BeritaNasional.ID — Perubahan iklim atau yang dikenal sebagai climate change merupakan poin utama yang menjadi perdebatan pada kebijakan mengenai lingkungan baik di dalam negeri maupun kancah global. Dengan Nobel Perdamaian 2007 Penghargaan penghargaan untuk Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC) dan Al Gore yang film dokumenternya yang memenangkan Oscar membantu meningkatkan kesadaran global akan hal ini bahaya perubahan iklim antropogenik, visibilitas iklim global perubahan sebagai masalah kebijakan yang melonjak di kalangan masyarakat umum dan pembuat kebijakan di seluruh dunia.
Baru-baru ini, Konferensi Iklim Kopenhagen tahun 2009 berkumpul dengan delegasi dari 192 negara dan lebih dari 100 kepala negara-negara menunjukkan bahwa perubahan iklim telah menjadi agenda global utama melibatkan berbagai dimensi politik dan ekonomi nasional dan internasional.
Survei opini publik terkini memang menunjukkan konsensus yang kuat di antara para responden masyarakat global tentang keseriusan masalah perubahan iklim. Contohnya, salah satu berita utama di situs World Public Opinion Universitas mengenai Program Sikap Kebijakan Internasional Maryland berbunyi “jajak pendapat 30 negara menemukan konsensus di seluruh dunia bahwa perubahan iklim adalah masalah serius” (25 April 2006).
Perubahan iklim tidak hanya merupakan ancaman signifikan terhadap prospek perekonomian kemakmuran dan kelestarian lingkungan hidup di negara-negara Asia dan juga kawasan Asia memegang kunci keberhasilan upaya global melawan perubahan iklim. Sebagai rumah bagi negara dengan populasi terbesar dan pertumbuhan ekonomi tercepat adalah Asia diperkirakan akan menyaksikan peningkatan terbesar dalam penggunaan energi di masa depan.
Menurut Pandangan Energi Dunia; bahkan dalam skenario bisnis seperti biasa (BAU), energi penggunaan di negara-negara Asia diproyeksikan meningkat 112% pada tahun 2010, dibandingkan dengan 23% di negara-negara Asia. OECD dan 55% untuk dunia secara keseluruhan (IEA 2007). Apalagi Asia sekarang mengandung empat dari sepuluh penghasil karbon dioksida terbesar (Tiongkok, India, Jepang, dan Korea Selatan). Tiongkok sendiri menyalip AS pada tahun 2006 sebagai produsen terbesar emisi CO2, meskipun emisi per kapitanya masih jauh di bawah Amerika tingkat. Semua data dan proyeksi ini menunjukkan hal tersebut tanpa melakukan mitigasi yang signifikan tindakan negara-negara Asia akan sangat sulit dilakukan mencapai pengurangan emisi gas rumah kaca secara global. Pada saat yang sama,
Negara-negara Asia semakin terpapar risiko dan bahaya lingkungan hidup disebabkan oleh peristiwa iklim yang bergejolak serta dampak ekonomi dari pengendalian gas rumah kaca. Situasi ini menjadikan perubahan iklim sebagai prioritas utama masalah kebijakan di banyak negara Asia. Para pakar opini publik lingkungan hidup telah lama memperdebatkan hal tersebut kualitas lingkungan hidup merupakan barang mewah yang dapat dinikmati oleh masyarakat dan negara sangat peduli ketika mereka mencapai standar hidup yang lebih tinggi. Dikenal sebagai hipotesis postmaterialisme, dugaan ini mendapat dukungan beragam dari penelitian empiris tentang studi opini publik lingkungan.
Menurut Survei Proyek Sikap Global Pew tahun 2006, kesadaran masyarakat perubahan iklim menunjukkan kesenjangan yang mencolok antara negara maju dan negara berkembang wilayah di dunia. Hampir semua orang di negara-negara maju yang disurvei jajak pendapat ini menjawab bahwa dia pernah mendengar tentang masalah pemanasan global hanya separuh penduduk negara berkembang yang mengatakan demikian. Di Asia, kami menemukannya variasi yang sangat besar dalam tingkat kesadaran masyarakat terhadap perubahan iklim. Jepang sebagai negara paling maju di kawasan ini menunjukkan tingkat kesadaran tertinggi (99%), sedangkan jumlah masyarakat yang pernah mendengar masalah pemanasan global masih cukup rendah untuk negara-negara kurang berkembang seperti Pakistan (12%) dan Indonesia (35%).
Sebagai negara dengan pertumbuhan ekonomi yang pesat dan penghasil emisi CO2 terbesar, Tiongkok memiliki tingkat kesadaran masyarakat terhadap pemanasan global relatif lebih tinggi (78%), dibandingkan dengan negara-negara berkembang lainnya. Sedangkan Indonesia, sebagai negara yang masih menjadi negara berkembang di Asia, masih belum banyak masyarakat yang mendukung kebijakan dalam mendukung perubahan iklim.Masyarakat masih belum mampu untuk melakukan perubahan kecil seperti membuang sampah pada tempatnya, mengurangi penggunaan barang sekali pakai, serta masih rendah sekali kesadaran untuk menghemat energi. (Ay/BERNAS)
*) Biodata Penulis :
Nama : Indah Sari Rahmaini
Profesi : Dosen Sosiologi Universitas Andalas
E-mail : indah.rahmaini96@gmail.com