ArtikelArtikel/OpiniOpini

Putusan Nikah Beda Agama

Oleh: Andhika Wahyudiono *)

Pada tanggal 25 Juni 2023, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus) mengeluarkan putusan yang mengizinkan pernikahan beda agama antara sepasang kekasih yang beragama Islam dan Kristen. Putusan ini menuai berbagai tanggapan, termasuk dari Wakil Ketua Komisi III DPR Fraksi NasDem, Ahmad Sahroni, yang menyebut bahwa putusan tersebut perlu dipertimbangkan lagi di tingkat Mahkamah Konstitusi (MK) dan disesuaikan dengan kultur di Indonesia.

Menurut Sahroni, dari segi hukum, putusan ini tidak dapat disatukan dengan dalil agama. Namun demikian, Sahroni juga menekankan pentingnya memperhatikan dalil-dalil agama berdasarkan Pancasila, yang menegaskan bahwa Indonesia berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Dalam hal ini, Sahroni berpendapat bahwa dalil-dalil agama yang diakui harus sangat diperhatikan dalam mengambil keputusan terkait perkawinan beda agama.

Sahroni juga mengaku bahwa dirinya bukanlah seorang ahli agama, namun berdasarkan pengetahuannya, dalam agama Islam dan Nasrani, pernikahan beda agama tidak diperbolehkan. Oleh karena itu, menurut Sahroni, hal ini harus menjadi pertimbangan yang serius dalam menghadapi putusan PN Jakpus.

Dalam putusannya, PN Jakpus mengacu pada Undang-Undang Administrasi Kependudukan (UU Adminduk) yang menyebutkan bahwa perkawinan beda agama tidak diatur dalam undang-undang. Hakim Bintang AL yang memutuskan perkara ini juga menyoroti keberagaman masyarakat Indonesia yang diakui secara sah keberadaannya. Menurutnya, melarang perkawinan beda agama di Indonesia karena tidak diatur dalam undang-undang akan sangat ironis mengingat keberagaman penduduk dan keberadaan berbagai agama di negara ini.

Dalam mengomentari putusan ini, perlu dicermati beberapa hal. Pertama, perbedaan agama dalam pernikahan adalah masalah yang kompleks dan sensitif. Agama memiliki peran yang kuat dalam membentuk identitas individu dan masyarakat. Oleh karena itu, penting untuk memahami dan menghormati keyakinan agama setiap individu.

Kedua, Pancasila sebagai dasar negara Indonesia menegaskan prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa, yang menjamin kebebasan beragama dan menghormati keberagaman agama di Indonesia. Dalam konteks ini, perlu dilakukan keseimbangan antara menjaga kebebasan beragama dengan mempertimbangkan ketentuan agama yang diakui.

Ketiga, meskipun PN Jakpus telah mengacu pada UU Adminduk dan putusan Mahkamah Agung terkait izin perkawinan beda agama, perlu dipertanyakan apakah regulasi tersebut telah memadai untuk menangani permasalahan ini. Seiring dengan perkembangan zaman dan masyarakat yang semakin heterogen, adakah kebutuhan untuk merevisi atau mengkaji ulang undang-undang terkait perkawinan beda agama?

Keempat, penting untuk melibatkan berbagai pihak terkait dalam mengambil keputusan terkait perkawinan beda agama. Diskusi yang terbuka dan inklusif antara para ahli agama, akademisi, praktisi hukum, dan masyarakat sipil dapat menjadi langkah yang baik untuk mencapai konsensus yang lebih luas dan berkeadilan.

Kelima, perlu ditekankan bahwa perlindungan terhadap hak asasi manusia harus tetap menjadi prinsip yang dijunjung tinggi dalam menangani kasus-kasus perkawinan beda agama. Setiap individu berhak untuk bebas memilih pasangan hidup tanpa diskriminasi berdasarkan agama.

Dalam meninjau ulang putusan ini, Mahkamah Konstitusi dapat mempertimbangkan berbagai perspektif dan argumen yang berkaitan dengan kebebasan beragama, keberagaman masyarakat Indonesia, serta perlindungan hak asasi manusia. Proses pengujian konstitusionalitas dapat memberikan kesempatan untuk menjaga keseimbangan antara nilai-nilai agama dan nilai-nilai demokratis dalam konteks perkawinan beda agama.

Dalam kesimpulannya, pernikahan beda agama tetap menjadi isu yang kompleks dan memerlukan pendekatan yang bijaksana. Putusan PN Jakpus tentang izin perkawinan beda agama perlu dipertimbangkan lagi secara mendalam dan melibatkan berbagai pihak terkait. Penting untuk menjaga keseimbangan antara kebebasan beragama dan penghormatan terhadap keberagaman agama di Indonesia, sambil tetap melindungi hak asasi manusia setiap individu.

*) Penulis adalah Dosen UNTAG Banyuwangi

Lihat Selengkapnya

Related Articles

Back to top button