Artikel

Ekofisiologi : Suatu Perspektif dalam Memahami Konsep Cekaman

Oleh : Muhammad Parikesit Wisnubroto, S.P., M.Sc *)

BeritaNasional.ID — Apakah anda pernah berpikir bagaimana kaktus dapat hidup di bioma gurun yang sangat panas? atau juga bagaimana tumbuhan kecil alpine mampu hidup di bioma tundra yang selalu tertutup salju setiap tahunnya. Apakah ada suatu enzim istimewa atau mekanisme hormon tertentu yang memungkinkan tumbuhan-tumbuhan tersebut tetap mampu menjalankan fungsi metabolismenya?

Pertanyaan-pertanyaan terkait hubungan organisme dan lingkungannya tersebut beserta berbagai mekanisme fisiologis yang terjadi membuat ilmu fisiologi berkembang membentuk cabang yang terpisah sesuai dengan ruang lingkup pokok bahasannya, yaitu fisiologi lingkungan atau ekofisiologi.

Faktor lingkungan memainkan peran penting dalam memengaruhi proses fisiologi tumbuhan, selain faktor genetik. Menurut Salisbury & Ross (1995), lingkungan dalam arti luas didefinisikan sebagai segala sesuatu yang mengelilingi suatu organisme. Akan tetapi, beberapa bagian dari lingkungan mungkin juga tidak mempunyai efek sama sekali bagi organisme (dalam hal ini tumbuhan), sehingga tidak masuk akal untuk dianggap sebagai bagian dari lingkungan operasional tumbuhan yang merupakan gabungan dari berbagai faktor antara lain iklim, edafik (tanah), dan biotik yang berpengaruh terhadap pertumbuhan dan perkembangannya.

Tanggapan Tumbuhan terhadap Lingkungan

Menurut Salisbury & Ross (1995), salah satu hal paling dasar terkait tanggapan tumbuhan terhadap lingkungan adalah kejenuhan dan faktor pembatas. Organisme menanggapi hampir semua variabel lingkungannya dengan mengikuti suatu corak yang jamak. Peningkatan suatu variabel akan menyebabkan efek ketika variabel tersebut mencapai ambang batas tertentu. Setelah itu, tanggapannya akan meningkat sampai sistem menjadi jenuh. Selanjutnya ketika taraf dari variabel tersebut meningkat, respon dari organisme akan tetap sama atau mulai menurun jika pada taraf tersebut meracun.

Liebig, salah seorang ahli kimia pertanian terkemuka asal Jerman, pada tahun 1840 melalui bukunya yang berjudul “Organic chemistry in its applications to agriculture and physiology” (terjemahan dari bahasa Jerman) memberikan impak yang besar terhadap perspektif manusia mengenai tumbuhan. Dalam buku tersebut Liebig merumuskan “Hukum Minimum Liebig”, yang menyatakan bahwa pertumbuhan suatu tumbuhan bergantung pada jumlah nutrisi yang diberikan padanya dalam jumlah minimum. Liebig mengilustrasikan konsep batasan menggunakan tong metaforis dengan masing-masing tongkat pada bagian dindingnya mewakili elemen yang berbeda. Tongkat nutrisi yang lebih pendek dari yang lain akan menyebabkan cairan yang terkandung didalam tong tumpah pada tingkat tersebut.

Sebagai ilustrasi, seseorang yang membangun tong setinggi sepuluh kaki akan bekerja sia-sia jika tongkat terakhirnya hanya sepanjang lima kaki, karena air akan tumpah pada level tersebut. Dengan bantuan visual ini, gagasan faktor pembatas bersifat intuitif dan tampak hampir jelas, tetapi mudah diabaikan saat mencoba memperbaiki masalah atau meningkatkan hasil.

Cekaman dan Adaptasi Tumbuhan dalam Menghadapinya

Dalam konteks biologi, Levitt (1972) mendefinisikan cekaman dari ilmu fisika. Dia menjelaskan bahwa cekaman biologi adalah segala perubahan kondisi lingkungan yang dapat merugikan pertumbuhan dan perkembangan tumbuhan. Salisbury & Ross (1995) menyatakan bahwa segala perubahan kondisi lingkungan yang mengakibatkan tanggapan tumbuhan menjadi lebih rendah daripada tanggapan optimum dapat dikatakan sebagai cekaman.

Cekaman lingkungan merupakan suatu keadaan yang menggambarkan terdapat perbedaan potensi di lingkungan dan juga di dalam tumbuhan sehingga terdapat gaya penggerak untuk memindahkan energi atau bahan ke dalam atau ke luar tumbuhan yang menyebabkan adanya tanggapan terhadap cekaman. Adapun pada bagian selanjutnya akan dipaparkan mekanisme adaptasi tumbuhan untuk dapat bertahan hidup pada salah satu kondisi cekaman lingkungan yang sering terjadi antara lain kekeringan.

Cekaman kekeringan merupakan salah satu bentuk stres abiotik yang mengakibatkan tidak terpenuhinya kebutuhan air pada tumbuhan secara optimal. Secara umum, kondisi kekurangan air merupakan faktor pembatas utama untuk pertumbuhan dan perkembangan tumbuhan, karena air menyusun tidak kurang dari 55-85% bagian dari berat segar jaringan tumbuhan herba atau sekitar 30-60% berat segar tumbuhan berkayu (Meyer, 2020). Kekurangan air mengakibatkan perubahan di tingkat molekuler, seluler, fisiologi dan morfologi.

Perubahan yang terjadi dapat berupa pengurangan volume sel, penurunan luas daun, perubahan ekspresi gen, perubahan produksi maupun aktivitas enzim dan hormon, peningkatan sensitivitas stomata, dan juga penurunan laju fotosintesis. Kekurangan air yang terus-menerus akan menyebabkan perubahan tidak dapat balik dan pada akhirnya menyebabkan tumbuhan akan mati (Winarno, 1991).

Tumbuhan dapat beradaptasi terhadap cekaman kekeringan di lingkungan operasionalnya melalui tiga strategi utama yakni drought escape, drought avoidance, dan drought tolerance, ataupun dapat menggunakan kombinasi dari ketiganya (Sopandie, 2013; Yadav & Sharma, 2016). Strategi tersebut selanjutnya dibalut oleh tumbuhan melalui berbagai macam bentuk adaptasi morfologi, fisiologi, biokimia, serta molekuler sebagai satu kesatuan sistem adaptasi (Zlatev & Lidon, 2012).

Drought escape (melarikan diri) berhubungan erat dengan cara tumbuhan untuk dapat menyelesaikan siklus hidupnya sebelum menghadapi kondisi lingkungan yang tidak menguntungkan atau dengan kata lain tumbuhan memanfaatkan sumber daya yang ada untuk dapat berbunga dan berbuah lebih awal sebelum mengalami cekaman kekeringan. Adapun strategi ini banyak dijumpai pada tanaman semusim yang bersifat native di daerah arid yang mempunyai presipitasi hujan sangat rendah (Touchette et al., 2007).

Strategi selanjutnya adalah drought avoidance (penghindaran), yang pada umumnya dikembangkan oleh tumbuhan pada saat awal mula terpapar oleh cekaman kekeringan. Adapun bentuk adaptasi ini berfokus pada cara tumbuhan dalam menjaga ketersediaan air dalam situasi kekurangan air di lingkungan operasionalnya.

Dalam hal ini, tumbuhan mengembangkan adaptasi fisiologi, yakni melalui penurunan laju transpirasi untuk mencegah kehilangan air secara berlebihan dengan melakukan pengaturan pada stomata yang distimulasi oleh fitohormon asam absisat (ABA).

Selain itu, sistem perakaran akan mengembangkan suatu adaptasi morfologi untuk memaksimalkan fungsi akar dalam proses absorbsi air dengan mengambil air dari lingkungan ke tanaman selama kekeringan, yang ditandai dengan meningkatnya rasio akar/tajuk tumbuhan.

Sementara itu, strategi drought tolerance (toleransi) dapat diterjemahkan sebagai bentuk penyesuaian osmotik dari tumbuhan. Adapun mekanisme penyesuaian osmotik melibatkan proses biokima pada tingkat sel terutama untuk mempertahankan turgiditas sel dengan cara menurunkan potensial air melalui akumulasi zat terlarut (solute) dalam sel, antara lain seperti prolin dan glisin betain. Hal tersebut sesuai dengan prinsip osmosis yang mana pelarut (air) akan mengalir dari keadaan potensial air tinggi menuju potensial air yang rendah hingga keseimbangan ekuilibriumnya tercapai dan menyebabkan turgiditas sel tetap terjaga.

Namun demikian, mekanisme penutupan stomata yang ditujukan untuk menahan kehilangan air berlebih ternyata memiliki konsekuensi tersendiri, terutama pada tumbuhan C3 yang dapat menimbulkan terjadinya cekaman oksidatif, yakni suatu keadaan lingkungan yang mengalami peningkatan Reactive Oxygen Spesies (ROS) akibat adanya suatu over reduksi dari proses fotosintesis. Hal ini terjadi dikarenakan senyawa reduktan yang tidak termanfaatkan akibat CO2 yang terhambat selama terjadinya proses cekaman kekeringan.

Peningkatan ROS yang bersifat radikal bebas dapat menyebabkan ketidakseimbangan antara ROS tersebut dan status antioksidan yang ada di dalam tumbuhan. Akan tetapi, pada tumbuhan yang toleran terhadap cekaman akan melakukan suatu adaptasi dengan cara memproduksi senyawa-senyawa yang bersifat antioksidan walaupun tetap memiliki batasan tertentu dalam meminimalisir efek dari cekaman yang diterima (Farooq et al., 2009).

Adapun pada jenis tumbuhan C4 dan CAM telah mengembangkan strategi dalam penangkapan CO2 untuk pembentukan gula pada kondisi ketersediaan air yang terbatas. Tumbuhan C4 telah mengembangkan mekanisme yang efisien dalam pengikatan CO2 oleh Rubisco. Tanaman C4 telah mengembangkan anatomi daun khusus, di mana sel seludang berkas pengangkutnya (bundle sheat cells) memiliki kloroplas, di samping sel mesofilnya seperti tanaman C3. Sebagai pengganti fiksasi CO2 pada siklus Calvin, CO2 dikonversi ke dalam senyawa organik dengan 4 atom karbon yang memiliki kemampuan meregenerasi ulang CO2 dalam kloroplas pada sel seludang berkas pengangkutnya.

Sementara itu, tumbuhan CAM seperti kaktus mengembangkan mekanisme khusus yang menyebabkan fiksasi CO2 hanya terjadi pada malam hari – karena stomatanya tertutup pada siang hari – yang dapat menekan laju kehilangan air dari tubuhnya (transpirasi). Selain itu, tumbuhan jenis CAM juga dapat menyimpan air dalam jaringan sukulennya. Dengan demikian, kombinasi strategi penyimpanan air yang optimal dan upaya menekan laju kehilangan air yang sedemikian rendah (stomata menutup pada siang hari serta didukung oleh lapisan kutikula yang tebal) menyebabkan tumbuhan jenis ini mampu bertahan hidup pada kondisi lingkungan yang ekstrem tersebut.

*) Biodata Penulis :
Nama : Muhammad Parikesit Wisnubroto, S.P., M.Sc.
Profesi : Dosen dan Peneliti Bidang Nutrisi Tanaman dan Fisiologi di Program Studi Agroekoteknologi, Fakultas Pertanian, Universitas Andalas
E-mail : wisnubroto.95@gmail.com

Lihat Selengkapnya

Related Articles

Back to top button