BanyuwangiDaerahOpini

Menyoal Disparitas Pendidikan

Oleh  : Mohammad Hasyim

Lembaga  Tes Masuk Perguruan Tinggi (LTMPT) telah merilis  hasil pemeringkatan nilai rerata  Tes Potensi Scholatik-Ujian Tulis Berbasis Komputer (TPS-UTBK) tahun 2020 seminggu lalu, sebagai salah syarat  masuk masuk Perguruan Tinggi Negeri melalui Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SBMPTN) tahun 2021. Rilis tersebut mendaftar 1000 dari 21.302 Sekolah Menengah Atas se Indonesia. Dari data tersebut bisa diketahui SMA mana saja dari wilayah-wilayah Indonesia yang masuk katagori terbaik. Di Jawa Timur setidaknya ada 10 besar SMA terbaik.

Sebagaimana pemeringkatan tahun sebelumnya SMA-SMA kota selalu mendominasi raihan nilai dalam UTBK. Dari 10 SMA peraih nilai tertinggi empat SMA ada di Kota Surabaya, tiga di Kota Malang, satu SMA Kab. Jember dan satu SMA di Sidoarjo. Sementara SMA-SMA di daerah yang jauh dari pusat kota atu diluar kota-kota satelit tidak masuk kedalam selupuluh besar nilai UTBK 2020. Bahkan ada dua SMA  kota di Jatim yang berhasil masuk 10 besar nasional, masing-masing SMAN 5 Surabaya dan SMAK St Louis Surabaya.

Mengapa hal itu terjadi ? Mungkinkah ini karena buruknya disparitas layanan pendidikan di Indonesia ? Disparitas (ketidaksamaan/perbedaan) perlakuan dalam layanan pendidikan di tanah air sebenarnya bukan hal baru. Fenomena ini telah mewarnai praktek penyelenggaraan pendidikan di dunia  dari waktu ke waktu, pun juga yang terjadi di Indonesia. Semakin jauh sekolah dari pusat kota, akan semakin besar pula disparitas suatu sekolah.

Disparitas dan atau perbedaan tersebut terjadi tidak hanya antar jenjang dan satuan pendidikan, tetapi juga antar pulau, antar wilayah bahkan antar sekolah dalam suatu zona. Lazimnya, sekolah-sekolah di pusat-pusat kota atau kota-kota satelit baik SD, SMP, SMA bahkan hingga PT selalu memperoleh perhatian lebih baik dari pemerintah maupun pihak swasta. Di kota-kota besar dan juga kota satelit, sekolah-sekolah umumnya memiliki gedung dan fasilitas pembelajaran lainya lebih baik dan lengkap, sementara sebagian besar sekolah-sekolah di daerah yang jauh dari pusat kota  memperlihatkan kondisi yang sebaliknya.

Sekolah-sekolah di pusat kota memiliki guru dan tenaga kependidikan yang lebih baik  dari segi jumlah maupun kualitasnya. Guru-guru di sekolah ini (kota) memiliki kualifikasi dan kompetensi lebih mumpuni dibanding guru di sekolah-sekolah pinggiran. Pun juga fasilitas penunjang layanan pendidikan lainya, terutama kegiatan ekstra kurikuler, seperti perpustakaan, laboratorium, sarana olahraga, jaringan Informasi dan komunikasi (internet) dan sebagainya tersedia dengan jumlah dan kondisi yang baik. Sementara kondisi yang sama  tidak dimiliki oleh sekolah-sekolah pinggiran yang jauh dari pusat kota. Hadirnya faktor-faktor diluar kurikulum dan pembelajaran seperti tingginya  partsisipasi orangtua   juga ikut mendongkrak tingginya raihan prestasi akademik dan non akademik lainya siwa-siswi di sekolah tersebut.

Sederet fakta diatas tegas mengkonfirmasi kepada kita bahwa disparitas layanan pendidikan di tanah air memang benar adanya. Perbedaan tersebut tentu akan berdampak pada capaian pada banyak aspek dari keduanya (sekolah kota versus sekolah pinggiran). Sekolah-sekolah kota yang unggul akan selalu menjadi incaran dan rebutan bagi calon peserta didik baru setiap tahunnya. Sementara sekolah-sekolah pinggiran (kota kecil) akan tidak diminati oleh para calon peserta didik baru dan orangtuanya. Sekolah-sekolah di kota selalu kelebihan dan kebanjiran calon siswa baru, sementara sekolah-sekolah pinggiran selalu kekurangan bahkan kehilangan calon siswa dari setiap kali gelaran Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB).

Tentu situasi seperti ini tidak bisa dibiarkan terus menerus, perlu upaya-upaya konstruktif dan afirmatif untuk mengatasi dispiritas tersebut. Melali sistem zonasi dalam PPDB beberapa tahun terahir diharapkan bisa memperkecil jurang perbedaan (disparity) antar sekolah kota dan pinggiran. Yang terpenting bagaimana Pemkab/Kota/Dispendik secara konsisten mengawal dan menerapkan skema ini (zonasi) sehingga potensi masuknya calon siswa unggul  diluar zonasi (wilayah terdekat dengan tempat tinggal mereka) bisa dicegah dan cukup menaftar dan bersekolah di dekat tempat tinggal mereka selama ini. Kontrol pihak luar seperti Dewan Pendidikan (DP) kiranya penting untuk dipertimbangkan, bahkan dilibatsertakan secara formal.

Pemerataan dan/atau pemenuhan fasilitas  pembelajaran penting dilakukan sehingga ada perimbangan/keadilan diantara  kedua jenis kluster sekolah tersebut. Selama ini sekolah-sekolah kota identik dengan  gedung, serta fasilitas yang representatif, sementara sekolah-sekolah pinggiran  “miskin” dengan fasilitas.

Dan yang tidak kalah bahkan paling penting serta mendasar adalah  redistribusi guru/tenaga pendidik. Dalam hal ini harus ada ketegasan dan bahkan keberanian pihak Pemkab/Kota/Dispendik melakukan pemetaan ulang guru dengan akurat lalu mendistribusikanya dari sekolah-sekolah kota  ke sekolah-sekolah pinggiran secara berkala, sehingga tidak terjadi penumpukan guru-guru berprestasi di kota-kota saja tetapi juga menyebar merata di semua zona sekolah.

Satu lagi yang memungkinkan bahkan harus dilakukan oleh Pemkab/Kota/Dispendik adalah memindah tugaskan kepala sekolah terbaik yang telah berhasil memimpin sekolah kota, terutama yang sudah memasuki periode  empat tahun ketiga, untuk ditugaskan memimpin sekolah pinggiran. Dengan pengalaman dan berbagai terobosan selama memimpin sekolah kota (unggul) diharapkan bisa mengerek capaian sekolah pinggiran menjadi unggul selevel sekolah kota. Beranikah ?

____________

              Mohammad Hasyim, Pengawas Pendidikan (purna tugas), Pengurus Dewan Pendidikan Kab. Banyuwangi, mengajar di IAI Ibrahimy Genteng Banyuwangi

 

Lihat Selengkapnya

Related Articles

Back to top button