HeadlineJawa TimurKabar DesaNasional

Transformasi Pertanian di Situbondo: Desa Curah Cottok Tawarkan Model Inovatif Lewat Edamame

BeritaNasional.id, SITUBONDO – Di tengah upaya meningkatkan ketahanan pangan dan kesejahteraan petani, sebuah desa kecil di Kabupaten Situbondo, Jawa Timur, tengah menjadi sorotan. Desa Curah Cottok, Kecamatan Kapongan, kini serius mengembangkan budidaya edamame, sejenis kedelai Jepang yang dinilai lebih menguntungkan daripada komoditas pertanian tradisional.

Langkah ini didorong langsung oleh pemerintah desa, dengan harapan dapat membuka peluang ekonomi baru bagi para petani sekaligus memperkuat posisi desa dalam pasar pertanian ekspor.

“Kita ingin masyarakat Curah Cottok tidak hanya menggantungkan hidup dari sayur mayur biasa. Kita ingin mereka punya tambahan penghasilan dari tanaman yang bernilai lebih tinggi seperti edamame,” ujar Kepala Desa Curah Cottok, Haji Samsuri Abbas, saat ditemui awak media BeritaNasional.id, Rabu (3/09).

Edamame, atau yang juga dikenal sebagai kacang kedelai Jepang, belakangan ini mulai dilirik petani-petani di sejumlah wilayah di Indonesia karena nilai jualnya yang tinggi serta potensi pasarnya, baik di dalam negeri maupun untuk ekspor.

Di Curah Cottok, edamame baru diperkenalkan dalam skala terbatas. Namun hasil panen awal menunjukkan hasil yang menjanjikan dari sisi produksi maupun harga jual.

“Sekarang edamame bisa dijual di kisaran Rp30.000 sampai Rp40.000 per kilogram, jauh lebih tinggi dibanding hasil panen sayuran biasa. Bahkan di pasar daring bisa sampai Rp38.000 tergantung kualitas,” kata Samsuri.

Selain harga, tanaman ini juga dinilai lebih ‘bersahabat’ dibanding tanaman lain yang rawan terserang hama. “Edamame relatif tahan hama. Tidak banyak gangguan serangga, bahkan monyet pun enggan merusaknya. Ini sangat membantu petani kami,” tambahnya.

Melihat potensi yang besar, pemerintah desa tidak tinggal diam. Mereka telah menjalin kerja sama resmi dengan sebuah perusahaan ekspor berbasis di Jember yang selama ini menjadi salah satu pusat produksi edamame nasional.

Langkah ini bukan hanya untuk memastikan hasil panen petani terserap pasar, tetapi juga membuka jalur ekspor ke Jepang, Korea Selatan, dan negara-negara lain yang menjadi konsumen utama edamame dunia.

“Sudah ada perjanjian kerja sama dengan perusahaan di Jember. Petani yang ikut program ini akan dibina dan hasil panennya akan dibeli langsung oleh perusahaan,” kata Samsuri.

Satu keunggulan utama dari edamame adalah siklus tanamnya yang relatif singkat. Dalam waktu 60 hingga 70 hari setelah tanam, edamame sudah bisa dipanen. Waktu panen yang singkat ini memungkinkan petani untuk menanam lebih dari satu kali dalam setahun, meningkatkan produktivitas lahan.

“Kalau dirawat dengan baik, satu hektar bisa menghasilkan 10 sampai 14 ton edamame segar. Varietas seperti Biomax 1 sangat unggul dan cocok untuk kondisi lahan kami,” kata Samsuri.

Ia mengaku sempat ragu saat pertama kali mencoba edamame. Namun setelah komunikasi panjang dengan pihak perusahaan mengubah pandangannya soal pertanian.

“Dulu masyarakat kami hanya tanam, Padi sayuran atau cabai. Tapi sekarang kami mulai optimis, edamame ini bisa jadi masa depan pertanian desa,” ujar Kades yang cukup dikenal dengan berbagai terobosan ini.

Inisiatif ini dinilai sejalan dengan visi Presiden Prabowo Subianto dalam program Asta Cita, khususnya dalam hal peningkatan ketahanan pangan dan kesejahteraan petani. Pemerintah desa melihat budidaya edamame sebagai langkah konkret untuk mendiversifikasi sumber penghasilan warga.

“Ini bukan cuma soal keuntungan ekonomi, tapi juga strategi untuk menjaga ketahanan pangan desa. Kita tidak bisa terus bergantung pada satu jenis tanaman saja,” tegas Samsuri.

Ia menambahkan bahwa pemerintah desa akan terus mencari alternatif pertanian yang produktif dan berkelanjutan, termasuk kemungkinan pengembangan edamame sebagai produk olahan seperti edamame beku atau camilan sehat.

Dengan keberanian mencoba dan kemauan untuk belajar, Desa Curah Cottok perlahan membuktikan bahwa inovasi di sektor pertanian bisa lahir dari desa-desa kecil yang sering kali luput dari sorotan.

“Kalau bukan kita yang memulai, siapa lagi? Ini desa kita, tanah kita. Edamame ini bukan hanya kacang, tapi juga harapan,” tutup Samsuri.

Budidaya edamame di Indonesia mengalami tren pertumbuhan positif dalam beberapa tahun terakhir. Data dari Kementerian Pertanian menunjukkan bahwa ekspor edamame meningkat setiap tahun, terutama ke pasar Jepang dan Korea. Desa seperti Curah Cottok dapat menjadi model bagi pengembangan pertanian ekspor berbasis desa.

 

 

 

 

Lihat Selengkapnya

Related Articles

Back to top button