Ekonomi Tumbuh 5 Persen: Pertumbuhan Tanpa Transformasi?

Ekonomi Indonesia kembali mencatat kabar menggembirakan. Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan pertumbuhan ekonomi sebesar 5,12 persen (year-on-year) pada triwulan II 2025. Angka ini naik dari 4,87 persen di triwulan sebelumnya dan menandakan bahwa perekonomian nasional tetap tangguh di tengah ketidakpastian global. Dengan nilai PDB mencapai hampir Rp6.000 triliun, Indonesia seolah terus melaju di jalur pemulihan pascapandemi.
Namun, di balik angka-angka yang indah itu, ada pertanyaan dasar: apakah kita benarbenar tumbuh atau hanya berlanjut? Meskipun pertumbuhan ekonomi penting, kualitas pertumbuhan menentukan masa depan negara.
Di balik angka-angka yang indah itu, bagaimanapun, ada pertanyaan dasar: apakah kita benar-benar berkembang atau hanya terus berkembang? Meskipun pertumbuhan ekonomi sangat penting, kualitas pertumbuhan memengaruhi masa depan suatu negara.
Secara struktural, bagian luar Pulau Jawa terutama bagian timur Indonesia masih tertinggal dari ekonomi Indonesia, dengan Jawa menyumbang hampir 57% dari PDB nasional, menurut BPS. Ini menunjukkan bahwa pertumbuhan belum mencapai seluruh ekonomi negeri. Menurut teori pembangunan strukturalis yang dikemukakan oleh W. Arthur Lewis dan Hollis Chenery, pembangunan sejati terjadi ketika sektor tradisional berkembang menjadi sektor modern yang produktif. Sayangnya, proses itu belum terjadi di Indonesia secara keseluruhan.
Konsumsi rumah tangga dan ekspor mendorong pertumbuhan, yang membawa dorongan jangka pendek, tetapi juga membawa ketergantungan. Menurut teori pertumbuhan endogen yang dikembangkan oleh Paul Romer, sumber daya manusia, inovasi, dan sumber daya manusia adalah faktor utama yang mendorong pertumbuhan dalam jangka panjang. Tampaknya kekuatan Indonesia di sini kurang. Konsumsi dan komoditas memberi kontribusi yang lebih besar daripada teknologi, riset, dan industri berbasis pengetahuan.
Peningkatan produktivitas tidak akan mengikuti pertumbuhan investasi hampir 7%. Menurut teori Harrod-Domar, investasi baru hanya akan efektif jika mereka dapat menekan rasio ICOR, yang merupakan ukuran efisiensi penggunaan modal dalam menghasilkan output. Jika investasi banyak mengalir ke sektor padat modal yang tidak menciptakan banyak lapangan kerja, efeknya terhadap kesejahteraan masyarakat akan sangat kecil.
Ekonomi Indonesia memiliki paradoks di sini: ia telah tumbuh dengan cepat, tetapi belum sepenuhnya berubah. Meskipun kita mengalami kemajuan, kita belum mengalami transformasi. Negara terus membangun infrastruktur, mendorong hilirisasi, dan meningkatkan ekspor, tetapi keberhasilan pembangunan juga diukur dari perspektif masyarakat luas.
Inovasi, keberlanjutan, dan pemerataan seharusnya menjadi pilar utama pembangunan ekonomi Indonesia ke depan. Teori pembangunan berkelanjutan sejalan dengan perspektif ini, yang menekankan keseimbangan antara pelestarian lingkungan, keadilan sosial, dan pertumbuhan ekonomi. Kita tidak dapat lagi bergantung pada model pertumbuhan yang bergantung pada konsumsi massal dan eksploitasi sumber daya alam.
Ekonomi Indonesia harus membangun fondasi baru yang berfokus pada penelitian, teknologi, dan ekonomi berkelanjutan. Bukan sekadar meningkatkan proyek fisik, investasi harus ditujukan untuk meningkatkan kapasitas inovasi dan riset. Agar pertumbuhan menguntungkan tidak hanya di Jawa dan kota-kota besar, pemerataan pembangunan antarwilayah harus menjadi prioritas utama.
Sejarah menunjukkan bahwa negara-negara Asia Timur seperti Korea Selatan dan Jepang menjadi negara maju bukan karena pertumbuhan ekonomi yang cepat, tetapi karena keberanian untuk mengubah sistem ekonomi mereka dan berinvestasi besar dalam pendidikan dan riset. Jika Indonesia berani mengubah ekonominya dari konsumtif menjadi produktif dan inovatif, negara itu juga dapat mengikuti jalan yang sama.
Meskipun pertumbuhan lima persen merupakan pencapaian yang layak dihargai, itu juga harus menjadi bahan refleksi. Kita harus “berubah” daripada hanya “tumbuh” karena pertumbuhan hanya akan menjadi statistik indah yang tidak akan mengubah kesejahteraan rakyat.
Augia Serly Maharani, Mahasiswi Ekonomi Pembangunan, Universitas Muhammadiyah Malang
 
  
  
 


