Opini

Jiwa yang Tenang, Nilai dari Rahasia Amal

Oleh: Indra Syarif

” Aku ingin tenang dengan berserah diri dan selalu melayani tanpa perhatian selain Mu. “

Salah satu yang menjadi kebiasaan pada umumnya adalah melakukan amal karena sesuatu yang ditunggu berupa imbalan/keuntungan dari perbuatan baik yang kita lakukan. Motivasi amal tersebut lebih didasari oleh keinginan (ego) dari diri sendiri. Dalam banyak konteks seringkali kita menyaksikan berbagai bentuk “pamer” dalam memberi pertolongan/bantuan. Memang tidak semua dari yang nampak (pamer) itu dasarnya adalah “ego” diri. Tetapi bisa saja bertujuan positif semisal karena niatan ajakan, menginspirasi dan motivasi bagi yang lain. Tetapi yang dimaksudkan pada tulisan ini adalah karena dasar pamer atau dalam istilah agama riya.

Di dalam Al Qur’an surah Al Baqarah ayat 271 sebagaimana artinya, ” jika kamu menampakkan sedekah-sedekahmu, maka itu baik. Dan jika kamu menyembunyikannya dan memberikannya kepada orang-orang fakir, maka itu lebih baik bagimu dan Allah akan menghapus sebagian kesalahan-kesalahanmu. Dan Allah maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.” Pun dari Hadits Nabi Saw, ” seseorang yang bersedekah kemudian ia menyembunyikannya sehingga tangan kirinya tidak mengetahui apa yang diperbuat oleh tangan kanannya.” (HR. Bukhari dan Muslim). Kedua dalil teks tersebut secara harfiah berbicara tentang amal sedekah, namun tentu bisa saja diperluas dalam makna seluruh bentuk amal shaleh kepada sesama makhluk. Maka hikmah dari dasar tersebut adalah indikasi bagi kita tentang keutamaan amal yang dirahasiakan/disembunyikan dibandingkan dengan amal yang diperlihatkan (baca:pamer).

Pada uraian sebelumnya lebih pada konteks kerahasiaan amal terhadap sesama manusia. Tetapi bagaimana mengenai amal yang dilakukan kaitannya dengan kewajiban manusia sebagai hamba kepada Allah Swt (ibadah mahdhah). Di dalam karya Syekh Ibnu Atha’illah “Telaga Ma’rifat” beliau menulis perkataan Ali bin Hasan, ” Segala sesuatu dari amal-amalmu jika masih kau angan-angankan, maka yang demikian itu menunjukkan bahwa amalmu itu tidak diterima Allah. Karena sesungguhnya amal yang diterima Allah itu (seakan-akan) naik hingga sirna dari pandanganmu (tidak kau ingat-ingat). Maka yang demikian itu menunjukkan diterimanya amalmu.” Hemat penulis konteks yang dimaksud Syekh Ibnu Atha’illah pada karyanya tersebut adalah ibadah dilakukan sebagai kewajiban semisal shalat, haji, puasa, dan amal-amal baik lainnya, sebaiknya (hakikatnya) tidaklah didasari niat karena imbalan imbalan berupa pahala dan surga. Kadangkala secara teks agama memotivasi dengan iming-iming dengan kelak akan bersanding dengan bidadari.

Pada tingkat awam, metode itu sangat diperlukan. Tetapi hal demikian tidaklah mampu memberikan sebuah pencerahan spiritual yang akan “memuaskan” dan memberikan ketenangan jiwa yang berlangsung lama/abadi. Kesibukan setelah melakukan ibadah adalah menghitung/memprediksi pahala yang menurutnya akan didapatkan. Karena wujud “kepatuhan”nya bersifat lahiriah maka yang menjadi orientasi peribadatannya adalah “selamat” lahiriah saja, akhirnya tanpa menyentuh sisi batiniah. Yang justru hal ini lebih mempengaruhi kualitas kehambaan seorang manusia sekaligus kualitas kemanusiaannya di tengah hidupnya bersama makhluk Allah Swt lainnya.

Semoga Ramadhan dengan segala ibadah yang kita laksanakan khususnya puasa yang sifatnya rahasia antara kita yang berpuasa dengan Allah Swt melatih kita untuk beribadah secara rahasia dalam arti arif menempatkan antara merahasiakan amal karena keikhlasan beribadah kepada Allah dengan harus menampakkan amal sebagai cerminan atau inspirasi bagi orang lain agar melakukan hal yang sama yakni beribadah dan berbuat baik kepada sesama makhluk Allah Swt.
Wallahu A’lam

Lihat Selengkapnya

Related Articles

Back to top button