ACEH

Aktivis Kampus Berpihak Kepada Siapa?

Cobalah untuk menghirup lebih dalam tentang keberadaan atmosfer di kampus, kita pasti akan menemukan sesuatu yang berbeda dari perspektif seorang mahasiswa yang siklus kehidupannya hanya “Kuliah-Pulang Kuliah-Pulang”, atau lebih akrab disebut sebagai Mahasiswa Kupu Kupu.

Maksud dari penulis, bahwa sesuatu yang dianggap berbeda dan pastinya terdengar tidak asing lagi bagi telinga para mahasiswa adalah “aktivis kampus”. Kalimat tersebut akan menimbulkan perspektif dalam pikiran kita, bahwa sosok aktivis kampus adalah orang yang selalu menyuarakan isu-isu sosial dan politik serta lantang dan berani untuk membela hak-hak masyarakat di tengah pusaran badai oligarki.

Jika kita mengacu kepada Kamus Besar Bahasa Indonesia (Balai Pustaka, 2002), pengertian aktivis adalah individu atau sekelompok orang (terutama anggota politik, sosial, buruh, petani, pemuda, mahasiswa, perempuan) yang bekerja aktif mendorong pelaksanaan sesuatu atau berbagai kegiatan di organisasinya. Artinya, dari defenisi tersebut dapat kita ambil kesimpulan bahwa aktivis merupakan orang-orang yang bergerak untuk melakukan sebuah gerakan perubahan dan memiliki wadah (perkumpulan, organisasi atau semacamnya) dan digunakan sebagai alat untuk mencapai tujuan dari perubahan tersebut.

Aktivis kampus tumbuh subur ibarat bunga mawar merah yang mekar di pinggir jalanan yang berdebu, dan ibarat rumput liar yang ketika dipotong akan tumbuh kembali dengan cepat (analogi dari semangat perlawanan), karena akarnya sangat kuat menancap di tanah (analogi dari idealisme) dan menyerap cepat nutrisi di sekitarnya (analogi dari kritis). Aktivis kampus dapat dengan mudah ditemukan dalam ekosistem sudut-sudut kampus, kantin, lorong-lorong fakultas maupun mimbar demokrasi yang setiap minggu diadakan untuk membahas isu bersama seputaran kampus dan sosial.

Isu sosial yang paling sering dibahas biasa tentang kebijakan publik, politik pemerintah, kelakuan oligarki birokrasi kampus yang merugikan banyak mahasiswa, serta fasilitas kampus yang tidak memadai, maupun Uang Kuliah Tunggal (UKT) yang terasa memberatkan mahasiswa. Aktifitas mahasiswa semacam ini yang berdiskusi tentang isu sosial dan politik, muncul karena adanya dinamika skala kecil dan besar yang terjadi di lingkungan sekitarnya. Memang begitulah seharusnya tujuan daripada mahasiswa sebagai kaum yang berintelektual dan harus peka terhadap isu-isu yang sedang terjadi.

Jika kita kembali mengintip berbagai permasalahan yang terjadi di dalam kampus, kekuasaan yang oligarki dan berpotensi menimbulkan simbiosis parasitisme misalnya, maka warga kampus (misalnya: aktivis kampus) adalah orang yang paling bertanggung jawab untuk mengkritik demi membangun peradaban kampus yang lebih bermoral agar berjalan sebagaimana mestinya, bukan malah membiarkan kejahatan tersebut berjalan lantang. Karena fungsi utama mahasiswa adalah sebagai “Agent of Change”, “Agent of Social Control” dan kata-kata “Agent” sejenis lainnya, yang dimana penulis yakin bahwa pembaca pasti sudah sangat paham dengan arti dari kalimat yang familiar tersebut.

Karena salah satu tujuan daripada mahasiswa adalah “Agent of Social Control”, yaitu untuk mengkritisi dan menjadi penyambung aspirasi, serta pengawal kebijakan publik, maka aktivis di lingkungan kampus jangan sampai diam dalam menanggapi kelakuan birokrasi yang merugikan mahasiswa. Kita ambil contoh, misalnya pesta Pemilihan Raya (Pemira) yang mungkin saja dicampuri oleh tangan-tangan dari dalam lingkaran kekuasaan birokrasi kampus, apalagi jika campur tangan tersebut mempunyai maksud yang terselubung dan berindikasi untuk kepentingan birokrat semata.

Ditambah lagi, jika aktivis kampus yang lantang dalam menyuarakan kebenaran akan diam seketika, karena sangat gampang disogok oleh beasiswa, mendapatkan sokongan dana maupun karena kedekatan dengan oknum petinggi kampus.Jika kita bisa membayangkan, sebenarnya aktivis kampus harus berpihak kepada siapa? Masa depan kampus sebagai pusat peradaban bangsa dan pergerakan yang progresif serta proaktif mau dibawa kemana? Apakah kita akan lebih mengutamakan IPK sepenuhnya, tanpa peduli apapun dengan permasalah sekitar dan membiarkan sifat-sifat apatisme tumbuh subur dalam diri kita?

Ingat, banyaknya kejahatan tumbuh dan berkembang bukan karena banyaknya orang jahat, melainkan karena diamnya orang-orang lantang dalam menyuarakan kebenaran dan keadilan. Akhirnya, kejahatan lebih leluasa dalam bergerak dan tumbuh serta mengutak-atik lingkungan sekitar kita tanpa ada yang mengawasi dan mengkritik. Setelah kita mengetahui pentingnya peran “berpikir kritis” dalam kehidupan, yaitu sebagai jalan untuk memperbaiki kesalahan kebijakan yang dilakukan oleh penguasa, maka penulis berharap kepada semuanya yang masih setia dalam jalur kebaikan dan kebenaran, untuk tetap mempertahankan idealisme kalian tersebut.

Jangan biarkan pusaran badai oligarki yang bersifat parasit menguasai kampus dan masyarakat kita. Karena mahasiswa berperan penting dalam mengawal serta menjadi mitra dalam mengkritisi permasalahan yang ada di sosial, maka jangan mau diam, jangan mau dibungkam, tapi lawan!.

Penulis: Sulthan Alfaraby (Direktur Eksekutif KAMPUS ACEH/Mahasiswa UIN Ar-Raniri Aceh

Lihat Selengkapnya

Related Articles

Back to top button