Saat Anggota Senat ‘Lupa’ Amanah, Demokrasi Kampus Kehilangan Jiwa
Oleh: Prof. Dr. drh. Maxs Urias Ebenhaezar Sanam, M.Sc

OPINI – Senat Universitas adalah jantung yang memompa kehidupan demokrasi akademik di dalam sebuah perguruan tinggi. Ia bukan sekadar wadah formal yang menghimpun para dosen untuk berdiskusi tentang kebijakan, tetapi lebih dari itu—ia adalah institusi moral yang menjadi penjaga integritas, kebenaran ilmiah, dan martabat lembaga pendidikan tinggi. Dalam konteks tata kelola universitas yang sehat, Senat menjadi simbol dari partisipasi kolektif seluruh sivitas akademika, tempat di mana suara, harapan, dan aspirasi dosen menemukan ruang untuk diperjuangkan secara bermartabat.
Anggota Senat tidak muncul begitu saja. Mereka hadir melalui proses demokratis, dipilih langsung oleh para dosen dari setiap Program Studi (Prodi). Mandat yang mereka emban bukanlah simbolik, melainkan sebuah amanah luhur—sebuah tanggung jawab moral dan akademik untuk membawa suara konstituen yang telah mempercayakan perwakilannya. Di pundak merekalah kepercayaan itu diletakkan.
Karena itu, seorang anggota Senat sejatinya bukan individu yang berbicara atas nama dirinya sendiri, melainkan juru bicara yang menyuarakan kepentingan kolektif dari Program Studi atau fakultas yang diwakilinya. Keberadaan Senat menjadi mekanisme yang menegakkan keseimbangan dalam sistem universitas. Ia berfungsi sebagai penentu arah kebijakan akademik sekaligus pengawas moral terhadap jalannya kepemimpinan eksekutif universitas.
Dalam ruang sidang Senat, integritas seorang anggota diuji—apakah ia berani berdiri di atas kebenaran, meskipun berbeda pandangan dengan pihak pengambil keputusan, atau justru memilih diam demi kenyamanan pribadi. Di sinilah nilai sejati demokrasi kampus menemukan maknanya. Demokrasi bukan hanya tentang pemilihan, tetapi tentang keberanian menjaga suara mereka yang diwakili agar tidak tereduksi oleh kepentingan kelompok kecil.
Senat yang sehat adalah cerminan universitas yang sehat. Di dalamnya, setiap anggota dituntut memiliki keberanian moral untuk berbicara dan ketulusan hati untuk mendengarkan. Mereka tidak boleh terjebak dalam ego pribadi, tidak pula membiarkan suara konstituen terdistorsi oleh ambisi kekuasaan. Ketika anggota Senat melupakan asal mandatnya, maka senat kehilangan rohnya, dan universitas pun kehilangan arah. Sebaliknya, ketika anggota senat berpegang teguh pada amanah kolektif, maka setiap kebijakan yang lahir akan mencerminkan kebutuhan nyata di lapangan—mulai dari pengembangan kurikulum, penjaminan mutu akademik, hingga perumusan kebijakan riset dan pengabdian.
Lebih jauh lagi, anggota Senat juga merupakan penjaga martabat akademik universitas. Mereka harus memastikan bahwa setiap keputusan, kebijakan, dan regulasi universitas dibangun di atas prinsip transparansi, akuntabilitas, dan rasionalitas ilmiah. Karena mereka berasal dari akar rumput akademik—yakni Program Studi—anggota Senat menjadi penghubung antara dunia praksis pendidikan dan struktur pengambilan keputusan universitas. Mereka memahami persoalan nyata yang dihadapi dosen dalam melaksanakan Tri Dharma Perguruan Tinggi, dan dengan demikian mampu memperjuangkan kebijakan yang relevan, adil, dan aplikatif bagi semua pihak.
Fungsi Senat juga terletak pada perannya sebagai penyeimbang terhadap otoritas eksekutif universitas, dalam hal ini Rektor. Demokrasi kampus yang sehat menuntut adanya sistem check and balance yang kokoh agar setiap kebijakan tidak berjalan secara sepihak. Seorang anggota Senat yang berintegritas tidak hanya menyetujui apa yang diajukan oleh pimpinan, tetapi juga mampu mengkritisi, mempertanyakan, dan menawarkan alternatif demi menjaga kepentingan akademik yang lebih luas. Otoritas akademik sejati bukan terletak pada kekuasaan administratif, tetapi pada kemampuan untuk menjaga kebenaran ilmiah dan etika kelembagaan.
Oleh karena itu, demokrasi kampus yang bermartabat hanya dapat terwujud bila setiap anggota Senat memandang dirinya sebagai utusan rakyat kecil—yakni para dosen di tingkat Prodi—bukan sebagai pejabat yang mencari gengsi atau posisi. Amanah yang diemban adalah titipan yang harus dijaga dengan ketulusan dan tanggung jawab moral yang tinggi. Dalam menjalankan tugasnya, mereka mesti berpijak pada nilai integritas, bukan pada kepentingan pribadi atau kelompok.
Ketika Senat bekerja dengan prinsip itu, maka seluruh proses akademik universitas akan berputar pada poros integritas, transparansi, dan akuntabilitas. Kebijakan yang dihasilkan tidak hanya mencerminkan suara elite kampus, tetapi juga kebutuhan riil sivitas akademika. Dengan demikian, Senat tidak hanya menjadi lembaga formal yang ada karena aturan, tetapi benar-benar menjadi benteng terakhir martabat universitas—tempat di mana demokrasi kampus dijaga, integritas ditegakkan, dan keilmuan dipelihara dengan penuh hormat.*
Alberto