Segudang Kontroversi dan Isu Mengguncang PSU Pilkada Kabupaten Tasikmalaya

Beritanasional.id – Tasikmalaya, Jawa Barat,- Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Kabupaten Tasikmalaya dan Pemungutan Suara Ulang (PSU) yang berlangsung pada April 2025 diwarnai berbagai permasalahan yang memicu kontroversi dan perdebatan di kalangan masyarakat serta para pemangku kepentingan. Berbagai persoalan tersebut mulai dari sengketa hasil pleno rekapitulasi, tudingan pelanggaran administratif dan praktik politik uang, hingga dugaan intervensi pejabat Kemendagri menggelayuti proses tersebut.
Salah satu isu utama yang mencuat adalah penolakan saksi dari pasangan calon nomor urut 1 dan 3 untuk menandatangani hasil pleno rekapitulasi suara. Mereka mengklaim adanya ketidaksesuaian dalam proses pemungutan suara ulang, meskipun Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kabupaten Tasikmalaya menegaskan bahwa seluruh prosedur telah dijalankan sesuai ketentuan.
Pada pleno rekapitulasi suara yang berlangsung seharian penuh, Ketua KPU Kabupaten Tasikmalaya, Ami Imron Tamami, menetapkan pasangan calon nomor urut dua, Cecep Nurul Yakin dan Asep Sopari, sebagai pemenang dengan perolehan 465.150 suara. Namun, sejumlah saksi dari pasangan calon nomor 1 dan 3 menolak menandatangani berita acara pleno, sehingga menimbulkan pertanyaan mengenai keabsahan proses penetapan tersebut meskipun dijelaskan bahwa prosedur telah berjalan sesuai aturan yang berlaku.
Tak hanya soal penetapan hasil suara, dugaan politik uang dan pelanggaran administrasi menjadi sorotan tajam. Sejumlah pihak dari paslon nomor urut 1 (Iwan Saputra-Dede Muksit Aly) dan paslon nomor urut 3 (Ai Diantani dan Iip Miftahul Paoz) mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK) atas dugaan pelanggaran administrasi dan dugaan adanya praktik politik uang yang terstruktur, sistematis, dan masif (TSM) selama PSU.
Pasangan calon nomor 1 (Iwan Saputra-Dede Muksit Aly) menyatakan bahwa terdapat ketidaksesuaian penggunaan legalitas, seperti calon Bupati pengganti yang diketahui adalah calon legislatif terpilih dan telah dilantik yang kemudian mendaftar sebagai calon bupati, serta indikasi adanya transaksi politik uang. Gugatan ini menambah dimensi pertanyaan terhadap transparansi dan integritas proses pemungutan suara ulang di Tasikmalaya
Tak hanya itu, partisipasi pemilih dalam PSU mengalami penurunan dibandingkan Pilkada sebelumnya. Tingkat partisipasi masyarakat hanya mencapai 63,4 persen, menjadikan Kabupaten Tasikmalaya berada di peringkat ke-7 dari 9 daerah yang menggelar PSU. Minimnya sosialisasi dari KPU disebut-sebut sebagai salah satu faktor utama yang menyebabkan rendahnya antusiasme pemilih.
Di sela-sela kontroversi hasil dan gugatan diatas, muncul pula dugaan “cawe-cawe” atau intervensi oleh pejabat tinggi Kementerian Dalam Negeri. Dalam rapat evaluasi bersama yang dihadiri pihak Kemendagri, KPU, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) serta DKPP, Anggota Komisi II DPR RI Deddy Sitorus mengungkapkan keanehan terkait penurunan Inspektur Jenderal Kemendagri yang turun ke Tasikmalaya beberapa hari sebelum PSU. Langkah tersebut dinilai menimbulkan tanda tanya, apakah inspeksi tersebut merupakan inisiatif pribadi atau perintah langsung dari pejabat tingkat atas, yang berpotensi mengganggu netralitas penyelenggaraan pemilu.
Tak kalah penting, persoalan pembiayaan pelaksanaan PSU juga menjadi bahan perdebatan. Total kebutuhan anggaran mencapai sekitar Rp60 miliar, dengan dana yang bersumber dari Pemerintah Provinsi Jawa Barat dan Pemerintah Kabupaten Tasikmalaya. Meskipun pihak penyelenggara menegaskan dana tersebut tidak akan mengganggu efisiensi anggaran, penggunaan anggaran sebesar itu semakin menambah tekanan kritik di tengah rangkaian persoalan yang telah mencuat.
Hingga saat ini, meskipun KPU Tasikmalaya menegaskan bahwa seluruh proses rekapitulasi telah dilakukan sesuai prosedur, keberadaan gugatan dan berbagai dugaan pelanggaran masih menggantung. Penetapan resmi pemenang PSU akan menunggu keputusan dari Mahkamah Konstitusi apabila ditemukan perbedaan pendapat yang mendasar.
Berbagai persoalan ini tidak hanya menggugah kekhawatiran akan dampak negatif praktik politik uang dan intervensi pejabat, tetapi juga menimbulkan pertanyaan soal kesiapan dan integritas penyelenggaraan demokrasi di tingkat daerah. Publik berharap agar setiap permasalahan administratif dan teknis dapat segera ditindaklanjuti demi terwujudnya pemilu yang bersih, transparan, dan adil.
Lebih Lanjut: Selain isu-isu yang telah diulas, beberapa pihak menyoroti perlunya evaluasi mendalam terkait sosialisasi dan pendampingan teknis ke seluruh TPS, terutama di daerah terpencil. Pembenahan mekanisme pendistribusian dan verifikasi data juga disarankan untuk mencegah terulangnya persoalan serupa di masa mendatang. Langkah konkret tersebut diharapkan dapat meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap proses demokrasi di Indonesia.
Dengan demikian, rangkaian kontroversi ini menjadi momentum penting bagi seluruh pemangku kepentingan untuk melakukan evaluasi serta perbaikan dalam penyelenggaraan pemilu di masa depan. Dengan berbagai permasalahan yang muncul, PSU Kabupaten Tasikmalaya menjadi salah satu pemilihan yang paling disorot di Indonesia. Kini, masyarakat menunggu keputusan MK terkait gugatan yang diajukan oleh pasangan calon yang merasa dirugikan. Apapun hasilnya, PSU ini menjadi pelajaran penting bagi penyelenggara pemilu untuk meningkatkan transparansi dan integritas dalam setiap tahapan pemilihan.
Penulis: Chandra