Potensi dan Peran Biochar dalam Peningkatan Produktivitas Lahan Sub-optimal
Oleh : Muhammad Parikesit Wisnubroto, S.P., M.Sc *)
BeritaNasional.ID — Pupuk, atau yang dikenal sebagai material yang ditambahkan ke dalam tanah dengan tujuan untuk meningkatkan kadar hara tanah saat ini berada dalam kondisi yang langka. Banyak petani maupun usaha yang bergerak di bidang pertanian-perkebunan merasa kesulitan untuk mendapatkan pupuk. Sebagaimana disebutkan pada salah satu artikel yang dimuat pada cnbindonesia.com, anggota Komisi VI Herman Khaeron mengemukakan kelangkaan pupuk masih bisa terjadi meskipun saat ini pemerintah telah menaikkan alokasi pupuk subsidi hingga 9,5 juta ton. Kelangkaan ini tentunya menjadi momok tersendiri bagi para pengusaha bidang pertanian. Alhasil, diperlukan suatu teknologi terkait bahan pembenah tanah yang mampu menambah ketersediaan hara secara slow release dan berkelanjutan.
Salah satu bentuk temuan mengenai bahan pembenah tanahyang bersifat slow release dan berkelanjutan ialah biochar. Secara garis besar, biochar merupakan salah satu jenis amelioran alami yang kaya akan kandungan karbon dari hasil konversi limbah organik (biomassa pertanian) melalui proses pembakaran tidak sempurna atau suplai oksigen terbatas (pyrolysis) pada suhu <500oC. Proses pirolisis adalah kunci dalam pembuatan biochar. Dariah et al. (2015) dalam kajian “Pembenah Tanah untuk Meningkatkan Produktivitas Lahan Pertanian” menyatakan perubahan bahan organik menjadi biochar (arang) lebih ditujukan untuk peningkatan kemampuan bahan organik dalam memperbaiki sifat fisik tanah, termasuk diantarnya berkaitan dengan kemampuan menahan air (water holding capacity). Penambahan biochar pada lahan pertanian diduga mampu meningkatkan ketersediaan hara, retensi hara dan air. Selain itu, arang memiliki sifat yang baik sebagai habitat mikroorganisme simbiotik seperti mikoriza karena kemampuannya dalam menahan air dan menicptakan kondisi lingkungan yang netral. Hasil kajian Dariah et al. (2015) membuktikan bahwa aplikasi biochar pada tanah ultisol memberikan dampak yang signifikan terhadap perbaikan kualitas tanah yang ditandai dengan peningkatan nilai kapasitas tukar kation (KTK) dan C-organik tanah serta peningkatan produktivitas tanaman jagung.
Sumber biochar di alam cukup banyak ditemukan. Salah satunya ialah arang cangkang kelapa sawit. Pada suhu tinggi dan tanpa oksigen, cangkang kelapa sawit diubah menjadi arang yang stabil dan kaya karbon. Akan tetapi, biomassa pertanian setelah berubah menjadi biochar, menjadi lebih sulit untuk diakses oleh organisme tanah, sehingga diperlukan upaya pengkayaan biochar dengan bahan organik sebagai sumber energi bagi mikroorganisme tanah sebagaimana dikemukakan oleh Dariah et al. (2015). Selanjutnya, Setyawan et al. (2021) dalam penelitiannya yang bertajuk “The Potential of Palm Waste Biochar for Slow Release Fertilizer” mengemukakan pupukorganik berbahan dasar arang masih mampu ditingkatkan kualitasnya dengan impregnasi unsur hara dan teknis modifikasi, sehingga dapat menyediakan hara dalam waktu yang relatif lama (Slow Release Fertilize – SRF). Dalam penelitian tersebut, digunakan limbah organik dari cangkang kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq.). Arang cangkang kelapa sawit direndam pada larutan pupuk NPK dan larutan EM4 selama 24, 48, dan 72 jam. Setelah perendaman selama 72 jam, perendaman arang cangkang kelapa sawit pada larutan NPK mampu memberikan hasil kadar karbon terikat yang lebih tinggi. Dengan demikian, diperoleh informasi bahwa biochar arang kelapa sawit mengandung karbon (C) yang dilepas secara lambat. Adapun hasil karakterisasi biochar asal kelapa sawit menggunakan teknik Fourier-transformed infrared spectroscopy (FTIR) sebagaimana dilakukan oleh Santi dan Goenadi (2012) pada penelitian mengenai “Pemanfaatan Biochar sebagai Pembawa Mikroba untuk Pemantap Agregat Tanah Ultisol dari Taman Bogo-Lampung” dinyatakan bahwa biochar mempunyai pita-pita intensif pada rentang 3.413–3.400/cm yang mencirikan pita regangan gugus -OH (hidroksil) dan -NH (amina). Sementara itu pada rentang 1.034/cm menunjukkan vibrasi gugus O-CH3. Berbagai gugus fungsional tersebut, sangat mirip fungsinya dengan gugus fungsional bahan organik yang berperan dalam peningkatan agregasi tanah.
Lebih lanjut, Laksita Prima Santi (2017) pada penelitiannya yang bertajuk “Pemanfaatan Biochar Asal Cangkang Kelapa Sawit untuk Meningkatkan Serapan Hara dan Sekuestrasi Karbon pada Media Tanah Lithic Hapludults di Pembibitan Kelapa Sawit” juga menyebutkan bahwa pemanfaatan biochar asal cangkang kelapa sawit sebagai pembenah tanah memiliki potensi yang baik dalam upaya pengembangan perkebunan kelapa sawit di lahan-lahan sub-optimal atau marginal. Aplikasi pupuk NPK-Mg yang dikombinasikan dengan 150 gram biochar per bibit memberikan kenampakan pertumbuhan yang optimal pada bibit kelapa sawit. Secara nyata kombinasi perlakuantersebut mampu meningkatkan tinggi tanaman hingga 33,3%, jumlah daun meningkat hingga 36,2%, diameter batang mencapai 28,9%, bobot kering akar meningkat sebesar 65,2% dibandingkan perlakuan tanpa penambahan biochar. Dari segi kualitas tanah, aplikasi biochar secara signifikan meningkatkan nilai KTK dan kadar C-organik tanah hingga 17,2% dan 26,9%. Semakin tinggi nilai KTK tanah, maka kemampuan tanah untuk me-release atau menyediakan hara bagi tanaman semakin meningkat. Di dalamnya terdapat banyak ion esensial tanaman yang dapat ditukarkan, sehingga ketersediaannya tercukupi untuk pertumbuhan dan perkembangan tanaman.
Peningkatan kadar C-organik tanah pada aplikasi biochar dapat diasumsikan bahwa penggunaan biochar arang cangkang kelapa sawit dapat sebagai jalur sekuestrasi karbon, terutama pada tanah-tanah miskin hara. Arang mampu menyimpan karbon secara jangka panjang dan dapat tersedia secara perlahan dalam jangka waktu yang cukup lama. Karbon yang terkunci dalam biochar tidak akan kembali ke atmosfer selama ratusan tahun, sehingga memberikan manfaat lingkungan yang signifikan.Selain memberikan manfaat terhadap kesuburan tanah, biochar juga memiliki potensi ekonomi yang cukup signifikan bagi petani. Beberapa penelitian menyebutkan bahwa penggunaan biochar mampu menekan kebutuhan irigasi pada lahan pertanian. Dengan melakukan efisiensi penggunaan pupuk dan pengurangan biaya pengairan, maka biaya produksi tanaman dapat ditekan. Melihat potensinya, prospek pengembangan biochar sebagai bahan dasar pupuk organik sangatlah besar. Apalagi sifatnya yang berkelanjutan dan ramah lingkungan tentunya menjadi perhatian tersendiri di kalangan pakar pertanian. Mekipun demikian, pengembangan biochar sebagai amelioran alami SRF tidak lepas dari tantangan yang ada. Adanya upaya serta dukungan dari pemerintah dan berbagai pihak, potensi biochar dari cangkang kelapa sawit memungkinkan untuk terus dikembangkan, sehingga dapat dicapai efisiensi dan efektivitas dalam usaha budidaya pertanian, terutama pada tanah-tanah sub-optimal.
*) Biodata Penulis :
Nama : Muhammad Parikesit Wisnubroto, S.P., M.Sc.
Profesi : Dosen dan Peneliti Bidang Nutrisi Tanaman dan Fisiologi di Program Studi Agroekoteknologi, Fakultas Pertanian, Universitas Andalas
E-mail : wisnubroto.95@gmail.com