ArtikelHeadline

Sejarah Perkembangan Otoritas Agama

Oleh : Indah Sari Rahmaini *)

BeritaNasional.ID — Perkembangan media pada revolusi industri 4.0 atau yang biasa kita kenal dengan era digital adalah salah satu hal yang paling besar pengaruhnya dalam transisi dinamika otoritas agama. Perjalanan sebuah agama Abrahamic seperti Yahudi, Kristen, maupun Islam bersumber dari Nabi yang memiliki wahyu diutus oleh Tuhan dengan satu-satunya otoritas agama dengan sumber kebenaran yang mutlak. Setelah era kenabian, agama mulai dipelajari melalui media tulisan seperti kitab, mushaf, dan lain sebagainya. Otoritas agama mulai menyebar kepada kalangan pemuka agama yang memiliki keahlian dalam menafsirkan.

Setelah ditemukannya banyak media dalam mengupayakan dinamika agama dalam kehidupan bermasyarakat, otoritas agama mulai menyebar ke banyak aktor. Flood of information menyebabkan dalil-dalil serta sumber ajaran agama  bisa diakses di mana saja dan oleh siapa saja. Hadirnya pemuka agama seperti Ustadz, Pastur, atau Pendeta pada awalnya sebagai penerus kewahyuan dan mereka yang memiliki rutinitas kharisma (menuru Weber) dalam sebuah agama karena terbatasnya orang yang memiliki hafalan karena terbatasnya media. Dalam era digital seperti sekarang, pengetahuan mengenai agama sangat mudah diakses dan didapatkan oleh siapa saja. Dalam keadaan seperti itu, apakah otoritas agama yang bercecer ke banyak aktor masih terjaga otoritasnya ?

Tercecernya otoritas agama ke dalam banyak aktor atas konsekuensi dari perkembangan media menghasilkan dua jawaban. Agama bisa saja berkembang tanpa adanya otoritas dan agama masih memiliki otoritas. Sejalan dengan pembahasan sebelumnya mengenai agama privat dan publik. Jika kita memandang agama sebagai ruang privat, ia adalah bentuk penghahyatan ketuhanan dan pengalaman masing-masing individu. Dengan berkembangnya media secara masif akan meningkatkan kesalehan pemeluk agama dengan mudah. Tanpa adanya pemegang otoritas agama, agama tetap akan bisa dihayati oleh masing-masing pemeluknya. Sedangkan jika berbicara agama sebagai ruang publik, agama tidak hanya pengalaman individu. Agama juga tentang bagaimana berTuhan dalam hidup bermasyarakat. Tingginya arus informasi mengenai agama serta tersebar pada banyak aktor akan memunculkan konsekuensi gesekan tidak hanya didalam agama itu sendiri, bahkan juga dengan komunitas pemeluk agama lain. Dalam perspektif public religion dan media, agama tidak mungkin kehilangan otoritasnya walau tersebar pada banyak aktor.

Agama mulai terjun kepada berbagai ranah serta mulai menjadi sebuah persoalan yang kompleks. Agama juga dijadikan sebagai alat stabilitas politik bagi kelompok pemangku kepentingan. Pemegang otoritas agama secara mainstream seperti kiyai dan ulama juga ikut terlibat dalam permasalahan politik negara. Isu agama juga ikut dibahas dalam kontestasi perpolitikan. Agama mayoritas dalam sebuah negara juga dapat mengancam hak agama lain dalam kontestasi. Ketegangan seperti ini antar umat beragama menjadi isu yang masih hangat dibicarakan. Ketaatan terhadap agama adalah salah satu semangat kesadaran sukarela yang mudah dipengaruhi oleh isu sentimental agama dalam bermasyarakat. Media menjadi salah satu penyebab agama tersebar ke dalam banyak aktor. Tokoh politik dewasa ini juga bisa menjadi pemilik otoritas agama ketika agama diartikan hanya untuk mereka yang memiliki kesalehan secara citra. (*)

*) Biodata Penulis :
Nama : Indah Sari Rahmaini
Profesi : Dosen Sosiologi Universitas Andalas
E-mail : indah.rahmaini96@gmail.com

Lihat Selengkapnya

Related Articles

Back to top button