Artikel/OpiniRagam

Refleksi Hari Guru Nasional

Oleh : Indah Sari Rahmaini *)

BeritaNasional.ID — Tepat tiga hari yang lalu, kita telah memperingati hari Guru yaitu setiap tanggal 25 November. Hari di mana semua orang mengucapkan selamat hari Guru kepada sosok yang tidak kenal lelah dalam memberikan pendidikan kepada siswa. Secara luas, hari Guru juga kerap diucapkan kepada sosok yang memberikan pendidikan informal, seperti ayah dan ibu yang masing-masing kita miliki di rumah. Namun, apa sebenernya makna dalam memperingati Hari Guru?

Diera media sosial, kita banyak melihat dinamika dunia pendidikan yang sedang naik turun dengan berbagai macam kasus yang sering kita dengar. Beberapa bulan yang lalu, kita melihat bahwa ada Guru yang dirundung siswa, Guru yang dikriminalisasi Wali Murid, hingga perbuatan tidak senonoh yang dilakukan oleh Guru kepada siswanya. Seolah dengan kejadian tersebut, sosok Guru mulai dipertanyakan wibawanya sebagai seorang pengajar, baik sebagai korban maupun tersangka. Apakah kita pernah berpikir pantaskah seorang Guru untuk mendapatkan label dan diperlakukan seperti itu?

Kita juga banyak melihat bagaimana negara tidak memberikan perhatian penuh kepada Guru. Hanya Guru yang berstatus sebagai ASN yang gajinya diberi layak. Di sisi lain, ada guru yang tetap mengabdi walau hanya digaji 200ribu per bulan, ada yang rela mengajar dari rumah ke rumah, bahkan ada yang belum dibayarkan gajinya selama lebih dari sepuluh tahun. Sedangkan penghargaan bagi seorang guru bagi negara amatlah rendah. Profesi menjadi seorang guru sangat berharga baik dalam sisi akademik maupun moral.

Banyak juga disoroti bahwa guru tidak lagi menjadi profesi yang dihormati oleh siswa maupun masyarakat. Padahal menjadi guru lekat dengan sosok yang memberikan dorongan dari belakang yang kita sebut dengan Tut Wuri Handayani: mendorong dari belakang. Tut Wuri Handayani merupakan sebuah semboyan yang diperkenalkan oleh Bapak Pendidikan, Ki Hajar Dewantara. Istilah ini memiliki arti “di belakang mendorong”. Kalimat itu adalah bagian dari semboyan “ing ngarso sung tulodo ing madyo mangun karso tut wuri handayani” yang berarti di depan, seorang pendidik harus bisa menjadi teladan di tengah murid, di tengah memberikan ide, dan di belakang mendirikan dorongan. Pendidikan bukan hanya sekedar proses memberi dan menerima ilmu pengetahuan. Lebih dari itu, pendidikan juga bagian dari sosialisasi pembentukan kepribadian, etika, dan cara pandang.

Sejak adanya pembelajaran daring, tut wuri handayani telah memiliki alternatif dengan menggunakan sarana daring seperti media sosial, media conference, dan media online lainnya. Pembelajaran jarak jauh menjadi ujian yang berat untuk memenuhi hakikat dari pendidikan. Berbagai kebijakan dan himbauan tentu sudah diusahakan secara maksimal, walau terkadang banyak sekali aral melintang. Proses belajar mengajar yang sejatinya dibumbui dengan semangat, motivasi, dan juga ikatan emosional antara guru dan siswa, sekarang hanyalah tinggal tugas-tugas ataupun tutorial yang bahkan sudah bebas didapatkan melalui internet. Siswa juga jenuh selalu menatap monitor untuk kembali mengikuti kelas virtual yang terkadang diforsir dalam satu hari. Khususnya, siswa sekolah dasar yang belum melek smartphone masih harus mendapat bantuan dari walinya, itupun jika dilakukan pengawasan dari guru dan orangtua. (Ay/BERNAS)

*) Biodata Penulis :
Nama : Indah Sari Rahmaini
Profesi : Dosen Sosiologi Universitas Andalas
E-mail : indah.rahmaini96@gmail.com

Lihat Selengkapnya

Related Articles

Back to top button