis penyidikan, proses penuntutan dan pengadilan terhadap penyalahguna diperlukan keterangan ahli untuk mengetahui keadaan ketergantungannya, apakah penyalahguna tergolong korban penyalahgunaan narkotika atau pecandu.

Proses peradilan perkara penyalahgunaaan narkotika tanpa keterangan ahli yang menyatakan penyalahguna sebagai korban penyalahgunaan narkotika atau pecandu adalah proses peradilan yang tidak fair.

Karena penyalahguna baik tergolong korban penyalahgunaan narkotika atau pecandu, berdasarkan pasal 54 UU no 35 tahun 2009 tentang narkotika ditentukan “wajib menjalani rehabilitasi”.

Kewajiban menjalani rehabilitasi melalui wajib lapor pecandu (pasal 55) dan melalui putusan hakim (pasal 103).

Alasan penyalahguna, baik sebagai korban penyalahgunaan narkotika atau pecandu wajib menjalani rehabilitasi.

Karena menurut ahli adiksi mereka membutuhkan narkotika untuk dikonsumsi, niatnya agar dapat meredakan sakit yang dideritanya, bukan merupakan gaya hidup, bukan juga karena kebanyakan uang lantas uangnya untuk beli narkotika.

Berdasarkan penjelasan pasal 54 UU no 35/2009 tentang narkotika, awal menggunakan narkotika bukan atas dasar kesengajaan tetapi diawali dengan ketidak-sengajaan menjadi penyalahgunaan narkotika karena dibujuk, ditipu, dirayu, diperdaya atau dipaksa menggunakan narkotika.

Jadi penyalahguna itu awalnya adalah korban penyalahgunaan narkotika (pasal 54) yang tidak segera mendapatkan akses rehabilitasi, kemudian menjadi penyalahguna (pasal 127/1) apabila tidak segera direhabilitasi juga maka penyalahguna akan berkarier sebagai pecandu.

Itu sebabnya masarakat harus memahami dimensi penyalahgunaan narkotika bahwa sebelum menjadi penyalah guna, mereka menjadi korban penyalahgunaan narkotika terlebih dulu, kemudian baru menjadi penyalahguna dan selanjutnya berkarier sebagai pecandu.

Penerapan Hukumnya

Dalam pasal 4 cd UU no 35/2009 tentang narkotika, tujuan penegakan hukum perkara narkotika adalah memberantas peredaran gelap narkotika dan prekursor narkotika; dan menjamin penyalahguna mendapatkan upaya rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial bagi penyalahguna dan pecandu.

Berdasarkan tujuan penegakan hukum tersebut, “tidak tepat” kalau penyalahguna disidik dan dituntut secara subsidiaritas maupun komulatif dengan pengedar sebagai dalil dilakukan penahanan dan dijatuhi hukuman penjara seperti selama ini lumrah terjadi.

Praktik menahan dan memenjarakan penyalahguna narkotika tersebut melanggar hukum pidana narkotika, merugikan masarakat, merugikan keuangan negara karena pemerintah menanggung biaya penegakan hukum dan biaya rehabilitasi.

Serta menyebabkan meningkatnya masalah penyalahgunaan narkotika, yang dapat “mengundang pengedar” dari luar negeri untuk memenuhi kebutuhan penyalah guna narkotika didalam negeri.

Apa alasan penyalahguna yang tidak punya niat jahat, penderita sakit adiksi kecanduan narkotika dituntut secara subsidiaritas atau komulatif dengan pengedar dan dijatuhi hukuman penjara ?

Kenapa tidak didorong untuk melakukan wajib lapor agar status pidananya gugur ?

Kemudian dengan status tidak dituntut pidana bila penyalahguna relapse penyalahguna diperlakukan sebagai pasien, wajib membayar sendiri proses rehabilitasinya.

Penjatuhan hukuman penjara justru menimbulkan banyak kerugian. Diantaranya menimbulkan masalah anomali lapas, tidak saja terjadi over kapasitas lapas, terjadi juga penyalahgunaan dan peredaran narkotika di dalam lapas serta terjadi pengulangan kembali perbuatannya setelah keluar dari lapas.

Seharusnya perlakuan terhadap penyalahguna sesuai dengan pasal 55 UU no 35 tahun 2009 tentang narkotika, dimana penyalahguna diwajibkan melakukan wajib lapor ke rumah sakit atau lembaga rehabilitasi yang ditunjuk agar mendapatkan perawatan karena penyalahguna itu penderita sakit kecanduan narkotika meskipun diancam pidana penjara (pasal 127/1).

Melapornya ke rumah sakit atau lembaga rehabilitasi yang ditunjuk Menkes. Setelah melapor penyalahguna akan dilakukan assesmen oleh dokter ahli untuk mengetahui riwayat pemakaian dan taraf kecanduaannya.

Rehabilitasi atas wajib lapor pecandu, biayanya murah, kurang dari 5 juta per orang, biaya tersebut ditanggung oleh pemerintah dan dianggarkan oleh Kementrian kesehatan sesuai standart biaya wajib lapor.

Penyalahguna dalam perawatan rumah sakit atau lembaga rehabilitasi status pidananya dinyatakan gugur menjadi “tidak dituntut pidana” berdasarkan pasal 128/3 UU no 35 tahun 2009 tentang narkotika.

Dengan status “tidak dituntut pidana”, bila penyalahguna relapse atau mengulangi perbuatan mengkonsumsi narkotika lagi maka biaya rehabilitasinya ditanggung sendiri atau keluarganya, dan penyalahguna diperlakukan sebagai pasien bukan sebagai kriminal lagi.

Penyalahguna yang tidak melakukan kewajiban untuk lapor ke rumah sakit bila ditangkap penyidik maka penyalahguna wajib diperlakukan sebagai kriminal dengan kekhususan “dijamin mendapatkan upaya rehabilitasi” berdasarkan pasal 4d UU no 35 tahun 2009 tentang narkotika.

Penyalahguna yang ditangkap, disidik, dituntut dan diadili wajib diperlakukan secara rehabilitatif, penyidik, jaksa dan hakim diberi kewenangan untuk melakukan upaya paksa berupa penempatan ke dalam rumah sakit atau lembaga rehabilitasi berdasarkan pasal 13 PP 25 tahun 2011 sebagai ganti penahanan.

Penyalahguna juga tidak memenuhi sarat untuk dilakukan penahanan selama proses penyidikan, penuntutan dan proses pengadilan dan dituntut/didakwa secara subsidiaritas atau komulatif dengan pasal yang diperuntukan bagi pengedar sebagai alasan untuk dilakukan penahanan.

Itu sebabnya prioritas penanggulangan masalah narkotika di indonesia harus seimbang.

Saya menyarankan untuk dilakukan penanggulangan secara seimbang antara 1. Upaya wajib lapor pecandu. 2 upaya penegakan hukum. 3. Upaya sosialisasi kepada masarakat tentang kejahatan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika serta penghukumannya.

1. Upaya wajib lapor difokuskan untuk mendorong penyalahguna dan keluarganya melakukan wajib lapor guna mendapatkan perawatan, agar status pidananya gugur.

Bila status pidananya telah gugur dan mengalami relapse maka biaya rehabilitasinya ditanggung sendiri atau keluarganya.

2. Upaya penegakan hukum, dilakukan penegakan hukum secara represif terhadap pengedar narkotika, dihukum pidana dengan pemberatan, dimiskinkan melalui Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) dan diputus jaringan komunikasi bisnis narkotikanya.

Dan yang terpenting, terhadap penyalahguna dilakukan penegakan hukum secara rehabilitatif guna menyembuhkan sekaligus menekan demannya perdagangan gelap narkotika.

Penegakan hukum terhadap penyalahguna narkotika sebagai langkah terakhir atau apabila terpaksa.

Karena penegakan hukum terhadap penyalahguna, justru merugikan pemerintah karena pemerintah menanggung biaya penegakan hukum dan biaya rehabilitasi yang jauh lebih besar bila dibanding biaya rehabilitasi melalui upaya wajib lapor pecandu.

3. Upaya sosialisasi kepada masarakat termasuk kepada penegak hukum narkotika tentang kejahatan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan hukumannya.

Karena ada indikasi menyeluruh, tentang kesalahfahaman dalam memahami kejahatan penyalahgunaan dan peredaran narkotika serta penghukumannya.

Salam anti penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika. Rehabilitasi penyalahgunanya dan penjarakan pengedarnya. (red)

Narasumber adalah adalah Komisaris Jenderal purnawirawan Polisi. Merupakan Doktor, yang dikenal sebagai bapak rehabilitasi narkoba di Indonesia.

Mantan Kepala Badan Narkotika Nasional (BNN) dan Kabareskrim Polri, yang kini menjadi dosen, aktivis anti narkoba dan penulis buku.

  1. Lulusan Akademi Kepolisian yang berpengalaman dalam bidang reserse. Pria kelahiran 18 Mei 1958 yang terus mengamati detail hukum kasus narkotika di Indonesia. Baru saja meluncurkan buku politik hukum narkotika.
Lihat Selengkapnya

Related Articles

Back to top button