Opini

Rusaknya Profesi Jurnalis, Akibat Ulah Dari Wartawan Abal – Abal

Garut, Beritanasional.ID – Peran posisi pers dan profesi wartawan yang strategis rupanya menjadi incaran baru untuk mendapatkan uang secara mudah. Hal ini yang membuat ada banyak orang ingin menjadi wartawan dengan cara mudah melalui jalan pintas. Banyak mantan wartawan dan orang-orang yang sama sekali tak punya pengalaman di bidang jurnalistik nekad mendirikan perusahan pers dengan modal minim. Banyak di antara mereka yang makelar, loper koran, sopir taksi, Securiti juga yang lainnya bahkan ada yang tukang tambal ban, mengaku sebagai wartawan.

Mereka bisa membuat kartu pers sendiri hanya bermodalkan pas foto dan uang, bisa datang ke tukang fotokopi dan membuat tanda pengenal sesuai yang mereka butuhkan. Sisi lain, media-media jenis abal-abal juga mempekerjakan orang secara sembarangan tanpa memiliki kualifikasi dan kompetensi sebagai wartawan. Tanpa pernah memberikan pelatihan dan pembekalan ketrampilan jurnalistik, pemilik media memberikan kartu pers yang dibuatnya sendiri. Hal ini melahirkan wartawan instan tanpa bekal ketrampilan dan pengetahuan yang memadai apalagi kompetensi sebagai wartawan profesional.

Bahkan kerap tanpa gaji dan malah mewajibkan sang “wartawan” untuk memberikan setoran pemberitaan saja setiap harinya kepada pemilik media. Para wartawan minus kompetensi inilah yang disebut oleh masyarakat sebagai wartawan abal-abal. Orang jenis ini kerap mencampur-adukkan antara kerja wartawan dengan pengacara, atau aktivis LSM.

Para wartawannya banyak yang merangkap sebagai pengurus LSM abal-abal, sopir taksi dan lain-lain. Dalam kemerdekaan pers yang sedang kita nikmati ini, mereka adalah para penunggang gelap kemerdekaan pers. Adapun ciri-ciri umum wartawan abal-abal yang dimaksud antara lain berpenampilan sok jago dan tak tahu etika, tak punya tata krama, mengaku anggota organisasi wartawan tak jelas (di luar PWI, AJI,IJTI dan organisasi wartawan lainnya ) menggunakan atribut aneh, misalnya gelang dan kalung emas atau jam tangan Rolex, pertanyaan mereka ajukan umumnya tendensius, demikian pula tulisannya biasanya menuduh. Umumnya para abal-abal ini juga meremehkan bahkan kadang mengancam narasumber dan yang pasti mereka tak bisa menunjukkan kartu kompetensi sebagai wartawan.

Bahkan ada seorang pengepul botol bekas di kawasan Kota Garut, pada Februari 2015 lalu, mengadu ke Dewan Pers. Ia diperas oleh dua orang yang mengaku wartawan sebesar Rp 10 juta. Pasalnya, pada tengah malam saat ia sedang memisahkan dan mengelompokkan antara botol bekas kecap, botol bekas bir, dan botol lainnya dan kemudian mencucinya, tanpa dia sadari ada dua orang menyelinap dan memfoto dirinya yang sedang mencuci botol bir. Sang wartawan kemudian memotret tumpukan botol bir lainnya. Salah satu yang mengaku wartawan kemudian menuduh bahwa si pengepul botol adalah sindikat perdagangan miras.

Kemudian orang tersebut mengancam akan melaporkan ke pos polisi terdekat. Untuk itu, dia mengajak berdamai asal si pengepul malam itu juga bersedia membayar Rp 10 juta. Dalam situasi ketakutan, si pengepul hanya mampu meyerahkan uang Rp 5 juta dan berjanji akan membayar sisanya pada keesokan hari.

Lantas orang yang mengaku wartawan meninggalkan nama dan nomor kontak untuk dihubungi lebih lanjut. Saat sang pengepul botol bekas mengadu ke Dewan Pers, baru diketahui bahwa orang yang mengaku wartawan itu adalah, hanya oknum wartawan abal-abal dari media abal-abal juga. Saat itu juga, Dewan Pers mencoba menghubungi Polri dan meminta Polri untuk menangani kasus pemerasan tersebut. Ada banyak kasus pemerasan dan praktik abal-abal yang diadukan masyarakat ke Dewan Pers.

Maka untuk itu, hati – hati dan waspadalah apabila kedatangan orang yang mengaku sebagai wartawan. Kita berhak dan wajib mempertanyakan dan melihat identitasnya dengan jelas, apabila dipandang perlu segera kordinasi dengan aparat setempat atau kepolisian yang ada di wilayahnya, ( Penulis Diki Kusdian Garut Jawa – Barat ).
Lihat Selengkapnya

Related Articles

Back to top button