NasionalPolitik

Kemenangan Pilkada Dua Tersangka Korupsi, Minimnya Kesadaran Masyarakat Koruptor Musuh Bersama

BeritaNasional.ID Jakarta – Sebanyak dua tersangka kasus korupsi yang ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menang dalam pilkada. Calon petahana Bupati Tulungagung, Syahri Mulyo yang berpasangan dengan Maryoto Bhirowo mengalahkan pasangan Margiono-Eko Prisdianto. Padahal, Syahri saat ini ditahan KPK setelah ditangkap dan ditetapkan sebagai tersangka pembangunan peningkatan jalan pada Dinas Pekerjaan Umum dan Permuahan Rakyat (PUPR) Kabupaten Tulungagung. Tak hanya Syahri, tersangka korupsi lainnya, Ahmad Hidayat Mus pun memenangkan Pilgub Maluku Utara. Berpasangan dengan Rivai Umar dan didukung oleh Partai Golkar dan PPP, Ahmad Hidayat Mus yang menyandang status tersangka kasus dugaan korupsi pembebasan lahan Bandara Bobong, Kabupaten Sula tahun anggaran 2009 mengalahkan tiga pasangan calon lainnya dalam Pilgub Malut.

Kemenangan dua tersangka kasus korupsi dalam Pilkada serentak 2018 menunjukkan masih minimnya kesadaran masyarakat menjadikan korupsi sebagai musuh bersama. Untuk itu, pendidikan politik kepada masyarakat harus terus digalakkan. Melalui pendidikan politik, masyarakat dapat memilih pemimpin yang berkualitas, berintegritas dan bersih dari praktik korupsi.

“Bahwa ke depan pendidikan politik perlu dilakukan, ya. Ini kewajiban kita bersama. Pendidikan politik penting agar ada alasan rasional dalam arti untuk kepentingan masyarakat dan untuk kepentingan yang lebih besar ke depan dalam memilih calon pemimpin. Itu penting, tapi proses itu tidak bisa sekali jalan,” kata Jubir KPK, Febri Diansyah kepada wartwan, Selasa (10/7/2018)

Febri mengatakan, kesadaran masyarakat mengenai isu korupsi sebenarnya sudah mulai tumbuh. Hal ini setidaknya berdasarkan survei yang dilakukan sejumlah lembaga, termasuk Badan Pusat Statistik (BPS). Namun, kata Febri, pendidikan politik harus terus dilakukan karena menumbuhkan kesadaran bahwa korupsi musuh bersama memerlukan waktu panjang. Tak hanya institusi politik dan pemerintah, kesadaran ini juga harus ditumbuhkan mulai dari lingkungan terkecil yakni keluarga secara berkesinambungan. “Kalau 100 persen berubah tentu butuh waktu,” katanya.

Febri enggan berspekulasi atau menganalisis penyebab Syahri Mulyo dan Ahmad Hidayat Mus memenangkan Pilbup Tulungagung dan Pilgub Maluku Utara. Yang pasti, kata Febri, KPK akan terus mengusut kasus korupsi yang membuat mereka saat ini mendekam di sel tahanan. “KPK tidak dalam posisi menganalisis latar belakang seperti itu. Yang jelas saat ini, kami fokus pada proses hukum. Proses hukum berjalan terus dan bahkan sudah kita lakukan penahanan terhadap sejumlah tersangka,” katanya.

Meski demikian, KPK tidak dapat memenuhi usulan Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo yang meminta percepatan proses hukum terhadap tersangka yang memenangkan pilkada. Sebab, proses penegakan hukum harus mengacu pada aturan KUHP. “Proses hukum itu mengacu pada KUHP, ada tahap-tahapannya dan ada satu hal yang jauh lebih penting dibanding persoalan cepat atau lambat yaitu aspek kekuatan bukti itulah prioritas utama KPK,” katanya.

Febri menjelaskan, pihaknya perlu berhati-hati dalam memproses hukum para tersangka hingga ke pengadilan. Menurutnya, dalam proses penegakan hukum, KPK harus dapat membuktikan perbuatan tersangka atau terdakwa. “Tidak boleh penegak hukumnya asal-asalan di sana. Oleh karena itu merespon hal tersebut, KPK akan lebih konsen terhadap bukti-bukti dalam penanganan perkara tersebut,” jelasnya.

Meski demikian, KPK tetap menunggu surat dari Kementerian Dalam Negeri mengenai pelantikan Syahri dan Ahmad Hidayat Mus. Surat tersebut nantinya akan dikaji oleh KPK. Hal ini dilakukan lantaran adanya perbedaan aturan mengenai pelantikan kepada daerah tahun ini dan pilkada sebelumnya.

“Kita tunggu surat dari Kemdagri. Suratnya belum (diterima KPK). Nanti dibicarakan pimpinan karena aturannya berbeda. Seingat saya, pernah difasilitasi pernah ditolak. Nanti akan dibicarakan pimpinan,” katanya.

Sebelum Syahri Mulyo dan Ahmad Hidayat Mus, dalam perjalanan pelaksanaan pilkada, terdapat sejumlah tersangka KPK yang memenangkan kontestasi politik. Samsu Umar Abdul Samiun yang menjadi calon tunggal menang melawan kotak kosong dalam Pilbup Buton pada 2017 lalu. Padahal, saat itu, Samsu berstatus tersangka kasus suap kepada Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Akil Mochtar untuk memuluskan sengketa Pilbup Buton di MK pada 2011.

Tak hanya Samsu, Hambit Bintih yang berpasangan dengan Anton Dohong mengalahkan pasangan Jaya dan Daldin dalam Pilkada Gunung Mas yang digelar 4 September 2013. Tapi Hambit harus mendekam di rutan setelah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus dugaan suap Pilkada Gunung Mas.

Febri mengatakan, mekanisme pelantikan terhadap tersangka yang memenangkan pilkada berada di KPU. Termasuk mekanisme pergantian jika kasus korupsi yang menjerat kepala daerah terpilih telah berkekuatan hukum tetap atau inkracht. Pergantian ini dilakukan agar kepemimpinan daerah tidak kosong. Untuk itu, fokus bidang pencegahan KPK adalah membangun sistem pencegahan korupsi, seperti penerapan e-budgeting, e-planning, e-procurement serta memperkuat aparat pengawas internal pemerintah (APIP). Menurut Febri, penguatan infrastruktur institusi ini penting agar roda organisasi pemerintah daerah dapat berjalan optimal siapa pun pemimpinnya.

“Perhatian KPK, fokusnya masuk dalam beberapa poin korsupgah (koordinasi dan supervisi pencegahan), seperti e-budgeting, e-planning, e-procurement, dan penguatan APIP nya. Kami pandang infrastruktur institusi nya harus kuat dulu. Karena institusi inilah yang jalankan pelayanan pada masyarakat, bukan orang perorang,” katanya. (dki1/bn.id)

Lihat Selengkapnya

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button