Religi

Jika Aku Punya Bunga Untuk Setiap Kali Memikirkanmu Ibu, Aku Bisa Berjalan di Tamanku Sendiri Selamanya

 Oleh: Rio Usboko

Mama, surat ini kuselipkan dibawah bantal bekas tidurmu. Aku tahu engkau tak akan pernah membacanya namun aku hanya ingin engkau tahu betapa sakitnya menerima kenyataan ini dan betapa rindunya aku padamu. Aku tak tahu berawal dari mana penderitaanmu. Aku pun tak mengerti kenapa engkau yang harus mengalami semua ini. Namun yang aku tahu berawal dari empat tahunan lalu, ketika engkau dan papa menangis semalaman.

Di pagi itu aku mencoba untuk bertanya namun engkau hanya menjawab “Mama sakit Kaka”. Tapi ketika aku bertanya lebih lanjut sakit yang engkau derita, engkau hanya memelukku, diam dan menangis. Mama, sejak saat itu keceriaanmu, candamu, amarahmu,
cerewetmu seakan hilang dari dalam rumah kita. Engkau menjadi pendiam ,engkau sering ngelamun. Aku tahu setiap engkau menatap si bungsumu ada setitik air tergenang di sudut matamu, namun aku tak mau bertanya lebih lanjut karena akupun merasa tak kuat mendengarnya.

Mama, pertanyaanku tentang sakitmu akhirnya terjawab, seperti engkau mama, aku pun merasa dunia ini seakan berhenti berputar untuk kami berlima dan papa. Aku merasa aku telah kehilangan engkau sejak saat itu. Aku mulai takut dan membayangkan yang terjelek tentang kita “mama”.

Mama, kekhawatiran ku kian menjadi ketika Nenek menemani engkau berobat ke Jakarta. Melihat begitu banyak orang yang menderita sepertimu , membuatku semakin cemas. Malam itu , ketika engkau tertidur setelah aku memijat kakimu, aku menatap dalam diam di kamar berukuran 4×3 meter. Disitu aku mulai membuat ikrar dalam hatiku ‘aku harus berubah untuk membahagiakan engkau di hari- hari sakitmu’. Aku berjanji dalam diriku untuk tidak membantah lagi apa katamu. Aku berjanji
dalam hatiku untuk menyayangi adik-adikku untuk tidak menyakitimu. Dan masih banyak janji lain mama yang aku ikrarkan dalam kamar sempit itu untuk kesembuhan dan kebahagiaanmu.

Mama, Aku sangat yakin betapa tulusnya cintamu kepada kami dan papa. Kemanapun engkau pergi mencari kesembuhan semata karena sayangmu kepada kami. Sesulit apapun rintangan yang dihadapi, tetap engkau melangkah lantaran kasihmu kepada kami. Sepahit apapun pil pasti engkau telan , karena engkau tak ingin berpisah dengan kami untuk selamanya kala kami masih sangat belia.
Namun perjuanganmu itu ternyata tidak membawa kesembuhan.

Semakin hari engkau semakin hilang keceriaan diwajahmu. Tatapanmu semakin sendu. Setiap malam aku mendengar engkau merintih kesakitan, Setiap hari engkau tak sanggup memejamkan mata sesaat karena merintih kesakitan.

Dalam sakitmu yang tak tertahankan engkau tetap menyebut nama Tuhanmu , nama Bundamu dan berharap mukjizat bisa terjadi. Aku ingin sekali melakukan sesuatu untuk mengurangi sakitmu, “mama”.

Namun akupun tak tahu apa yang harus kulakukan selain memelukmu, ketika engkau merintih. Dan aku mulai menyadari bahwa segala upaya pengobatan yang telah dilakukan membawa kesembuhan untukmu. Kematian rasanya semakin mendekati engkau mama.

Mama, ketika engkau memutuskan untuk melanjutkan pengobatan di Jakarta sebenarnya aku tak menginginkan itu. Aku ingin bersamamu. Aku ingin merawatmu. Aku ingin menghabiskan sisa waktu hidupmu bersama kami. Namun mama tetap bersikeras untuk pergi. Akhirnya aku mengerti, mama mencari
semua – semua cara untuk sembuh demi kami sekeluarga.

Perjuanganmu tak kunjung mendapat kesembuhan. Selama tiga bulan engkau hanya terbaring di tempat tidur. Tak ada lagi senyum menghias dibibirmu . Tak ada lagi kata – kata yang terungkap dari mulutmu. Yang ada hanya tatapan hampa. Rintihan yang hampir tak terdengar menyelimuti kepedihanmu. Seisi rumah seakan telah berduka. Canda, tawa, marah, yang kita lewati bersama, seakan hilang dibawa rintihan sakitmu.

Aku harus menyiapkan diri menerima segala hal yang paling jelek. Penderitaanmu setahun telah mengajarkanku begitu banyak hal ; ketabahan, kesabaran, dan kepasrahan.

Mama, rasanya engkau menyiapkan ku untuk cepat dewasa, lebih cepat matang dibandingkan teman- teman seusiaku. “Jika kelak kita harus berpisah, Berdoa dan membesarkan hati sudah kulakukan. Bila saat itu tiba , kala mukjizat itu tidak juga datang, aku tak perlu memberontak, apalagi menghujat.

Aku pasrah… karena aku pun tak ingin melihatmu lebih lama menderita mama. Mama, akhirnya perjuangan untuk mempertahankan hidupmu demi kami berakhir di sore itu. Malam sebelumnya engkau begitu gelisah. Dimanapun engkau dibaringkan, engkau merasa sepertinya itu bukan tempatmu. Sepanjang malam, aku dan papa mencoba menenangkan dan menyenangkan engkau dengan memenuhi semua permintaanmu, membopongmu kemanapun tempat yang engkau inginkan dalam rumah ini.

Mama, malam itu seakan ingin bermanja dalam dekapan papa. Tak sedetikpun engkau membiarkan papa meninggalkanmu. Itu berlanjut sampai sore, ketika engkau mengatakan si bungsumu sudah lama tidak memeluk kakimu.

Mama, saat ini aku baru mengerti bahwa engkau ingin menyampaikan kepada kami bahwa kemanapun engkau pergi, meninggal sekalipun, engkau tetap mama kami. Kakimu yang telah pergi ke ujung dunia manapun demi merenggut kebahagiaan untuk kami, hanya bisa melangkah sampai disini. Kaki yang telah menopang tubuhmu, tak kuat lagi untuk melangkah bersama kami.

Mama, sore itu, engkau membuka mata dan mengatakan ” Selamat Jalan, Selamat Berpisah, Kita akan bertemu kembali.” Sebutir air bening pun mengalir dari sudut matamu. Aku sadar bahwa mama tak sanggup lagi melawan kehendak DIA yang telah menghadirkan mama
untuk kami. Disaat itu, ketika Nenek menanyakan keikhlasanku untuk melepaskan engkau pergi, antara sadar dan tidak aku menjawab ‘iya’.

Aku menguatkan diri untuk mengatakan iya hanya karena aku tak sanggup melihat penderitaanmu yang begitu hebat. Aku harus mengikhlaskan engkau pergi untuk selama-lamanya demi cinta, kasih, dan sayang. Setelah membalas menjawab pertanyaan Nenek tentang keikhlasanku atas kepergianmu… Engkau pun dengan tenang menutup mata, menarik perlahan nafasmu dan engkau pergi untuk selamanya.

Mama, aku belum sanggup. Mama, aku belum siap. Aku belum tahu bagaimana cara menenangkan si bungsumu ketika kehilanganmu. Bagaimana aku harus mengatakan pada si bungsumu ketika ia menyadari bahwa engkau pergi sekian
lama dan tak akan kembali?

Mama, engkau pergi membawa seluruh kebahagiaan kami. Rasanya aku tak sanggup lagi berpijak di atas kakiku ini. Untuk sekedar tersenyum pun aku tak sanggup. Beginikah rasanya hidup tanpa engkau dalam kehidupan kami? Mama, sore ini di atas pusaramu aku berlutut. Tak ada lagi air mata untuk meratapi kepergianmu. Tak ada lagi suara dalam tangisan ini. Semuanya telah lenyap terbawa keletihan badan. Semuanya telah pergi bersamamu, hilang terbawa merananya jiwa.

Mama, di antara redup nyala lilin di atas pusaramu, kumohon ampun untuk semua yang menyakiti hatimu. Kupinta maaf karena telah melukai rasamu. Kumohon doamu untuk kami. Mama, slide kebersamaan kita meruak satu per satu di dalam rumah ini. Engkau tidak pernah meninggalkan kami sendirian di rumah. Mama, sekarang baru kusadari, bahwa kehidupanmu sangat singkat dan engkau ingin mendulang menit demi menit bersama kami.

Mama, di akhir hari ini aku mohon doakan kami. Doakan Papa yang masih sering menangis menyebut namamu. Doakan si bungsumu yang masih belum mengerti arti kepergianmu. Doakan keluarga dan semua mereka yang telah mewarnai kehidupanmu dengan cinta, kasih, perhatian, dan tegur sapa.

Mama,… Terima kasih untuk kehidupan yang telah engkau berikan kepada kami. Terima kasih untuk semua pesan yang tak terucap namun terpapar indah dalam setiap tingkahmu. Terima kasih mama, peristiwa hidupmu, penderitaanmu membuat aku tahu tentang kebesaran Tuhan. Mama, tidurlah dalam kedamaian abadiNya. Engkau tetap kami kenang dalam setiap nafas kehidupan kami. Engkau tetap kami cintai. Engkau tetap mama kami, mama yang selalu berusaha membahagiakan kami.

Tuhan, Syukur padaMu yang telah memberikan kami Seorang Mama . (*)

Lihat Selengkapnya

Related Articles

Back to top button