Ragam

“Anregurutta” Kiblat Pemahaman Keagamaan Kita

Oleh : Indra Syarif, S.Pd *)

Kebutuhan umat muslim akan ilmu agama saat ini relatif besar. Antusiasme masyarakat muslim mencari dan men”share” konten dakwah di media sosial sangat tinggi. Hampir di setiap akun sosmed kita di setiap saat disuguhi dengan berbagai materi dakwah. Dengan model komunikasi yang kekinian (zaman now), tentu mudah menyentuh setiap kalangan masyarakat, tak terkecuali remaja muslim yang dipersepsikan rentang melakukan “larangan” agama.

Selanjut yang patut menjadi perhatian adalah kevalidan sumber dan sikap menerima terhadap sebuah ilmu/dakwah Islam. Meski tulisan yang memiliki substansi yang searah dengan tulisan ini sejauh ini sudah cukup banyak. Namun ekspektasi penulis, masyarakat akan lebih terarah dalam memahami sumber, konteks dan status (validitasnya) sebuah konten dakwah. Khususnya bagi yang awam (baca: baru hijrah).

Dalam konteks Indonesia wilayah tengah dan sebagian timur. Kiblat pemahaman keagamaan dipelopori oleh “Anregurutta”. Tradisi intelektual keislaman tanah Bugis, Makassar, Mandar, dan Tanah Toraja sebagian. Telah berlangsung regenerasi ulama sejak abad ke-17. Proses ini mampu menempatkan ulama (Anregurutta dan Gurutta yang berada di bawah Anregurutta) di fungsi yang efektif dalam membimbing masyarakat dalam memahami agamanya (Islam).

Kondisinya saat ini di mana sosmed menjadi akses yang begitu mudahnya seseorang mencari, menerima, dan membagikan materi dakwah bahkan dapat mengajukan pertanyaan seputar Islam. Kondisi ini tentu memunculkan kekhawatiran tanpa bermaksud menggenaralisasikan semua konten dakwah tidak valid sanad keilmuannya. Namun dicermati begitu mudahnya umat (populer nya: netizens) merespon konten dakwah tanpa seleksi, dan memang tidak sedikit yang belum memahami kriteria validitas sebuah ilmu agama termasuk yang dishare di media sosial.

Kompetensi keilmuan itu sangat penting dalam perkara agama, karena wilayah ini menyangkut bagian transendental kehidupan manusia (keselamatan) di dunia dan akhirat. Kondisi keimanan seorang hamba secara personal dan sosial (umat) dalam terminologi dasar agama kelak akan dimintai pertanggung jawaban (yaumul hisab). Standar keilmuan seorang “Panrita” sebenarnya tidaklah berbeda dari standar ulama di seluruh dunia (Mujtahid) dan di Nusantara sendiri. Antara lain, penguasaan terhadap Al-Qur’an dan Sunnah, penguasaan ilmu-ilmu alat dalam bahasa Arab, dan ilmu-ilmu pendukung lainnya. salah satu ulama besar dan kharismatik khususnya di Sulawesi Selatan As Syekh Anregurutta Hajji (AGH) Muhammad As’ad melalui Madrasah al – ‘Arabiyyah al – Islamiyyah (MAI) yang berubah dan kini dikenal Pondok Pesantren As’adiyah yang berpusat di kota Sengkang kab. Wajo. Anregurutta Puang Aji Sade (sapaan akrab beliau) melalui lembaga pendidikan agama beliau melahirkan ulama-ulama besar yang akhirnya tersebar ke berbagai wilayah yang ada di Sulawesi Selatan. Kader ulama dari Anregurutta Puang Aji Sade memiliki kualifikasi keilmuan yang dikenal sebagai ilmu duabelas meliputi nahwu, sharf, bayan, ma’ani, badi, fiqh, ushul fiqh, tafsir, hadits, tauhid, dan mantiq. Dan tentu memahami struktur budaya (kearifan lokal) suku Bugis dan bahasa Bugis.

Salah satu kompetensi ilmu ulama, tak terkecuali ulama Bugis, yakni memahami struktur budaya masyarakat setempat adalah konteks kebijaksanaan dalam berdakwah (memahami bahasa kaumnya). Hal inilah selain kriteria keilmuan sebelumnya (ilmu Al-Qur’an dan Sunnah serta ilmu alat) yang begitu sentral menempatkan posisi Anregurutta sebagai kiblat dalam memahami berbagai persoalan keagamaan masyarakat Bugis. Seorang cendekiawan Muslim dunia Farouq Abu Zaid berpendapat, “keberagaman interpretasi atas teks-teks keagamaan (aliran aliran fikih dalam Islam) adalah refleksi sosio-kultural mereka masing-masing karena seseorang adalah produk lingkungan sosial dan kebudayaan masing-masing.” Pada kesempatan lain penulis membaca salah satu tulisan KH Husein Muhammad. Dalam salah satu tulisannya yang berjudul “mempertimbangkan tradisi lokal”, beliau sangat baik dalam menjelaskan tradisi intelektual Imam Malik yang tak lain adalah guru Imam Syafi’i. Bagaimana kealiman Imam Malik menghargai tradisi lokal Madinah meski banyak ulama pada saat itu yang menentangnya bahkan berhadapan dengan penguasa. Namun keyakinan serta kedalaman ilmu Imam Malik mampu mempersembahkan ijtihad yang tidak mengubah secara totalitas tradisi lokal Madinah. Sehingga tradisi masyarakat tetap dijalankan dalam batas koridor agama. Lanjut dari potongan tulisan KH Husein Muhammad, “pikiran dan pandangan Ulama-ulama kita itu sesungguhnya adalah refleksi terhadap apa yang mereka alami dan hadapi dalam ruang dan waktu mereka masing-masing.” Sayangnya dewasa ini dialektika (khilafiyah) pemahaman keagamaan masih saja dirasa sulit diterima semua orang. Banyak pihak mengklaim kebenaran dari pihaknya sendiri. tentu berbeda dari sikap para ulama besar yang telah disebutkan maupun yang tidak disebutkan dalam tulisan ini, yang pastinya jumlahnya sangat banyak (mayoritas Ulama berpendapat demikian).

Dari dasar itulah semoga arah kiblat pemahaman keagamaan kita atau posisi Anregurutta sebagai pewaris sanad keilmuan yang validitasnya tak diragukan lagi. Dapat terpahami dan mengilhami para subjek dakwah, dalam hal ini para Da’i/Mubaligh untuk bijak dan semangat dalam men”share” sajian warisan keilmuan Anregurutta dalam berbagai literasi karya Anregurutta maupun dari rekam jejak Anregurutta dalam berbagai bentuk (tulisan,audio/video). Terlebih warisan intelektual Anregurutta telah terlembagakan dalam Pondok Pesantren dan organisasi masyarakat (ormas) yang bergerak di bidang dakwah, sosial dan pendidikan. Sehingga saat ini dari konteks apapun semua serba “instan” dalam penyajiannya, tak terkecuali ilmu agama. Masyarakat dapat memahami dan menerima ajaran Islam yang sempurna ini dengan paripurna (Rahmatan Lil ‘Alamin)
Wallahu A’lam bi Showab …

*) Pembina Pondok Pesantren Nurul Ulum As’adiyah

Lihat Selengkapnya

Related Articles

Back to top button