Metro

“SIKKATO” Warisan Leluhur Ketahanan Pangan Masyarakat Sultra

BERITANASIONAL.CO.ID, BUTON TENGAH – Sejak lama Sulawesi Tenggara (Sultra) dikenal memiliki keberagaman yang kuat. Tidak hanya soal budaya termasuk bahasanya, tapi juga soal keragaman kuliner yang terbentang dari Barat ke Timur Sulawesi Tenggara dan yang melekat di kehidupan sosial masyarakatnya.

Memiliki empat (4) suku adat seperti Muna, Buton, Tolaki dan Moronene, kesemuanya memiliki beragam kuliner khas yang disajikan dalam kehidupan sehari-hari. Terbukti, makanan tradisional khas tradisional ini masih melegenda dan eksis ditiap daerah. Deretan makanan khas Sultra itu diantaranya sinonggi, kasoami, kambose, kabuto atau disingkat SIKKATO. Sejumlah makanan khas tersebut saat ini sangat menempel dilidah masyarat Sultra.

Patut disyukuri adalah sumber daya pangan lokal di Sultra seperti sagu, ubi kayu, dan jagung cukup berlimpah dan telah lama dijadikan pangan pokok lokal oleh sebagian besar masyarakat Sultra.

Para sosiolog dan ahli gizi mendapati temuan bahwa faktor budaya sangat mempengaruhi dalam pembentukan pola konsumsi dan kebiasaan menu makanan di suatu daerah.

Memiliki warisan leluhur yang wajib dipertahankan (SIKKATO) sudah sepantasnya kita menjaganya. Sebab, hal itu sekaligus menjadi lambang kearifan dari makanan sehat yang beragam dan eksotis, tangguh, dan simbol tradisi serta budaya.

Dalam rangka mempertahankan warisan leluhur Pemprov Sultra saat ini tengah berupaya memperkenalkan atau mensosialisasikan pangan lokal melalui berbagai ajang dan pameran kuliner. Tak hanya itu, Pemprov Sultra juga menerbitkan edaran kepada pemilik hotel dan restoran agar menyiapkan menu pangan lokal SIKKATO bagi para tamunya yang berasal dari luar daerah.

Undang-Undang Nomor 18/2012 tentang Pangan menjelaskan bahwa diversifikasi (penganeka-ragaman) pangan adalah upaya peningkatan ketersediaan dan konsumsi pangan yang beragam, bergizi seimbang dan berbasis pada potensi sumber daya lokal. Pada Pasal 41 dinyatakan bahwa salah satu tujuan diversifikasi pangan adalah untuk memenuhi pola konsumsi pangan yang beragam, bergizi seimbang dan aman.

Ketahanan pangan merupakan salah satu faktor penentu stabilitas ekonomi sehingga upaya pemenuhan kecukupan pangan menjadi kerangka pembangunan yang mampu mendorong pembangunan sektor lainnya. Ketahanan pangan dibangun atas tiga pilar utama, yaitu ketersediaan pangan, akses pangan, dan pemanfaatan pangan. Tersedianya pangan secara fisik di daerah bisa diperoleh dari hasil produksi daerah sendiri, impor, maupun bantuan pangan.

Analisis mengenai ketersediaan pangan dan akses pangan menjadi tahapan pembangunan yang strategis karena dibutuhkan untuk menelaah kinerja ketahanan pangan di Sulawesi Tenggara. Kemandirian pangan akan mampu menjamin masyarakat memenuhi kebutuhan pangan yang cukup, mutu yang layak, aman dan tanpa ketergantungan dari pihak luar.

SIKKATO harus terus di lestarikan, diperkenalkan kepada masyarakat agar keberadaan SIKKATO tidak terus tergerus eksistensinya dengan makanan yang lain. Kelompok – kelompok pengolah makanan yang tidak berhenti terus berkreativitas untuk menghasilkan olahan pangan berbahan SIKKATO menjadi makanan yang menarik dan tidak ketinggalan trend dengan makanan – makanan yang lagi trend di masa sekarang.

Salah satu contoh yang dilakukan oleh Guru Besar di Universitasi Haluoleo (UHO) yaitu Prof. Dr. Sri Wahyuni, M.Si, berhasil mengembangkan produk pangan lokal menjadi lebih berkualitas dan aman dikonsumsi masyarakat. Antusias wanita kelahiran 30 Mei 1968 ini untuk mengembangkan pangan lokal bermula ketika ia ditantang Badan Ketahanan Pangan Sultra (sekarang Dinas Ketahanan Pangan) untuk menciptakan sebuah produk di tahun 2011.

Prof. Sri yang sejak kecil, telah menyukai pangan lokal seperti kabuto (makanan khas Kabupaten Muna yang terbuat dari ubi kering), memilih untuk membuat produk-produk berbahan baku ubi tersebut. Prof. Sri telah melahirkan sejumlah inovasi produk pangan lokal berbahan dasar ubi salah satunya tepung kaopi dan burger kaopi.

Salah satu langkah inovasi yang dilakukan oleh Prof. Sri Wahyuni dapat dijadikan contoh sehingga dapat menghasilkan produk – produk makanan berbahan dasar pangan lokal akan tetapi tidak ketinggalan dari perkembangan zaman dan tekhnologi. Kemampuan akan terus meningkat apabila dilatih secara terus menerus karena potensi pangan yang ada di wilayah provinsi Sulawesi Tenggara sangat banyak sehingga jika diolah dan dikembangkan niscaya akan membawa kebermanfaatan. Dan dengan inovasi mengolah pangan menjadi pangan yang lebih menarik bisa merupakan salah satu strategi menjaga ketahanan pangan masyarakat.

Sejarah Singkat Makanan Khas Sultra

 

Sejarah Sinonggi

Sinonggi adalah makanan khas suku Tolaki, tepatnya Sulawesi Tenggara. Makanan ini terbuat dari pati sari sagu, yang dikonsumsi oleh masyarakat sebagai sumber karbohidrat pengganti nasi. Menurut budayawan lokal, penamaan makanan ini berasal dari kata “posonggi”. Posonggi atau o songgi (bahasa Tolaki) merupakan alat mirip sumpit yang terbuat dari bambu yang dihaluskan dengan ukuran panjang kurang dari sepuluh sentimeter. Alat inilah yang kemudian akan digunakan untuk mengambil sinonggi dari tempat penyajian.

Cara penyajian :

Dalam penyajiaannya Sinonggi diletakkan ke piring yang telah diisi kuah sayur dan ikan serta bumbu lainnya dengan cara digulung menggunakan alat yang bernama Posonggi tersebut. Gulungan sinonggi di piring kemudian dipotong-potong dan dimasukkan ke dalam mulut menggunakan alat serupa yang berukuran lebih kecil atau bisa juga dengan menggunakan jari.

Cara membuat :

Ambil Sagu secukupnya simpan di baskom yang kecil atau sedang, cuci hingga bersih terlebih dahulu tentunya, setelah bersih siapkan lah air panas, ingat yang mendidih.
Tuangkan air mendidih ke baskom yang berisi sagu sedikit demi sedikit.Aduk-aduk dan tuangkan terus sampai warna sagu berubah menjadi agak bening

Sejarah Kasuami :

Kasuami merupakan makanan unik dan khas daerah Sulawesi Tenggara, khususnya daerah Buton, Muna dan Wakatobi. Kasuami umumnya berbentuk tumpeng atau gunungan dan berwarna putih kekuning-kuningan.
Kasuami berbahan utama singkong (Ketela pohon atau ubi kayu). Kasuami diolah dengan cara mengukus parutan singkong yang telah dimasukkan kedalam cetakan berbentuk kerucut/tumpeng dan dimasak selama kurang lebih 15 menit.

Cara Membuat :

1. Kupas kulit ubi kayu lalu cuci hingga bersih kemudian diparut atau digiling dengan mesin parutan layaknya kita memarut kelapa.
2. Bungkus hasil gilingan dengan menggunakan kain atau karung yang bersih agar produk parutan tetap higinis.
3. Lakukan penindisan untuk mengurangi serta meniadakan kadar air ubi kayu. Biarkan selama 1-3 jam hingga air benar-benar kering.
4. Hancurkan produk menggunakan tangan dengan cara mengelus-elusnya.
5. Saringlah ubi kayu menggunakan saringan dari anyaman bambu dengan ukuran kira-kira 0.3 cm, hal ini bertujuan untuk mempercepat proses pemasakan kasoami.

Sejarah Kambuse

Kambuse atau kambose merupakan kuliner khas tradisional yang dapat dijumpai pada masyarakat (suku) Muna di Kabupaten Muna provinsi Sulawesi Tenggara (Sultra). Makanan ini terbuat dari biji jagung putih (biasa) yang banyak ditanam di kebun jagung masyarakat Muna.

Bagi masyarakat Muna kambuse merupakan makanan pokok sehari-hari selain nasi beras, olehnya sebagian orang menyebutnya dengan nasi jagung. Makanan ini dikonsumsi dengan lauk pendamping seperti ikan Asin (kenta katunu-tunu dalam bahasa Munanya) dan sayur bening (kadada katembe).

Cara Membuat :

Cara memasak kambuse cukup sederhana sederhana. Pertama-tama Biji jagung direbus dalam panci berisi air secukupnya, setelah mendidih tambahkan air kapur sirih. Sesering mungkin diaduk agar tidak lengket di dasar panci dan jika airnya kurang bisa ditambahkan sedikit-sedikit. Jika jagung sudah berwarna putih kekuningan dan biji jagung dianggap sudah lembek maka angkat panci dan tiriskan. Setelah itu cuci biji jagung yang telah masak dengan air bersih sekitar 4 sampai 5 kali agar kapurnya hilang terbawa air. Kalau sudah, berarti kambuse anda telah jadi dan siap disantap.

Sejarah Kabuto

Kabuto merupakan makanan khas masyarakat Kepulauan Muna Sulawesi Tenggara. Makanan ini berbahan dasar ketela pohon/singkong/dan ubi kayu yang telah dikeringkan.

Penyajian:

Kabuto yang telah siap disantap diberi taburan kelapa parut, untuk menambah selera dapat ditambahkan ikan asin.

Makanan ini menjadi menu favorit warga Muna. Proses pembuatannya pun cukup mudah Singkong yang telah di jemur kering akan direbus hingga matang, Dalam jangka waktu lama dibiarkan mengering dan akan menambah rasa kenikmatan dan aroma dari makanan ini saat disajikan.

Cara membuat:

1. Kulit singkong dikupas, dicuci lalu dijemur selama selama tiga hari, sampai terlihat setemhak kering.
2. Singkokong disimpan dalam wadah tertutup selama sehari semalam sampai berubah warna menjadi kehitam-hitaman (fermentasi).
3. Singkong dijemur kembali sampai kering. kulitnya dikikis menggunakan pisau, kemudian dipotong-potong. Rendam dalam air selama 6-8 jam.
4. Cuci singkong hingga bersih, kukus Selama setengah jam sampai matang. Kabuto siap disajikan.

Penulis : Amiluddin Indi

Lihat Selengkapnya

Related Articles

Back to top button