Artikel/OpiniRagam

Indonesia dan Pemilih Pemula

Oleh : Indah Sari Rahmaini *)

BeritaNasional.ID — Hanya menghitung hari, Indonesia akan dimeriahkan dengan pesta demokrasi tidak hanya ditujukan untuk pemilihan legislatif dan presiden/wakil presiden, namun juga ditujukan untuk pemilihan kepala daerah. Arti penting sebuah demokrasi adalah pelembagaan yang penuh dengan kebebasan. Bebas dari ketidakadilan dan penindasaan. Demokrasi memungkinkan rakyat tertindas untuk bebas bersuara menyampaikan aspirasinya dan demi cita-cita untuk mengubah nasib mereka. Penyelenggaraan pemilu yang memakan biaya yang sangat besar bukanlah perkara kompetisi atau adu jotos politik, namun terdapat harapan besar rakyat kecil didalamnya.

Indonesia adalah negara yang memiliki jumlah penduduk usia remaja yang tinggi. Buktinya, Badan Pusat Statistik memprediksikan bahwa hingga tahun 2035, 43,5% penduduk Indonesia didominasi oleh usia remaja. Hal ini senada dengan spekulasi tentang bonus demografi yang tengah viral beberapa tahun yang lalu ramai dibicarakan publik. Tinggi atau rendahnya usia remaja juga merupakan bagian dari masa depan sebuah negara. Negara yang progresif akan terlihat dari indeks pembangunan manusia yang sudah pasti remaja menjadi benih dari sebuah pembangunan, salah satunya adalah pembangunan politik.

Menurut UU No.7 tahun 2017 tentang pemilihan umum menyebutkan bahwa usia 17 tahun merupakan usia minimal seseorang bisa memakai hak suara mereka. Badan Pengawas Pemilu atau disingkat Banwaslu juga menyatakan bahwa tahun 2018, Indonesia didominasi oleh lebih dari 160 juta pemilih pemula. Artinya, basis pemilu bisa ditentukan dari pemanfaatan remaja akan hak suaranya. Sayangnya, banyak dari pemilih pemula yang belum mendapat pendidikan politik yang cukup untuk mencerdasi hal tersebut.  Keputusan dalam penempatan kursi-kursi parlemen ditentukan oleh hasil pemilihan umum. Jika saja pemilih pemula tidak diberikan perhatian cukup untuk hal ini, akan ada 160 juta suara yang terbuang sia-sia untuk sebuah cita-cita kemajuan bangsa. Belum banyak partai politik yang menyadari hal ini dan mengeksekusinya secara baik. Hal ini menjadi kabar baik untuk masyarakat luas agar bisa melakukan upaya preventif dari buruknya  pemerintahan Indonesia kedepannya.

Keberhasilan sebuah pemilu dalam menciptakan pemimpin yang baik ditentukan oleh pemilih pemula. Disini terdapat beberapa alasan pentingnya memberikan perhatian terhadap hal tersebut. Pertama, remaja adalah kelompok yang riskan. Ia tidak memiliki pengalaman memilih dan sosialisasi politik yang cukup. Boleh saja ia menerima pelajaran kewarganegaraan di sekolah, namun materi mengenai pemilu hanya sepintas lewat dan tidak menjadikan itu sebagai sebuah esensi. Materi yang disampaikan berupa sekedar teori dengan minus praktik. Kurang menariknya metode pembelajaran juga membuat pemilih pemula mengabaikan hal ini. Akibat dari hal tersebut adalah mudahnya celah parpol untuk menjadikan pemilih pemula sebagai obyek, sedangkan ia tidak memiliki bekal penyaringan informasi akan hal itu.

Kedua, remaja berpikiran terbuka dan value free. Ia merupakan kelompok masyarakat yang mudah melakukan kontak dengan hal baru hingga mengadopsi hal tersebut menjadi bagian dari dirinya. Jika saja remaja dibekali dengan sosialisasi politik hingga pendidikan politik, bukannya tidak mungkin ia bisa dengan mandiri menentukan  apa yang baik bagi negaranya tanpa harus terlibat dengan money-politic. Alasannya adalah pemilih pemula bukan masyarakat miskin yang membutuhkan materi untuk  kelangsungan hidupnya, dimana hal ini selalu menjadi strategi bagi parpol yang memiliki kepenitingan. Persiapan untuk mematangkan semangat pemilih pemula hanyalah dengan menyadarkan pentingnya suara mereka dalam memajukan Indonesia tentunya dengan metode yang kreatif. Hal ini dikarenakan remaja telah dibekali rasa sadar bahwa ia merupakan agen dari sebuah perubahan dalam sebuah pendidikan formal. Pemerintah harusnya memberikan wadah orientasi politik kepada pemilih pemula.

Ketiga, remaja sangat melek teknologi. Remaja memiliki akses lebih besar untuk menggali informasi terkait dengan riwayat hidup, visi misi, serta ideologi partai politik dibandingkan dengan kelompok pemilih yang lain. Remaja juga secara langsung bisa menyaksikan realitas politik dari media sosial maupun elektronik. Secara tidak langsung, remaja turut memberikan kontribusi berupa respon terhadap isu-isu yang beredar seyogyanya untuk menggali ketajaman analisisnya terhadap permasalahan politik. Namun sayangnya, mereka selalu menjadi kelompok yang terabaikan karena kreatifitas dan inovasinya kurang dihargai oleh pemerintah. Akibatnya adalah wajah anak muda apatis terhadap konstelasi politik yang berkembang saat ini.

Keempat, remaja adalah regenerasi dari sebuah pembangunan. Hingga 40 tahun kedepan, ia masih saja aktif menjadi masyarakat yang terlibat dalam sebuah pesta demokrasi, bahkan ia akan menjadi bagian dari aktor politik itu sendiri. Penting rasanya memberikan perhatian penting kepada benih daripada sebuah pembangunan untuk cita-cita perubahan Indonesia.  Perlu rasanya dari semua pihak antara lain pemerintah, aktor pendidik, hingga masyarakat luas untuk memberikan perhatian penuh kepada pemilih pemula agar bisa cerdas dalam menentukan pilihannya sebagai regenerasi dari masa depan Indonesia kedepannya. (Ay/BERNAS)

*) Biodata Penulis :
Nama : Indah Sari Rahmaini
Profesi : Dosen Sosiologi Universitas Andalas
E-mail : indah.rahmaini96@gmail.com

Lihat Selengkapnya

Related Articles

Back to top button