Opini

Sepenggal Jalinan Emosional Pasang Surutnya, Antara Pers Dan Pemerintah

Garut, Beritanasional.ID – Seperti apa yang telah dikatakan Edmund Burke, bahwa pers itu adalah medium sangatlah penting bagi berlangsungnya proses demokratisasi. Bahkan sebagai pilar keempat demokrasi, setelah Eksekutif, Legislatif dan Yudikatif.

Jauh sebelum Burke, Benyamin Constant (1767-1834) bangsawan Inggris juga telah membuat adagium terkenal: “dengan surat kabar, kadang-kadang muncul kericuhan, tapi tanpa surat kabar akan selalu muncul penindasan”.

Sejak reformasi bergulir, era kebebasan pers di negeri ini bisa dibilang memasuki masa bulan madu. Namun, seiring dengan berjalannya waktu, kebebasan pers juga tak luput dari pelbagai conflict of interest. Fakta menunjukkan, empat presiden sebelum Yudhoyono pernah merasakan relasi pasang surut relasi pers-pemerintah.

Berbagai kasus, seperti pembredelan media, pemenjaraan wartawan, atau dengan adanya mendiskreditkan pers dengan berbagai tuduhan tendensius adalah sekelumit fakta relasi pers-pemerintah yang mewarnai panggung politik reformasi.

Sedangkan dalam hal ini, tabiat dasar pers untuk senantiasa bersikap kritis dan memerankan fungsi sosial kontrol, betapa pun tiran dan otoriternya kekuasaan itu.

Di negeri kampiun demokrasi seperti AS saja, relasi pers-penguasa tak selalu berjalan mulus. Kasus pemberitaan peristiwa 11 September 2001, perang Irak, atau kebijakan standar ganda AS di Timur Tengah, pernah membuat pemerintah AS gerah. Pemerintah Bush waktu itu, sempat meminta agar pers AS menulis berita secara lebih patriotik.

Di era Orde Baru, pemerintah dengan mudah menuduh wartawan sebagai ‘corong asing’ dan tak segan-segan membungkam media yang kritis, seperti tampak dalam kasus pembredelan majalah Detik, Tempo, dan Editor pada tahun 1994.

Saat wartawan Sidney Morning Herald, David Jenkin, melaporkan bisnis keluarga Cendana, Menteri Penerangan Harmoko langsung menyetop peredaran harian tersebut di Indonesia. Tak cuma itu, Harmoko juga menuduh wartawan asing yang bertugas di Indonesia mempraktekkan ‘jurnalisme alkohol’; menulis berita seperti orang mabuk.

Di era Gus Dur, konflik pers-pemerintah muncul lewat statemen Syamsul Mu’arif (mantan Meneg Kominfo), yang pernah melontarkan istilah ‘jurnalisme patriotis’.

Intinya, pemerintah meminta pers nasional untuk lebih berpihak pada Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam pemberitaan konflik Aceh. Sejak itu, pers mengubah sebutan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) menjadi Gerakan Separatis Aceh (GSA).

” Seperti yang kita ketahui bersama, mungkin saat ini bukan lagi menjadi rahasiah umum. Suatu contoh, di Kabupaten Garut sendiri ada sebagian kecil Media-media lokal dimana pemiliknya adalah orang yang sangat berkopenten dan ternama. Apakah dengan kenyataan tersebut akan masih bisa berlaku pembredelan kemerdekanaan Pers ? ,”

Disisi lain, komitmen pemerintah terhadap kebebasan pers kian melemah pada era Megawati. Hal itu tampak pada kasus hukum yang menimpa Majalah Tempo, saat kantor Tempo di serbu dan beberapa jurnalisnya di aniaya.

Saat itu, hanya Amien Rais, Ketua MPR saat itu, yang sudi menemui langsung wartawan Tempo. Kemana pejabat lainnya? cuek!

Pada masa Yudhoyono-Kalla, intervensi pemerintah atas kebebasan pers juga muncul dalam bentuk pemangkasan fungsi dan wewenang Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) sebagai regulator penyiaran nasional.

Melalui paket Peraturan Pemerintah tentang Penyiaran, Kementerian Kominfo pernah berniat mengoreksi fungsi regulasi penyiaran KPI. Ini tercermin dari rencana pemerintah untuk merevisi UU Penyiaran No 32/2002 dan UU Pers No 40/1999.

Pada masa Yudhoyono-Boediono, niat pemerintah untuk kembali ‘mengendalikan’ pers nasional agaknya tergeser dengan heboh ‘kasus Century’. Pemihakan sosial pers atas tercederainya rasa keadilan publik terkait kasus Century menjadi semacam ‘tugas suci’ (mission sacre) pers untuk terus mengawal gugatan publik atas kasus ini.

Dominasi dan hegemoni kekuasaan sepanjang sejarah politik Indonesia telah melahirkan watak kekuasaan yang sentralistik dan sulit di kontrol. Seluruh kekuatan politik alternatif bisa dibilang tiarap. Hanya pers dan segelintir mahasiswa serta beberapa elemen pro demokrasi yang berani mengontrol perilaku rezim saat itu.

Adagium Napoleon Bonaparte, ‘pena wartawan lebih tajam dari peluru tentara’, barangkali adalah peribahasa yang melandasi sikap curiga permanen kekuasaan atas pers.

Gencarnya pemberitaan pers atas kasus korupsi yang melibatkan politisi, menteri, dan elite birokrasi telah membuat suhu politik negeri ini terus berada dalam tensi tertinggi.

Meluasnya pemberitaan media atas kasus gempa bumi, tanah longsor, dan banjir bandang yang terjadi di seantero negeri membuat aparatur birokrasi dan masyarakat di semua level bergerak membantu para korban.

Sebagai pilar demokrasi keempat pers bukanlah institusi yang can do no wrong alias selalu benar. Seperti institusi dan profesi lainnya, pers juga bisa salah.

Namun, sisi lemah itu hendaknya kita tempatkan dalam konteks pencarian jati diri menuju pers nasional yang merdeka dalam arti seutuhnya, seperti proses demokrasi kita yang kini masih berada dalam tahap pembelajaran menuju demokrasi yang lebih otentik.

Reformasi 1998 telah melahirkan kemerdekaan pers. Di usia yang relatif muda, pemerintah wajib mendorong tampilnya pers nasional yang berwatak merdeka dan bertanggung jawab, tetapi pada kenyataannya Pers itu sendiri sangat jauh dari merdeka.

Kita berharap, pers nasional yang kritis, edukatif, profesional, handal, dan berwibawa bisa terus tumbuh dan selamanya eksis di negeri ini.

Sebab, seperti dikatakan mantan Presiden Bank Dunia, James Wolfensohn (2005), “Tiada lagi keraguan bahwa sumbangsih media demikian penting dalam pencapaian demokrasi, kemajuan ekonomi, memerangi korupsi, membuat keseimbangan antara si kaya dan si miskin; dan lebih dari itu, mengurangi kemelaratan di muka bumi. Khusunya di Tanah Air kita yang tercinta. Yaitu Indonesia, ( Penulis Diki Kusdian ).
Lihat Selengkapnya

Related Articles

Back to top button